Sabtu, 13 Oktober 2012

Ibu Penjual Pecel

Tertanggal 12 Oktober 2012. Hari itu hari jumat. Kegiatan perkuliahanku pun telah resmi selesai sebelum adzan dhuhur berkumandang. Memang kami sengaja mengakhirinya jam segitu karena kami ingin segera pulang kampung. Apalagi aku, sejak minggu yang lalu aku tak menapakkan kaki di rumah. Aku tertahan di asrama karena banyak hal yang tidak mengijinkan aku puilang saat itu.

Siang itu udara terasa terik menyengat. Aku berjalan sendiri menuju kantin memesan segelas vanilla late. Cukup menyegarkan. Dalam hati sebenarnya aku ingin cepat cepat pulang, namun jam tiga sore nanti ada pengajian di direktorat. Memang tidak wajib sebenarnya, namun mengingat frekuensi siraman rohani ku yang sangat kurang, aku memutuskan untuk ikut. Singkat cerita aku pulang pukul 18.22.

Ditengah perjalanan hujan gerimis meyapaku. Hujan yang dinantikan banyak orang karena kelangkaannya menampakkan diri tidak begitu ku harapkan saat itu. Aku tak membawa peralatan yang mampu melindungiku dari basahnya hijan. Aku tak ingin sakit karena hujan. ‘Tuhan tolong tunda hujan untuk saat ini, hingga aku sampai dirumah. Perjalananku masih cukup panjang’

Akhirnya hujan pun mengurungkan niatnya untuk mengguyurku. Sedikit lega. Namun ketika aku berada dalam kawasan yang sudah dekat dengan kampung tercinta, hujan kembali menyapaku, kiranya ingin menggoda. ‘Ya Tuhan, tolong simpan hujan ini sebentar lagi, aku tak ingin basah kuyup di kampung sendiri’

Hinga akhirnya aku digalaukan antara keinginan untuk berteduh atau tidak. Masjid adalah satu satunya tempat yang muncul saat itu. Apalagi ini sudah masuk waktu shalat isya, mungkin sekalian saja aku habiskan waktu disana. Mungkin hujan yang ini adalah peringatan Tuhan yang mengajakku untuk berhenti sejenak mengingat-Nya dalam shalat.

Masjid ini memang tak asing lagi bagiku. Masjid terbesar di wilayahku. Berasitektur khas, cantik nan elegan. aku memasukinya lewat pintu belakang segera menuju parkir. Baru saja aku mematikan mesin motor, terdengar suara menghampiriku

‘pecel mbak, gorengannya juga ada’
Tanpa pikir panjang segera aku jawab
‘tidak buk, terimakasih’ tanpa melirik sedikit pun.

Sontak seketika itu juga aku teringat Kisah Bapak Penjual Amplop di Masjid Selma ITB (bagi yang belum pernah denger klik disini).
‘Astaghfirullah, maafkan hamba ya Allah, ijinkan hamba menemui ibuk itu lagi selesai hamba shalat isya nanti’

Segera selesai shalat, ku pasang mata baik baik untuk mencari sosok separuh tua, khas orang desa. Berbalut jilbab yang tidak sepenuhnya menutup kepala. Dan ternyata masih pada posisi yang sama. Aku mendekati tempatnya berjualan. Sebuah sepeda tua yang ditumpangi keranjang rotan berisikan dua buah bakul yang masing masing di tutupi sebuah plastik bening yang sudah nampak buram hinga harus dibuka untuk melihat isinya.

‘buk ada gorengan?’
‘iya mbak ada, tapi ini tadi nggorengnya agak kelamaan, maklum anak saya yang goreng. Tapi sya pilihkan yang nggak begitu gosong ya mbak?’

Aku melihat banyak gorengan yang memang sudah g-o-s-o-n-g di satu sisinya. Aku prihatin dengan keadaan ibu itu. Nekat menjual gorengan yang sudah gosong seperti itu, pastilah ibu ini benar benar membutuhkan uang pikirku. Di wakul satunya aku masih melihat jamuan pecel yang belum laku, padahal sekuat apasih daun dimasak? Sehari 24 jam aja udah ngoyo. Aku paham sebenarnya pecel yang kubeli ini sudah nggak fresh lagi. Namun niatku memang tidak untuk memakan pecel.

‘ya udah buk, saya mau pecelnya satu aja’
‘iya mbak, tapi ini ada gagang gagange di anu sendiri ya mbak’
 Si ibuk menyiapkan satu pesananku dengan penuh semangatnya (aku bisa melihat dan merasakannya)
‘ini saya kasih bumbunya banyak banyak mbak, biar lebih terasa’
Aku semakin terharu dan semakin tak tega.
‘Cuma satu aja mbak?’
‘Iya buk’ jawabku sembari mengulurkan selembar uang.
‘wah nggak ada kembaliannya mbak’ jawab ibunya sedikit khawatir.
‘udah buk, dibawa aja’
...

Cerita itu benar benar aku alami sendiri. Cerita yuang sebelumnya hanya kubaca, kini aku mengalaminya sendiri. Ternyata ini tujuan Allah kenapa membiarkan hujan menyapaku, membiarkan aku mencari tempat berteduh barang sejenak. Allah ingin aku tidak terlalu menyibukkan diri dengan urusan duniawi. Banyak yang membutuhkan uluran tangan kita, untuk itulah kita dilahirkan.


Saran saya, ‘terkadang kita memang harus membeli barang barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan namun justru dari situlah kita dapat membantu mereka yang butuh’

Apresiasi untuk ibu penjual pecel

Disaat melayani saya, saya sempatkan mengobrol dengan beliau.
 ‘kalo jualan gini dari jam berapa buk?’
‘saya dari pagi udah jualan mbak di candi situ, dekat gerbang yang sebelah sana. Besok kalo kesana bisa nyari saya. Kalo sorenya ya terus kesini (masjid .red) mbak biasanya’

Gilee, berarti nih ibu kerja keras pantang mundur dah. Saya jadi malu. Tugas saya hanya sebagai pelajar doang masih aja sering ngeluh, belum totalitas bahkan. Astaghfirullah.

Sebegitukah seorang ibu yang sudah separuh tua menghidupi anak anaknya. Di tengah hujan dan malam kian merangkak. Si ibu masih tetap bertahan. Masih menggunakan cara yang benar lagi halal untuk mendapat sesuap nasi dan juga untuk membiayai anak anaknya. Tidak mempertaruhkan harta dirinya dengan mengemis. Hingga gorengan gosong pun tetap dijualnya. Itu bukti bahwa beliau memang membutuhkan.

Ini salah satu cerita realita kehidupan saat ini. Masih banyak yang membutuhkan pertolongan kita. Helow, jangan hanya hunting baju hanya untuk mengikuti mode saja. Sekali kali beli lah barang yang tidak englau butuhkan namun mampu membantu mereka yang butuh. Percayalah balasan Allah akan berlipat ganda. Mereka membutuhkan uluran tangan kita, jangan hanya menjadi penonton/pembaca saja. Jadilah pemerannya!