Masih ingat
dengan kisah Vito dan Amel? (kalo belum klik disini). Yupp kali ini saya akan melanjutkan petualangan
kisah mereka. Penasaran??? Yuk mari check this out!
Berkali-kali
aku memandangi hape keluaran tahun 2000-an itu, sudah terlalu jadul sebenarnya.
Namun inilah ciri khas seorang Amelia Wardani selalu setia dengan barang apapun
yang dimilikinya. Handphone itu terlihat lebih tua dari usia sebenarnya,
keypadnya sudah luntur dan tak bisa terbaca lagi, layarnya penuh luka gores
disana-sini dan sayangnya masih belum terganti. Bukti kesetiaan atau bukti
ketidakpedulian sebenarnya hanya beda tipis jika melihat kondisi ini. Sang
bunda bukan tidak peduli bahkan sudah menawarkan diri untuk membelikan kostum
baru untuk hp-nya namun berkali-kali jua ditampiknya.
Aku menunggu
balasan sms dari teman lamaku yang dulu pernah kutaruh hati padanya. Sejak
pertemuan yang tidak sengaja di bandara tempo lalu kini aku sering bekomunikasi
dengannya. Tak jarang aku kopi darat dengannya mencoba romantika beberapa kafe
di daerah Jogja. Sekarang ia bekerja disebuah perusahaan tambang terbesar di
Indonesia tepatnya didaerah Kalimantan. Saat ini ia berkesempatan kembali ke
tanah jawa selama enam bulan. Beruntungnya aku menjadi orang pertama yang
bertemu dengannya selepas ia menginjakkan kaki di tanah Jawa ini.
Rasa yang
dulu sempat terpendam kini bergelora kembali. Tuhan memang maha
membolak-balikkan isi hati. Aku mencoba untuk berhati-hati ketika memasuki
permainan bernama cinta. Aku tidak ingin jatuh dalam lubang yang sama bahkan
dengan orang yang sama. Aku memperkuat rem hati dan perasaanku untuk bisa
mengemudikan hatiku bebas tanpa hambatan.
Satu hingga
dua jam kutunggu namun belum jua kudapatkan balasan darinya. Kejadian yang tak
biasa bagiku. Biasanya jika ia ingin meyudahi sms, selalu tak lupa ia
berpamitan namun ada kejanggalan disini. Aku coba menghilangkan seluruh perasaan
negative-ku ini, mungkin ada urusan lain yang harus ia selesaikan saat ini
juga. Aku mencoba memahami.
Sebenarnya
belum ada komitmen yang jelas diantara kami. Belum ada hitam diatas kertas
bahkan belum ada benda manis melingkar dijari-jariku. Hubungan kami masih
samar. Mungkin aku terlalu bersemangat ketika Tuhan mencoba menghadirkan dia
dalam hidupku lagi. Tujuh belas tahun kupendam rapi perasaanku padanya hingga
sekarang dan kini Tuhan menggodaku untuk mengais-ngaiskan hatiku padanya. Aku
hanya mengikuti alur yang telah Tuhan ciptakan untukku.
Hujan
perlahan turun merayap mencoba mendinginkan suasana hatiku yang sudah tidak
karuan ini. Kaca jendelaku dipenuhi dengan butiran bening air yang melesat
turun secara perlahan. Kucoba untuk memejamkan mata melepas kegalauan yang
masih menyelimuti pikiranku. Malam memang sudah terlalu larut. Esok sudah
bersiap menyambutku dengan seabrek rutinitas, aku mulai terpejam.
…
Aku bekerja
di sebuah rumah sakit umum daerah di Jogja. Hampir lima tahun aku mengabdi
disini. Aku hanya memfokuskan pada satu rumah sakit saja dan disinilah tempat
terbaik yang bisa kupilih. Dengan pasien
aku bisa melupakan banyak kepenatan masalahku. berbagi bercanda bersama. Dari
kecil aku sudah bercita-cita menjadi seorang dokter dan kini akulah dokter itu.
Aku mengambil spesialis mata karena aku senang melihat keceriaan dalam binar
mata karena mata pula satu dari sekian organ yang dimiliki manusia yang tak
bisa berbohong.
Dengan
profesiku ini aku dipertemukan dengan Aziz salah seorang pasienku yang beberapa
kali menyatakan perasaanya padaku. Namun hatiku masih belum bisa terbuka untuk
menerima cinta lain selain Vito. Aku masih terlalu egois hanya selalu
memikirkan perasaanku sendiri. Sebenarnya aku sangat sadar akan pengorbanan
besar yang dilakukan Aziz padaku. Sepanjang hari ia tak pernah lupa
mengingatkan aku untuk ibadah, makan, atau aktifitas lainnya. Ia selalu update
mengikuti seluruh rutinitasku. Dia tak pernah absen mengucapkan selamat ulang
tahun selalu yang pertama selama dua tahun terakhir plus dengan bingkisan kado
special untukku. Namun kebaikan dan ketulusannya belum bisa meluluhkanku. Ada
sedikit rasa harap menggelayutiku untuk setia menunggu Vito.
Malam itu
aku berencana bermalam di rumah sakit ada banyak hal yang harus aku selesaikan.
Aku sudah menelpon rumah pagi tadi agar tidak mencemaskanku. Berkas status
pasien menumpuk memaksaku untuk kupelajari. Pikiranku terfokus disitu hingga
handphone berdering berkali-kali tak pernah kugapai. Namun sekian lama suaranya
terdengar meraung-raung melebihi bunyi sirine ambulans. Kuraih handphone itu
dari dalam tas. Tanpa kulihat identistas penelpon segera kuangkat dan
meletakkannya lekat di telingaku.
‘assalamualaikum,
halo ada apa?’ suaraku terdengar sangat cepat terasa sangat tak berniat
menjawab telepon.
‘waalaikumusalam
wr wb, halo Mel ini aku Vito’ suara lelaki yang sudah sangat akrab bagiku.
Aku terkejut
seketika. Segera kuhentikan aktivitasku seakan aku tak percaya.
‘oh my God,
Vito?’ tanyaku masih dengan mulut menganga.
‘iya Mel.
Umm , malam ini kamu sibuk nggak? Kalo bisa kita ketemuan, ada hal penting yang
ingin kusampaikan’
‘sebenernya
aku masih dirumah sakit sih, ada beberapa kerjaan yang belum kelar. Tapi bisa
ku handle sih. Oke ketemuan dimana?’ ujarku mengiyakan
‘aku otw ke
rumah sakitmu saja. Wait me oke?’
‘oh, okelah.
Hati-hati’
Percakapan
kami segera terputus. Aku menghela nafas panjang. Pikiranku dihinggapi oleh
pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan. Ada apakah gerangan Vito menemuiku
di malam seperti ini? Apakah sesuatu yang ingin ia bicarakan padaku? Pastinya
bukan hal yang sepele namun apa? Kucoba meredam rasa ingin tahuku itu, sebentar
lagi semua akan terjawab.
Beranjaklah
aku keluar ruang kerja melangkah menuju warung 24 jam yang berjajar manis di
dekat parkir rumah sakit. Lima belas menit kemudian kulihat mobil warna silver
memasuki pelataran parkir. Sekejap mematikan lampu berikut mesin mobilnya.
Sosok lelaki bertubuh tinggi kurus berbalut jaket parasit warna biru tua dan
sebuah celana panjang warna gelap terlihat keluar dari situ. Tepat seperti
dugaanku dialah lelaki yang kutunggu, Vito.
Tanpa
berpikir panjang aku mendekatinya. Jantungku mendadak berdegup lebih kencang
dari biasanya. Aku takut aku tak bisa berkata apa-apa. Hmm, sudahlah lupakan.
‘hay!’
ujarku menyapa
‘hay, maaf
ya Mel aku ngajak ketemuan, bahkan malam-malam gini. Terimakasih sudah
meluangkan waktu’ suara Vito mengalun lembut menyeka hatiku.
‘iya To,
santai aja sama aku tuh’ ujarku cengar-cengir.
Kami berdua
duduk bersanding di atas kap mobil. Bersama memandangi indahnya taburan bintang
di langit. Lama kami terdiam.
‘Mel…’
‘iya?’
‘mungkin ini
pertemuan terakhir kita. Umm, ada satu hal yang harus aku kerjakan dan maaf tak bisa kujelaskan sekarang’
Kupandangi wajahnya.
Masih sama selalu meneduhkan hatiku. Aku tak percaya atas apa yang dikatakannya
baru saja. Sekali lagi aku memandangi wajahnya mencoba meyakinkan atas apa yang
ia katakan.
‘aku yakin
ini akan jadi tantangan terberat untuk kita. Umm, sebelumnya aku bawakan
sesuatu untukmu’ Vito berlalu kedalam mobil dan sejenak kemudian ia muncul lagi
membawa sebuah kotak persegi panjang berpita.
‘ini buat
kamu’ ia menyerahkan kotak itu padaku.
‘mungkin ini
hal terakhir yang bisa kuberikan. Dan sebelum aku pergi, ijinkan aku mengucap
satu permohonan’ lagi-lagi wajah kami beradu.
‘apa
permintaanmu? jawabku datar.
‘ijinkan aku
menghabiskan malam ini bersamamu!’ kulihat matanya bersinar penuh harap.
Aku tak
menjawabnya. Kupandangi lekuk wajahnya. Makhluk Tuhan yang satu ini terasa
begitu sempurna. Tanpa kujawab sudah kupastikan ia mengerti apa yang
kumaksudkan.
‘Mel..
bolehkah aku membuat sebuah pengakuan?’
‘ya, tentu
saja’
‘sejak
pertama kali aku mengenalmu. Aku merasakan sesuatu yang beda yang kutemukan
pada dirimu. Kehadiranmu selalu bisa membuatku tersenyum. Kau membuatku
bersemangat mengahadapi hari. Namun kediamanmu membuatku ragu atas apa yang
kurasakan. Dan aku tak pernah menunjukkan apa yang kurasakan padamu. Hingga
Tuhan mempertemukan kita lagi mungkin ini adalah satu isyarat untukku agar
berani jujur mengatakan apa yang sebenarnya kurasakan'
'Selama bertahun-tahun ini
aku menghilang agar aku tak banyak mengharapkan kehadiranmu. Selepas kita
berpisah dari SMA aku merasakan kehilangan sosok motivator terhebat yang pernah
kumiliki. Aku kehilangan sosok penuh keceriaan dan semangat. Aku merindukan
sosok itu. Hingga aku berusaha untuk mencari pengganti dirimu, namun tak pernah
juga kutemukan. Sekarang aku sudah bertemu denganmu lagi dan aku tak bisa
berbohong bahwa perasaanku masih sama'
'Kini aku katakan sejujurnya padamu.
Entah apa yang engkau rasakan sama halnya denganku atau tidak. Jika apa yang
kulakukan padamu selama ini banyak membuat hatimu tersakiti aku mohon maaf, aku
tak sengaja melukaimu. Aku tak tahu cara yang tepat untuk memperlakukanmu. Aku
takut berbuat salah padamu. Aku mohon maafkan aku’
Vito bertutur begitu
manisnya. Senyumku
mengembang menyambut penuturan jujur Vito.
‘mungkin
radarku benar menilaimu. Engkau lelaki yang sulit untuk ku tebak. Dan kau telah banyak membuatku bingung. Dan apa yang
engkau rasakan adalah sama seperti apa yang kurasakan’ aku sedikit tersipu akan
ucapanku barusan.
‘Mel, aku
senang dan sedih. Sedih karena harus menyadari bahwa ini adalah pertemuan
terakhirku denganmu’ Vito nampak mulai berkaca-kaca.
‘Vito
bolehkah engkau jujur padaku apa yang membuatmu tak bisa bertemu denganku
lagi?’ aku mempertanyakan sebuah jawaban.
‘sstt! Tak
usah membicarakan hal itu lagi. Menghabiskan malam ini bersamamu cukup dengan
memandang wajahmu adalah bingkisan terindah Tuhan yang pernah kudapatkan. Aku
beruntung hari ini aku bisa bebas mengungkapkan semua yang kupendam selama ini’
‘Amelia
Wardani … aku Dewangga Vito mencintaimu sepenuh hati’
Tak kusangka
Vito berani mengungkapkan apa yang selama ini kuharapkan keluar dari mulut
manisnya.
Aku
menanggapinya dengan tertawa cekikikan.
‘Vito… Vito
dulu aku kau buat menangis sekarang kelakuanmu seperti ini!’ ujarku masih
dengan tawa.
‘yeee, Amel!
Giliran orang jujur malah diketawain. Udahlah terseraah!’ Vito sedikit kesal
rupanya.
‘hahhaaa,
Vito ngambek ya??? Maafin Amel yah? Amel traktir nasi goreng mau nggak?’ ujarku
menimpali.
‘bilang kek
dari tadi! Laper nih!’ ujar Vito.
‘idih tadi
aja ngambek sekarang main iya-iyaan. Huuu!’ jawabku meledek.
‘biarin,
bodo amet. Yang penting sekarang Vito ditraktir’
Segera kami
berhambur di warung nasi goreng 24 jam. Selanjutnya kami bercengkrama dalam
satu balutan kasih nan indah. Hanya kami berdua.
Malam itu
adalah malam terindah yang pernah kulalui sekaligus malam terakhirku bisa
bersanding dengan lelaki yang kucintai bertahun-tahun lamanya. Sedih dan
bahagia menghinggapi hatiku. Rasa senang yang luar biasa ketika mengetahui apa
yang dirasakan Vito adalah persis seperti apa yang kurasakan. Kami dua insan
yang sedang dimabuk asmara. Kuucapkan terimakasih kepada Dewangga Vito yang tak
terhingga. Aku tak tau apa gerangan sebab musabab aku dengannya harus tepisah.
Namun aku berdoa semoga suatu saat nanti kami akan dipertemukan dalam acara
sakral, walimatul ‘ursy.
Pagi tak
berlama-lama datang untuk menyambut perpisahan kami. Aku menjabat uluran
tangannya dengan penuh kasih. Jabat tangan terakhir. Matanya bersinar merekah,
mata bening yang tak pernah berbohong padaku. Kusimpan momen pertemuan
terakhirku ini dengan baik dalam memoriku. Mataku berlinang melepas
kepergiannya yang entah kemana.
‘hati-hati
yaa. Terimakasih’ ucapku tersenyum meski tetes air mata tak juga berhenti.
AD 9909 MT
berlalu meninggalkan pelataran parkir rumah sakit hingga akhirnya sama sekali
tak terlihat. Segera aku beranjak ke dalam. Melanjutkan rutinitasku. Hatiku
bahagia namun terkoyak. Aku bergegas kembali ke ruang kerjaku. Ingin segera
kuluapkan semua air mataku ini. Bingkisan manis yang diberikan Vito padaku
perlahan kubuka.
Tertulis
disana,
Yang tercinta Amelia Wardani
Apakah
gerangan yang diberikan lelaki itu padaku?
Kudapati
sebuah album foto berwarna ungu bersampul manis dengan pita kecil di pojoknya.
Lekas kubuka album itu. sungguh terharu akan isinya. Kulihat foto-fotoku
disana, foto yang diambilnya tanpa sepengetahuanku ketika aku masih duduk
dibangku SMA. Ada juga beberapa fotonya ketika masih di SMA juga. Menggelikan,
ada beberapa foto yang diambilnya ketika kami sekelas berkunjung ke bebrapa tempat
wisata.
Hatiku haru
atas apa yang selama ini dilakukan Vito padaku. Selama tujuh belas tahun
lamanya ia memendam rasa yang begitu luar biasa. Aku terharu melihat fotofotoku
terpampang manis dengan aneka gaya tanpa ekspresi. Wajahku masih sembam diliputi
oleh air mata.
Lelaki itu
sungguh luar biasa.
…
Semenjak
pertemuan terakhirku dengan Vito kini aku menjalani hari-hariku dengan biasa.
Beraktivitas normal menghabiskan banyak waktu dirumah sakit lalu bercengkerama
dengan pasian. Namun senyum yang selama ini mengembang masih menyimpan satu
keganjilan, ketidak ikhlasanku melepas kepergian Vito yang entah sekarang ia
dimana dan bagaimana kabarnya. Hubunganku 100% terputus, taka da lagi sms
maupun telpon. Nomornya tak lagi bersahabat untuk dihubungi, kurasa itu memang
disengaja olehnya.
Ada apa
sebenarnya denganmu Vito? Sebeginikah engkau membuat hatiku gelisah? Beri aku
sedikit saja kabar tentangmu.
,,,