Jumat, 01 Maret 2013

Terdiam (II)


Masih ingat dengan kisah Vito dan Amel? (kalo belum klik disini). Yupp kali ini saya akan melanjutkan petualangan kisah mereka. Penasaran??? Yuk mari check this out!


Berkali-kali aku memandangi hape keluaran tahun 2000-an itu, sudah terlalu jadul sebenarnya. Namun inilah ciri khas seorang Amelia Wardani selalu setia dengan barang apapun yang dimilikinya. Handphone itu terlihat lebih tua dari usia sebenarnya, keypadnya sudah luntur dan tak bisa terbaca lagi, layarnya penuh luka gores disana-sini dan sayangnya masih belum terganti. Bukti kesetiaan atau bukti ketidakpedulian sebenarnya hanya beda tipis jika melihat kondisi ini. Sang bunda bukan tidak peduli bahkan sudah menawarkan diri untuk membelikan kostum baru untuk hp-nya namun berkali-kali jua ditampiknya.

Aku menunggu balasan sms dari teman lamaku yang dulu pernah kutaruh hati padanya. Sejak pertemuan yang tidak sengaja di bandara tempo lalu kini aku sering bekomunikasi dengannya. Tak jarang aku kopi darat dengannya mencoba romantika beberapa kafe di daerah Jogja. Sekarang ia bekerja disebuah perusahaan tambang terbesar di Indonesia tepatnya didaerah Kalimantan. Saat ini ia berkesempatan kembali ke tanah jawa selama enam bulan. Beruntungnya aku menjadi orang pertama yang bertemu dengannya selepas ia menginjakkan kaki di tanah Jawa ini.

Rasa yang dulu sempat terpendam kini bergelora kembali. Tuhan memang maha membolak-balikkan isi hati. Aku mencoba untuk berhati-hati ketika memasuki permainan bernama cinta. Aku tidak ingin jatuh dalam lubang yang sama bahkan dengan orang yang sama. Aku memperkuat rem hati dan perasaanku untuk bisa mengemudikan hatiku bebas tanpa hambatan.

Satu hingga dua jam kutunggu namun belum jua kudapatkan balasan darinya. Kejadian yang tak biasa bagiku. Biasanya jika ia ingin meyudahi sms, selalu tak lupa ia berpamitan namun ada kejanggalan disini. Aku coba menghilangkan seluruh perasaan negative-ku ini, mungkin ada urusan lain yang harus ia selesaikan saat ini juga. Aku mencoba memahami.

Sebenarnya belum ada komitmen yang jelas diantara kami. Belum ada hitam diatas kertas bahkan belum ada benda manis melingkar dijari-jariku. Hubungan kami masih samar. Mungkin aku terlalu bersemangat ketika Tuhan mencoba menghadirkan dia dalam hidupku lagi. Tujuh belas tahun kupendam rapi perasaanku padanya hingga sekarang dan kini Tuhan menggodaku untuk mengais-ngaiskan hatiku padanya. Aku hanya mengikuti alur yang telah Tuhan ciptakan untukku.

Hujan perlahan turun merayap mencoba mendinginkan suasana hatiku yang sudah tidak karuan ini. Kaca jendelaku dipenuhi dengan butiran bening air yang melesat turun secara perlahan. Kucoba untuk memejamkan mata melepas kegalauan yang masih menyelimuti pikiranku. Malam memang sudah terlalu larut. Esok sudah bersiap menyambutku dengan seabrek rutinitas, aku mulai terpejam.

Aku bekerja di sebuah rumah sakit umum daerah di Jogja. Hampir lima tahun aku mengabdi disini. Aku hanya memfokuskan pada satu rumah sakit saja dan disinilah tempat terbaik yang bisa kupilih.  Dengan pasien aku bisa melupakan banyak kepenatan masalahku. berbagi bercanda bersama. Dari kecil aku sudah bercita-cita menjadi seorang dokter dan kini akulah dokter itu. Aku mengambil spesialis mata karena aku senang melihat keceriaan dalam binar mata karena mata pula satu dari sekian organ yang dimiliki manusia yang tak bisa berbohong.

Dengan profesiku ini aku dipertemukan dengan Aziz salah seorang pasienku yang beberapa kali menyatakan perasaanya padaku. Namun hatiku masih belum bisa terbuka untuk menerima cinta lain selain Vito. Aku masih terlalu egois hanya selalu memikirkan perasaanku sendiri. Sebenarnya aku sangat sadar akan pengorbanan besar yang dilakukan Aziz padaku. Sepanjang hari ia tak pernah lupa mengingatkan aku untuk ibadah, makan, atau aktifitas lainnya. Ia selalu update mengikuti seluruh rutinitasku. Dia tak pernah absen mengucapkan selamat ulang tahun selalu yang pertama selama dua tahun terakhir plus dengan bingkisan kado special untukku. Namun kebaikan dan ketulusannya belum bisa meluluhkanku. Ada sedikit rasa harap menggelayutiku untuk setia menunggu Vito.

Malam itu aku berencana bermalam di rumah sakit ada banyak hal yang harus aku selesaikan. Aku sudah menelpon rumah pagi tadi agar tidak mencemaskanku. Berkas status pasien menumpuk memaksaku untuk kupelajari. Pikiranku terfokus disitu hingga handphone berdering berkali-kali tak pernah kugapai. Namun sekian lama suaranya terdengar meraung-raung melebihi bunyi sirine ambulans. Kuraih handphone itu dari dalam tas. Tanpa kulihat identistas penelpon segera kuangkat dan meletakkannya lekat di telingaku.

‘assalamualaikum, halo ada apa?’ suaraku terdengar sangat cepat terasa sangat tak berniat menjawab telepon.
‘waalaikumusalam wr wb, halo Mel ini aku Vito’ suara lelaki yang sudah sangat akrab bagiku.
Aku terkejut seketika. Segera kuhentikan aktivitasku seakan aku tak percaya.
‘oh my God, Vito?’ tanyaku masih dengan mulut menganga.
‘iya Mel. Umm , malam ini kamu sibuk nggak? Kalo bisa kita ketemuan, ada hal penting yang ingin kusampaikan’
‘sebenernya aku masih dirumah sakit sih, ada beberapa kerjaan yang belum kelar. Tapi bisa ku handle sih. Oke ketemuan dimana?’ ujarku mengiyakan
‘aku otw ke rumah sakitmu saja. Wait me oke?’
‘oh, okelah. Hati-hati’

Percakapan kami segera terputus. Aku menghela nafas panjang. Pikiranku dihinggapi oleh pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawabkan. Ada apakah gerangan Vito menemuiku di malam seperti ini? Apakah sesuatu yang ingin ia bicarakan padaku? Pastinya bukan hal yang sepele namun apa? Kucoba meredam rasa ingin tahuku itu, sebentar lagi semua akan terjawab.

Beranjaklah aku keluar ruang kerja melangkah menuju warung 24 jam yang berjajar manis di dekat parkir rumah sakit. Lima belas menit kemudian kulihat mobil warna silver memasuki pelataran parkir. Sekejap mematikan lampu berikut mesin mobilnya. Sosok lelaki bertubuh tinggi kurus berbalut jaket parasit warna biru tua dan sebuah celana panjang warna gelap terlihat keluar dari situ. Tepat seperti dugaanku dialah lelaki yang kutunggu, Vito.

Tanpa berpikir panjang aku mendekatinya. Jantungku mendadak berdegup lebih kencang dari biasanya. Aku takut aku tak bisa berkata apa-apa. Hmm, sudahlah lupakan.

‘hay!’ ujarku menyapa
‘hay, maaf ya Mel aku ngajak ketemuan, bahkan malam-malam gini. Terimakasih sudah meluangkan waktu’ suara Vito mengalun lembut menyeka hatiku.
‘iya To, santai aja sama aku tuh’ ujarku cengar-cengir.
Kami berdua duduk bersanding di atas kap mobil. Bersama memandangi indahnya taburan bintang di langit. Lama kami terdiam.
‘Mel…’
‘iya?’
‘mungkin ini pertemuan terakhir kita. Umm, ada satu hal yang harus aku kerjakan dan maaf  tak bisa kujelaskan sekarang’
Kupandangi wajahnya. Masih sama selalu meneduhkan hatiku. Aku tak percaya atas apa yang dikatakannya baru saja. Sekali lagi aku memandangi wajahnya mencoba meyakinkan atas apa yang ia katakan.
‘aku yakin ini akan jadi tantangan terberat untuk kita. Umm, sebelumnya aku bawakan sesuatu untukmu’ Vito berlalu kedalam mobil dan sejenak kemudian ia muncul lagi membawa sebuah kotak persegi panjang berpita.
‘ini buat kamu’ ia menyerahkan kotak itu padaku.
‘mungkin ini hal terakhir yang bisa kuberikan. Dan sebelum aku pergi, ijinkan aku mengucap satu permohonan’ lagi-lagi wajah kami beradu.
‘apa permintaanmu? jawabku datar.
‘ijinkan aku menghabiskan malam ini bersamamu!’ kulihat matanya bersinar penuh harap.
Aku tak menjawabnya. Kupandangi lekuk wajahnya. Makhluk Tuhan yang satu ini terasa begitu sempurna. Tanpa kujawab sudah kupastikan ia mengerti apa yang kumaksudkan.
‘Mel.. bolehkah aku membuat sebuah pengakuan?’
‘ya, tentu saja’
‘sejak pertama kali aku mengenalmu. Aku merasakan sesuatu yang beda yang kutemukan pada dirimu. Kehadiranmu selalu bisa membuatku tersenyum. Kau membuatku bersemangat mengahadapi hari. Namun kediamanmu membuatku ragu atas apa yang kurasakan. Dan aku tak pernah menunjukkan apa yang kurasakan padamu. Hingga Tuhan mempertemukan kita lagi mungkin ini adalah satu isyarat untukku agar berani jujur mengatakan apa yang sebenarnya kurasakan'
'Selama bertahun-tahun ini aku menghilang agar aku tak banyak mengharapkan kehadiranmu. Selepas kita berpisah dari SMA aku merasakan kehilangan sosok motivator terhebat yang pernah kumiliki. Aku kehilangan sosok penuh keceriaan dan semangat. Aku merindukan sosok itu. Hingga aku berusaha untuk mencari pengganti dirimu, namun tak pernah juga kutemukan. Sekarang aku sudah bertemu denganmu lagi dan aku tak bisa berbohong bahwa perasaanku masih sama'
'Kini aku katakan sejujurnya padamu. Entah apa yang engkau rasakan sama halnya denganku atau tidak. Jika apa yang kulakukan padamu selama ini banyak membuat hatimu tersakiti aku mohon maaf, aku tak sengaja melukaimu. Aku tak tahu cara yang tepat untuk memperlakukanmu. Aku takut berbuat salah padamu. Aku mohon maafkan aku’
Vito bertutur begitu manisnya. Senyumku mengembang menyambut penuturan jujur Vito.

‘mungkin radarku benar menilaimu. Engkau lelaki yang sulit untuk ku tebak. Dan kau  telah banyak membuatku bingung. Dan apa yang engkau rasakan adalah sama seperti apa yang kurasakan’ aku sedikit tersipu akan ucapanku barusan.
‘Mel, aku senang dan sedih. Sedih karena harus menyadari bahwa ini adalah pertemuan terakhirku denganmu’ Vito nampak mulai berkaca-kaca.
‘Vito bolehkah engkau jujur padaku apa yang membuatmu tak bisa bertemu denganku lagi?’ aku mempertanyakan sebuah jawaban.
‘sstt! Tak usah membicarakan hal itu lagi. Menghabiskan malam ini bersamamu cukup dengan memandang wajahmu adalah bingkisan terindah Tuhan yang pernah kudapatkan. Aku beruntung hari ini aku bisa bebas mengungkapkan semua yang kupendam selama ini’
‘Amelia Wardani … aku Dewangga Vito mencintaimu sepenuh hati’
Tak kusangka Vito berani mengungkapkan apa yang selama ini kuharapkan keluar dari mulut manisnya.
Aku menanggapinya dengan tertawa cekikikan.
‘Vito… Vito dulu aku kau buat menangis sekarang kelakuanmu seperti ini!’ ujarku masih dengan tawa.
‘yeee, Amel! Giliran orang jujur malah diketawain. Udahlah terseraah!’ Vito sedikit kesal rupanya.
‘hahhaaa, Vito ngambek ya??? Maafin Amel yah? Amel traktir nasi goreng mau nggak?’ ujarku menimpali.
‘bilang kek dari tadi! Laper nih!’ ujar Vito.
‘idih tadi aja ngambek sekarang main iya-iyaan. Huuu!’ jawabku meledek.
‘biarin, bodo amet. Yang penting sekarang Vito ditraktir’

Segera kami berhambur di warung nasi goreng 24 jam. Selanjutnya kami bercengkrama dalam satu balutan kasih nan indah. Hanya kami berdua.

Malam itu adalah malam terindah yang pernah kulalui sekaligus malam terakhirku bisa bersanding dengan lelaki yang kucintai bertahun-tahun lamanya. Sedih dan bahagia menghinggapi hatiku. Rasa senang yang luar biasa ketika mengetahui apa yang dirasakan Vito adalah persis seperti apa yang kurasakan. Kami dua insan yang sedang dimabuk asmara. Kuucapkan terimakasih kepada Dewangga Vito yang tak terhingga. Aku tak tau apa gerangan sebab musabab aku dengannya harus tepisah. Namun aku berdoa semoga suatu saat nanti kami akan dipertemukan dalam acara sakral, walimatul ‘ursy.

Pagi tak berlama-lama datang untuk menyambut perpisahan kami. Aku menjabat uluran tangannya dengan penuh kasih. Jabat tangan terakhir. Matanya bersinar merekah, mata bening yang tak pernah berbohong padaku. Kusimpan momen pertemuan terakhirku ini dengan baik dalam memoriku. Mataku berlinang melepas kepergiannya yang entah kemana.

‘hati-hati yaa. Terimakasih’ ucapku tersenyum meski tetes air mata tak juga berhenti.
AD 9909 MT berlalu meninggalkan pelataran parkir rumah sakit hingga akhirnya sama sekali tak terlihat. Segera aku beranjak ke dalam. Melanjutkan rutinitasku. Hatiku bahagia namun terkoyak. Aku bergegas kembali ke ruang kerjaku. Ingin segera kuluapkan semua air mataku ini. Bingkisan manis yang diberikan Vito padaku perlahan kubuka.

Tertulis disana,
Yang tercinta Amelia Wardani

Apakah gerangan yang diberikan lelaki itu padaku?
Kudapati sebuah album foto berwarna ungu bersampul manis dengan pita kecil di pojoknya. Lekas kubuka album itu. sungguh terharu akan isinya. Kulihat foto-fotoku disana, foto yang diambilnya tanpa sepengetahuanku ketika aku masih duduk dibangku SMA. Ada juga beberapa fotonya ketika masih di SMA juga. Menggelikan, ada beberapa foto yang diambilnya ketika kami sekelas berkunjung ke bebrapa tempat wisata.

Hatiku haru atas apa yang selama ini dilakukan Vito padaku. Selama tujuh belas tahun lamanya ia memendam rasa yang begitu luar biasa. Aku terharu melihat fotofotoku terpampang manis dengan aneka gaya tanpa ekspresi. Wajahku masih sembam diliputi oleh air mata.
Lelaki itu sungguh luar biasa.
Semenjak pertemuan terakhirku dengan Vito kini aku menjalani hari-hariku dengan biasa. Beraktivitas normal menghabiskan banyak waktu dirumah sakit lalu bercengkerama dengan pasian. Namun senyum yang selama ini mengembang masih menyimpan satu keganjilan, ketidak ikhlasanku melepas kepergian Vito yang entah sekarang ia dimana dan bagaimana kabarnya. Hubunganku 100% terputus, taka da lagi sms maupun telpon. Nomornya tak lagi bersahabat untuk dihubungi, kurasa itu memang disengaja olehnya.

Ada apa sebenarnya denganmu Vito? Sebeginikah engkau membuat hatiku gelisah? Beri aku sedikit saja kabar tentangmu. 
,,,