Lagi.
Aku membenci huruf P, juga I, S, apalagi A, dan H. Membencinya jika terucap
menjadi sebuah kata ‘berpisah’.
Apakah menjadi sebuah mutlak jika pertemuan selalu dipasangankan dengan
perpisahan? Haruskah?
Belum
genap nafas ini dapat utuh berbagi. Belum juga tapak ini dapat saling mengukir
asa, ceria dan cerita. Baru memulai mencerna marah atau mungkin duka dalam
bungkam. Baru mengerti arti diam. Baru
mengerti arti dalam setiap kata. Baru memahami arti dalam setiap langkah. Baru
memandang sempurnanya perwujudan. Baru bisa belajar tulus dalam lapis senyuman.
Baru memandang lekat pancaran sikap.
Disana.
Jelas aku melihat pancaran. Banyak. Segala tentang kita saling terpancar.
Membalut semua tawa. Hanya tawa. Sedih pun akan menjadi tawa disini. Iya. Hanya
di sini.
Tapi
sekarang, tawa tingkat dewa pun tak lagi menjadi makna. Katanya ini adalah
ujung. Hai ujung? Fine, aku
membencimu! Juga membenci saat air mata berarak membentuk mendung yang akan
menurunkan isinya deras-deras. Menyisakan sengguk tangis dan nafas yang saling
beradu menjadi yang pertama. Bergumul dalam peluk-peluk perpisahan. Aku benci
saat-saat itu.
“Berpisah adalah momen mahal Tuhan
untuk megingatkan kita betapa berharganya segala yang kita miliki” DRSBH1314