Rabu, 03 Desember 2014

Babay!

Lagi. Aku membenci huruf P, juga I, S, apalagi A, dan H. Membencinya jika terucap menjadi sebuah kata ‘berpisah’. Apakah menjadi sebuah mutlak jika pertemuan selalu dipasangankan dengan perpisahan? Haruskah?

Belum genap nafas ini dapat utuh berbagi. Belum juga tapak ini dapat saling mengukir asa, ceria dan cerita. Baru memulai mencerna marah atau mungkin duka dalam bungkam.  Baru mengerti arti diam. Baru mengerti arti dalam setiap kata. Baru memahami arti dalam setiap langkah. Baru memandang sempurnanya perwujudan. Baru bisa belajar tulus dalam lapis senyuman. Baru memandang lekat pancaran sikap.

Disana. Jelas aku melihat pancaran. Banyak. Segala tentang kita saling terpancar. Membalut semua tawa. Hanya tawa. Sedih pun akan menjadi tawa disini. Iya. Hanya di sini.

Tapi sekarang, tawa tingkat dewa pun tak lagi menjadi makna. Katanya ini adalah ujung. Hai ujung? Fine, aku membencimu! Juga membenci saat air mata berarak membentuk mendung yang akan menurunkan isinya deras-deras. Menyisakan sengguk tangis dan nafas yang saling beradu menjadi yang pertama. Bergumul dalam peluk-peluk perpisahan. Aku benci saat-saat itu.


“Berpisah adalah momen mahal Tuhan untuk megingatkan kita betapa berharganya segala yang kita miliki” DRSBH1314