Rabu, 31 Agustus 2016

Temu Inklusi 2016 #1


Sebuah hal yang patut disyukuri adalah keikutsertaan saya dalam Temu Inklusi 2016 (25-27/8) lalu. Banyak hal, jejaring, pengalaman, pun pemahaman baru yang saya dapat bersama dengan kawan-kawan Braille’iant. Well, singkatnya Temu Inklusi adalah sebuah forum akbar bertemunya aktifis difabel se Indonesia. Kegiatan berlangsung selama tiga hari, berlokasi di Desa Inklusi, Sidorejo, Lendah, Kulonprogo. Kegiatan ini diprakarsai oleh SIGAB dengan merangkul berbagai lembaga, yayasan, pun organisasi terkait.

Saya sampai di TKP pada Kamis pagi. Braille’iant banyak ambil bagian dalam acara ini, di antaranya berkesempatan untuk membuka stand, hingga terpilih sebagai salah satu pengisi Apreciate Inquiry. Kurang lebih pukul sepuluh, acara resmi dibuka. Pembukaan makin semarak dengan Tarian Angguk dari siswa-siswi SLB. Keseruan Temu Inklusi hari pertama diisi dengan Seminar Nasional dan Apreciate Inquiry.

Seminar Nasional yang dihelat berjudul, Dari Desa Berbagi Gagasan Dan Praktik Baik Menuju Indonesia Inklusi, dengan pembicara Nyoman Shuida, Imam Aziz, Bito Wikantosa, dan M. Joni Yulianto. Saya tidak berkesempatan mengikuti seminar ini karena fokus ke stand. Oleh karenanya, mohon maaf saya tak bisa banyak bercerita terkait hal ini. Saya baru kemudian aktif tepatnya saat Apreciate Inquiry sesi 3 dimulai, saat itu jatah Braille’iant presentasi.

Well sebelumnya, apa sebenarnya Apreciate Inquiry (AI) ini? Singkatnya AI adalah sebuah forum untuk mengapresiasi dan berbagi gagasan atau pengalaman kerja untuk mewujudkan inklusi sosial difabel di masyarakat. Braille’iant bersama dengan Diva Ojek, Perspektive Jogja, dan Signteraktif (SIGAB) menjadi pengisi di sesi ketiga (terakhir). Kali itu Braille’iant diwakili oleh kak Hayu Austina. Kak Hayu berkisah tentang salah satu pengalaman jatuh bangun Braille’iant dalam memperjuangkan teman-teman difnet untuk bisa ikut serta dalam TOEFL test.

(dari kiri) Signteraktif, Braille'iant, Perspektif Jogja, Difa Ojek
Sesi ketiga ini meskipun pesertanya tidak full seperti sesi sebelumnya, tetap menarik disimak. Masing-masing pengisi memiliki keunikan pun substansi yang bermacam-macam. Sayang dilewatkan lah. Boleh saya ceritakan singkat. Pertama dari Perspetive Jogja, ini bergerak dalam bidang seni rupa, membongkar cara berpikir melalui seni rupa. Anak-anak difabel dilatih dalam eksplorasi titik. Berkarya melalui titik. Lembaga ini telah banyak berkiprah dalam pameran lokal pun internasional.

Kedua dari Signteraktif. Signteraktif digagas salah satunya karena data jumlah penerjemah bahasa dibandingkan dengan kawan-kawan difabel rungu cukup jomplang. Kalau saya tidak salah ingat, kurang lebih ada 1:1000 lah. Singkatnya, Signteraktif ini merupakan sebuah aplikasi bantu berbasis online berupa penerjemah bagi kawan-kawan difabel rungu. Rencananya, Signteraktif akan diluncurkan dalam waktu dekat.

Lalu dari Diva Ojek City Tour dan Transport. Sebuah inovasi yang cerdas dalam memaksimalkan potensi teman-teman difabel grahita. Telah dan terus melebarkan sayap dalam banyak kota. Ojek yang digunakan sudah didesain khusus untuk ramah difabel. Setingkat di atas ojek aplikasi online pada umumnya, DivaJek menyasar pada kebutuhan tour pun travelling sehingga charge yang dipatok pun berbeda.

Sesi AI ditutup saat Maghrib tiba. Saya membawa oleh-oleh buku berjudul Menerjang Batas Mengejar Impian dengan bermodalkan dua buah pertanyaan sebelumnya. Hehe. Acara selanjutnya adalah Malam Apresiasi Seni. Kesenian lokal banyak mewarnai. Mulai dari Tari Angguk hingga stand up komedi Direktur SIGAB, Pak Joni Yulianto.

Persembahan Tari Angguk

Stand Up Comedy Pak Joni (Direktur SIGAB)

Lalu meluncurlah kami ke penginapan (rumah warga). Kami bertujuh dibagi ke dalam empat tempat penginapan. Saya bersama dengan kak Noni di tempah Mbah Girah Tubin. Menuju lokasi, kami didampingi oleh seorang LO. Dia berpesan baik berangkat maupun pulang untuk selalu menghubunginya. Service yang baik menurut saya. Sampai ditempat, ternyata sudah ada satu peserta di situ. Ia bernama mbak Pipit dari KOMPAK.

Rumah mbah Girah cukup ndeso. Meski dekat dengan SD namun kanan kiri depan belakang mbah Girah hanyalah kebon mlompong. Lumayan jauh jarak dari sini ke lokasi Temu Inklusi. Mbah Girah baik sekali dalam menerima kedatangan kami. Kami langsung dijamu dengan teh panas dan suguhan makanan lokal. Rumaket lah istilah Jawanya. Dan saya rasa ini berlaku disetiap rumah yang dijadikan home stay.

Saya sempet beberapa kali mengobrol dengan Mbak Pipit. Blio seorang aktifis yang asik. Blio sebelumnya sudah bergabung dengan berbagai macam lembaga. Pernah ia bergabung dalam lembaga yang konsen terhadap isu-isu pelanggaran HAM berat, kekerasan terhadap perempuan, dan lainnya. Ia pernah berucap begini, “Permasalahan difabel itu memang kompleks, namun tetap bisa diselesaikan karena dari atas sudah ada tekstualnya, tidak seperti masalah HAM berat.”

Lalu mengobrollah kami panjang lebar tentang masalah itu. Kami juga sempat mengobrol tentang pendanaan lembaga. Sempat sharing jalur-jalur pun ranah apa saja yang bisa kita jajaki. Blio juga bilang, “Kalian potensial sekali lho dapet dana kek gitu. Apalagi dengan melihat basic kalian (Braille’iant).” Kami pun sempat bertukar kartu nama. FYI, kartu nama blio sudah di desain khusus untuk aksesibel bagi difnet (menggunakan huruf Braille). Di akhir perjumpaan, blio berpesan, “Keep contact ya!”

(bersambung)

Senin, 22 Agustus 2016

Masjid Perak Kotagede

Masjid Perak Kotagede, dibuat saya rasa penasaran olehnya. Kiprah sejarahnya bikin saya kepo. Akhirnya, beberapa waktu lalu saya berkesempatan kesana. Bagi saya, Kotagede bukanlah wilayah asing. Lalu lintas sehari-hari lah. Tapi saya belum pernah sekalipun melihat ‘bleger’ itu masjid. Dimanakah gerangan keberadaannya? Tiap kali lewat daerah situ (sentral jualan perak, daerah Mondorakan), saya celingak-celinguk mencoba mengendus keberadaannya. Daaan, yaakk, saya dapati plangnya!

Deketan sama SMA Muhamadiyah 4 / Kotagede. Agak masuk, ngga pas pinggir jalan utama. Dan itu jalan masuk cuman segede upil. Mobil wasalam masuk dah. Saya kesana pas barengan jam anak-anak sekolah istirahat. Jadi rame lah. Tapi bukan masjidnya. Jalanan sekitar situ. Banyak lah agendanya. Ada yang mojok, wira-wiri, playon, dan alhamdulillah ada beberapa yang ke masjid.

Motor saya parkir di sebuah halaman kecil yang ‘mungkin’ itu tempat parkir. Agak ragu soalnya kok cuman sempit, jangan-jangan to, ya sapa tau, ada tempat parkir lain. Motor akhirnya saya sandingkan juga di situ, sebelahan dengan motor lain yang udah mandeg duluan.

Begitu masuk, saya disambut dengan tiang-tiang kuno penyangga segede bohem. Klasik nian ini masjid. Suka saya. Dan yang lebih penting, saya disambut dengan aura ‘adem’ yang syahduu banget. Nggak semua masjid punya aura kek gini soalnya. Semua rapih dan resik. Dari situ saya ambil kesimpulan, di balik itu semua (sepertinya) ada manajemen yang baik. Hehe. 

Ohya, tambahan info, kamu harus tahu satu hal, ada yang menambah nuansa artsy masjid ini, yakni mimbarnya. Dengar cerita, ini mimbar malah udah ada sebelum masjid dibangun. Mulanya, mimbar ini digunakan tiap ibadah shalat Jumat di Masjid Gedhe Mataram. Usut punya usut, akhirnya berpindah ke sini.

Bakda sembahyang, saya coba menyelami lebih jauh arsitektur ini masjid. Di sela itu, saya mendengar bebunyian tilawah. Allah.. makin adem aja. Tak berselang lama, empat bocah SMA masuk. Apa yang kemudian mereka lakukan adalah yang bikin saya melting. Jadi, mereka duduk melingkar di tengah masjid. Sema’an gitu. Ada satu lah yg jadi leadernya. Jaman Awkarin’s gini, ada yang masi nyempetin kek gitu ki sesuatu. Kapan-kapan deh cerita mengapa kok saya bisa ngomong kek gitu.



Singkat informasi dari Gugel, masjid ini berdiri ketika Kotagede dalam puncak kejayaan. Perlu diketahui juga bahwa dana yang dipergunakan untuk membangun masjid ini merupakan sumbangan dari saudagar perak setempat. Selain itu, FYI, nama Perak diambil dari bahasa Arab “Firoq” yang berarti pembeda. Pembeda dari kekotoran dan kebekuan pikir pada masa lalu, pemisahan dari kekotoran dan kebekuan berpikir pada masa lampau, dan keterpisahan kaum reformis dari keterikatan kekuasaan keagamaan kerajaan Islam dan adat. Katanya sih gitu.

Masjid ini dibangun pada tahun 1938-1939 dan mulai aktif digunakan pada tahun 1940. Sempat mengalami renovasi dikarenakan gempa 2006, namun tetap mempertahanan struktur dasarnya. Bagunan yang sekarang ini, sudah berlantai dua lengkap dengan perpustakaan, kantor, dan ruang multimedia. 

Humm.. Sayangnya, saya belum sempat berkeliling lebih jauh lagi, padahal banyak sudut-sudut ethnic yang sayang dilewatin. Lain kali. Mungkin. Sama kamu.