Jumat, 13 Mei 2016

RESENSI KIDUNG MALAM


Judul: Kidung Malam
Penulis: Herjaka HS
Penerbit: Tembi Rumah Budaya
Cetakan: I, Desember 2010
Tebal: 150 halaman

Kidung Malam menjadi novel pembelajaran apik bagi mereka yang masih awam ataupun ingin mengenal dunia pewayangan. Tentu saja tidak semua kisah pewayangan terwakili di sini. Buku ini berkisah tentang Durna sebagai center story. Sebuah ide yang menurut saya cukup fresh, mengingat Durna jarang diunggah sebagai center story.

Kisah bermula saat Prabu Destrarata gelisah terkait penyerahan tahta kekuasaan kerajaan Hastinapura. Diberikan kepada Pandawa kah? Atau Kurawa? Kisah itu berlanjut hingga menyulutkan dendam Kurawa kepada Pandawa. Singkat cerita, bertemulah Pandawa dan Kurawa dengan seorang pepundhen sakti yang berhasil mengambil Lenga Tala. Ya, dialah Durna. Bermula dari situlah Durna kemudian diangkat sebagai guru istana.

Pengisahan selanjutnya bertumpu pada perjalanan Durna mulai dari kisah kelahirannya, perjalanannya ke tanah Jawa, pertemuannya dengan Batari Wilutama yang berujung pada kelahiran Aswatama, kesumatnya yang belum tuntas, hingga kembali pada kisah Lenga Tala yang mengantarnya sebagai guru istana di  Hastinapura.

Konflik muncul saat Durna bertemu dengan Sucitra (sahabat sekaligus saudara seperguruannya) untuk mengentaskan kesumat melalui tangan para muridnya (Pandawa). Kesumat yang justru memicu kesumat lain. Konflik kembali muncul saat Durna dihadapkan pada pertikaian dua murid andalannya, Arjuna dan Ekalaya. Kebijaksanaannya sebagai guru pun dipertaruhkan. Konflik disajikan cukup pelik pada bagian ini.

Pada akhirnya, kemunculan rasa gelisah dan kebimbangan Durna dipilih penulis sebagai ending cerita. Durna berkecamuk dengan batin sendiri atas keberpihakannya dalam sengketa antara Pandawa dan Kurawa. Sengketa antar cucu Abiyasa yang diyakininya akan meledak menjadi sebuah perang dahsyat suatu saat nanti.

Ada banyak pesan moril yang disampaikan melalui buku ini. Salah satunya yakni ajaran bahwa tidak ada manusia yang ‘selalu putih’ begitupun sebaliknya, Arjuna misalnya. Arjuna selama ini dikenal sebagai sosok ksatria nan sempurna. Nyatanya tidak. Dalam buku ini Arjuna beberapa kali muncul dengan kesombongan dan iri dengki. Tak ubahnya kehidupan manusia bukan?

Secara garis besar novel ini disampaikan dalam bahasa Indonesia. Namun beberapa kali saya menemui statement-statement berbahasa Jawa seperti wastra lungset ing sampiran, manjing ajur-ajer, mban cindhe mban siladan, dsb. Agaknya penulis sengaja membiarkan kosa kata itu utuh dalam bahasa Jawa karena tidak ingin mengubah feel substantifnya. Hal tersebut sekaligus menegaskan betapa adi luhungnya bahasa Jawa hingga tak kuasa tergantikan.

Suguhan beberapa potret adegan (yang merupakan lukisan penulis sendiri) cukup membantu menghidupkan visualisasi. Hanya saja saya kurang begitu suka dengan tampilan layout yang tersaji dalam dua kolom. Tak ubahnya seperti membaca majalah. Tapi itu hanya masalah teknis saja. Jika dilakukan editing layout yang lebih menarik, saya rasa buku ini layak masuk dalam sekolah-sekolah sebagai media alternatif pengenalan wayang. Apalagi mengingat gaung wayang kini makin hilang oleh pembaharu-pembaharu zaman bukan?

Kelas Menulis bersama Kurniawan Gunadi

Kembali lagi saya menjamah kelas kepenulisan yang udah berabad-abad silam saya tinggalkan. Tentu saja yang saya maksud kelas menulis gratisan, haha. Pokoke prinsipnya, dimana ada kelas menulis (gratis), di situ saya ada. Hehe.

Oke, kelas kali ini diadakan dalam rangka meyongsong Muktamar Nasyiatul Aisyah XIII tingkat DIY (iklan dulu yes). Bintang tamunya si Mas Gun, Kurniawan Gunadi. Iya yang nulis Hujan Matahari itu. Hah ngga tau? Yasuda, cerita singkat dulu deh tentang. Mas Gun ini alumni seni rupa murni ITB. Betul, dia keluar dari ranah yang dibidanginya untuk fokus pada hal-hal berbau nulis.

Sebelum masuk ke materi nulis, aku mau reshare aja nih tentang apa aja yang tadi uda disampeken bliyo. Bagiku ini penting dan mencerahkan, jadi aku pengen kamu juga tau. Bliyo bercerita begini:

Saya bersyukur kuliah di ITB, di Bandung. Di sana itu surganya pluralitas. Wacana saya terbuka. Saya pertama kali melihat perempuan merokok, lelaki bertato (bahkan itu tato arab: bismillah), atheis, penyembah semua agama, radikal, liberal, bikini, hingga syar’i, ya di Bandung itu. Segingga, menjadi hal biasa jika di sini lagi ngaji, kamar sebelah pada ngebir. Sekali lagi itu hal yang biasa.

Salah satu hal yang saya syukuri dari kondisi demikian adalah saya tidak lagi terbebani dengan mainset lama bahwa  lulus kuliah itu ya jadi pegawai di kantor atau kalau nggak ya PNS (maindset jadul yang masih rela dipelihara orang Indonesia). Di sini, semua open minded. Dinamis banget. Itu salah satu yang melatar belakangi mengapa saya mantap memilih dunia menulis sebagai jalan hidup.

Di ITB juga saya merasa beruntung karena bertemu menteri A, B, C, D adalah hal yang mudah dan biasa. Hal itu lantas membuat saya berpikir, mereka-mereka (baca: orang-orang yang berpengaruh) pasti ada kalanya bergeser (baca: pensiun). Begitu pula dalam dunia tulis menulis. Katakanlah kang Abik dan sederetannya, sepuluh dua puluh tahun lagi, purna barangkali, lantas siapa yang menggantikan? Lalu pertanyaan berikutnya, mengapa bukan saya?

Saya juga sering berpikir begini, ketika saya melihat orang-orang besar macam mbak Hanum, mas Anwar Fuadi, dan sejenisnya sukses, hal yang lantas saya lakukan adalah mengamati berapakah rentang usia mereka dalam ‘kesuksesannya’ itu? Itu yang menjadi pelecut bagi saya agar kelak saat berada dalam usia sukses mereka itu, yah minimal bisa seperti mereka, bila perlu lebih. FYI usia mas Gunadi saat mengisi ini adalah 25 tahun, catet!

Udah gitu aja prolognya. Semoga kau bersepakat denganku bahwa itu keren. Jikalau tidak ya itu terserah kamu. Pokoknya bagiku itu keren. Oke, sekarang lanjut ke materi menulisnya.

Hal-hal yang saya tulis meliputi hal-hal yang saya sukai. Passion saya dalam menulis bukan karya ini akan laku atau tidak, akan dibaca orang atau tidak, tapi bagi saya menulis itu untuk ‘mendengarkan diri sendiri’. Tulislah segalanya, yang kau sukai.

Temukan ojek yang tepat untuk ditulis. Keberhasilan sebuah tulisan banyak dikontribusikan oleh preference penulis, kesukaannya apa, kegemarannya apa, passionnya apa. Traveller kah, kuiner kah, apa pun itu. Terpenting adalah kekonsistenanmu di situ.

Masalah ide sebenarnya sangat melimpah ruah di alam sekitar jika kita mau sadar. Ia bisa muncul dimana saja. Oleh karenanya, selalu tangkap ide itu. Dokumentasikan! Bagi saya pribadi lebih memilih voice note yang nggak terlalu ribet daripada cetak cetik, lama. Tapi apapun itu medianya ngga masalah selama itu terdokumentasikan.

Mengapa itu penting? Mendapatkan ide itu ibaratnya kita dikasih nikmat Tuhan yang ‘warbiasah langka’, maka alangkah sombongnya, alangkah kuffurnya, jika tak mensyukuri nikmat ide itu dengan menangkap dan mengolahnya menjadi kudapan tulisan yang maha lezat. Fix lebay.

Menulis munafik banget tanpa membaca. Ya, makanya mulailah dari membaca. Secara tidak langsung membaca mengajarkan kita mengenai diksi, cara merangkai kata, menyusun cerita, dan banyak lainnya. Carilah sudut pandang yang baru, yang berbeda, yang menarik. Dan satu hal lain yang tak kalah penting adalah, ‘menghargai proses’. Sakit hati ditolak-tolak naskahnya? Hmm itu sudah biasa. Jangan patah arang. Itulah bagian dari proses. Hargailah.

Tulisan kalian itu akan berjodoh dengan pembacanya sendiri. Tak tahu ia orang mana, bergender apa, latar belakangnya bagaimana, usianya, kita tak akan tahu. Dan ketahuilah bahwa pembaca memiliki ruang interpretasi sendiri-sendiri yang pasti akan berbeda. Itu bebas dan legal. FYI, tulisan Mas Gun ini sudah mendepak lebih dari lima negara! Orangnya kalah sama tulisannya yes, haha. Memang bener ya kata siapa dulu itu, tulisan itu lintas peradaban!

Terakhir ada dua pesan Mas Gun yang terngiang-ngiang dalam memoar saya: (1) Jadilah golongan manusia yang berani mewujudkan karya, tidak sekadar berwacana! (2) Jika kamu masih mahasiswa, banyak-banyaklah berbuat salah! Why? Perkuliahan memang ladang belajar. Jadi, selamat berbuat salah!

Kurang lebih begitu yang saya dapat dari kelas menulis bersama Mas Gun tempo hari. Semoga bermanfaat. Pokoknya, jangan lupa nulis!