Kamis, 17 Agustus 2017

Catatan Sebelum Keberangkatan


Tak pernah aku berpikir jika bulan delapan ini adalah bulan-bulan terakhirku bisa leluasa mengendusi kasur dan memeluk rumah. Tinggal menghitung jam aku akan meninggalkan tanah kelahiran dan hal-hal yang memenuhinya. Yah, bersiap menjadi perantau di kota asing. Harusnya nanti aku sudah karib dengan klakson, asap, dan kebisingan. Dan tentunya, makin aku karib dengannya, makin aku merindui kota lahirku ini¾tentang kedamaian dan kisah-kisah klasik di dalamnya.

Ketika sisa waktuku di Jogja makin menipis, kumulai menyadari beberapa hal. Ternyata berat juga ninggalin Jogja. Makin nyesek utamanya ketika sadar kalau bakal jarang-jarang bisa lekat-lekat ngeliat wajah bapak ibuk. Namun, bukankah memang begitu hidup? Semua tentang perpindahan.

Tahun ini, 2017, kuakui sebagai tahun misteri. Tahun ini kontrak kerjaku usai dan kuputuskan tak memperpanjangnya. Aku haus pengalaman. Aku ingin berkelana. Entah harus mendarat di kota mana atau justru bertahan di sini. Entah dengan pekerjaan baru atau melanjutkan studi atau mungkin juga keduanya. Perihal dimana, aku tak tahu. Sudah kubilang ini misteri.

Barangkali kau penasaran dengan muasal kisahku?

Lucu memang mengingat apa yang aku tulis dalam papan target di pintu kamarku itu. Salah satunya berbunyi “Nerusin ke UNAIR”. Yah, dulu keinginanku begitu menggebu untuk bisa ke sana. Tapi, usai merasai sebagai warga Surabaya (dalam beberapa hari), aku memutuskan untuk tidak saja. Jangan tanya kenapa. Dan pada akhirnya UI-lah yang menjadi bagian dari kampus keduaku. Ini pun memiliki cerita.

Bermula dari mba In. Sosok yang hingga kini bahkan belum pernah kami bertemu. Suatu kali ia membaca tulisanku di salah satu portal media online. Setelahnya kami berbincang lewat jejaring sosmed. Ia menghubungiku dahulu, itupun sudah bertahun lalu.

Awal tahun ini kami kembali bertemu, masih lewat sosmed. Aku mendapati (secara tak sengaja) mba In terlibat proyek menulis dengan salah satu editor penerbit di Jogja. Keisenganku muncul dan akhirnya kami menjalin lagi komunikasi. Kali ini lebih intens.

Ada banyak kebetulan yang barangkali memang Allah gariskan pada kami. Pertama, kami sama-sama memiliki background sebagai bidan. Kedua, mba In ternyata adalah teman (karib) satu kamar dosen kampusku sebelumnya. Ketiga, kami sama-sama diterima sebagai peserta KF angkatan 23. Kebetulan atau keanehan? Tapi begitulah.

Saat kami menjalin komunikasi, mba In sedang di USA menyelesaikan studinya. Ohya, mba In ini adalah alumni UI yang kini meneruskan jenjang studi setelah mendapat beasiswa penuh ke USA. Dulunya dia alumni diploma bidan, sama sepertiku, kemudian melanjukan ke UI.

Lewat mba In, mengalirlah kegundahan dan kegalauan yang selama ini ingin kuluapkan. Aku bercerita tentang semuanya. Dan satu titik terang aku dapati saat itu. Tidak ada yang akan memperjuangkan masa depanmu selain dirimu sendiri, bukan orang lain. Apa yang kau ingini pada masa depanmu, perjuangkanlah.

Usai itu aku megalami permenungan-permenungan panjang. Akhirnya, aku memutuskan ingin melanjutkan studi. Aku memiliki alasan khusus yang tak kusampaikan di sini ketika pada akhirnya aku memilih murtad dari profesiku sebelumnya. Yah meski tidak juga murtad secara mentah-mentah, barangkali lebih tepat jika kubilang ‘sedikit bergeser posisi’. Fakultas Kesehatan Masyarakat kupilih untuk menemani masa depanku. Sekali lagi pahamilah bahwa aku memiliki alasan khusus yang tak kusampaikan di sini.

Perlu kutegaskan juga bahwa aku sama sekali tidak membenci ataupun kecewa degan profesiku yang lama. Sama sekali tidak. Ilmu yang kudapat sebelumnya tentu saja sangat berguna bagi masa depanku. Masa depan kelak saat berumah tangga, mengurus suami dan anak. Ehm. 

Keinginanku melanjutkan studi kuutarakan kepada kedua orang tua, dan tanggapan mereka membuatku sungguh terharu. Bapak dan ibuk sangat mendukung. Sepenuhnya. Dan kelak ini akan menjadi salah satu alasan bahwa aku tak memiliki satupun alasan untuk membuat mereka kecewa. 

Lewat mba In selanjutnya kuberjumpa (masih lewat sosmed) dengan mba Hafiz. Mba Hafiz saat ini masih kuliah aktif di UI, dan aku direkomendasikan padanya. Lewat mba Hafiz aku menjadi tahu banyak hal, tentang jalur masuk UI, sistem seleksi, materi seleksi, dan banyak lainnya.

Mba Hafiz pernah menyampaikan bahwa ada salah satu temannya yang perlu waktu dua tahun alias dua kali tes untuk bisa masuk UI. Oleh karenanya, ia berpesan padaku jika memang ingin masuk UI, persiapkan dengan baik.

Begitulah setidaknya kisah muasalku hingga pada akhirnya memilih murtad dari profesiku yang lama. Aku tentu mendukung perjuangan rekan-rekan profesiku sebelumnya. Aku sungguh mengapresiasi. Perjuangan mereka luar biasa. Namun aku memilih jalan lain.

Satu hal pasti yang ingin kutekankan adalah, tak masalah dimana pun dan menjadi siapa pun kita nanti, yang jelas jangan pernah berhenti berbuat baik. Aku berdoa semoga jalan yang kupilih ini menjawab atas banyak permohonan dan segenap pertanyaanku pada-Nya.


Perbatasan Yogyakarta, 16 Agustus 2017

Sabtu, 01 April 2017

Kata-Kata yang Pantas bagi Kampus Fiksi

Kampus Fiksi #20
Saya meyakini KF memiliki konstelasi yang tidak bisa disebut biasa dalam hati sesiapa pun yang pernah intim dengannya. Tujuh puluh dua jam katakanlah, cukup (?) mengukir kisah berbagai rasa yang manis tersimpan dalam memoar masing-masing. Tiga hari kebersamaan yang baru mulai menemukan iramanya itu, lantas harus ditebas dengan sejumput kata bernama perpisahan. Sedih memang. Namun, persis seperti apa yang disampaikan saat sesi penutupan lalu, setidaknya dengan perpisahan ini, kita memiliki ruang untuk lebih mengenal rindu, kasih, juga kenangan. Awuwuwu...

Gaes.. membaca judul tulisan ini, kuharap kalian ingat dengan salah satu judul cerpen yang dipopulerkan oleh Afshokey (sebelum kuedit, kunulisnya Asrofi, wqwq) saat KF kemarin ya. Haha. Selain ‘Agama yang Pantas bagi Pohon-Pohon’, masih ada banyak hal lain yang nempel banget di kepala usai aku tak membersamai kalian. Coba deh ya aku ceritain..

/1/

Awal ditetapkan sebagai bagian KF20, gwe hebring banget dan langsung minta mbak Ve kumpulan nomor hape nakanak buat segera bikin grup WA. Harapanku simpel, biar besok pas aku dateng ke arama kaef ngga sendirian. Tapi apa daya, mba Ela, mba Pertiwi, tak jodoh berangkat denganku. Jodohku masih sama jomblo. Hikzhikz. Okesip.

Bukti bahwa saya selalu ganteng di awal :D
Well, atas jasa Mas Fawaid, gwe sampe juga deh di asrama kaef. Makasih mas Faw! Saat itu menjelang Maghrib. Sesampainya di lantai atas, gwe agak-agak shocked gitu soalnya mendadak bingung apaka ini cius acara kaef, arisan, apa malah kendurian? Bhahaha. Raameee bangetss.. 

Pukul 20 apa ya, acara  kaef pun resmi dibuka langsung oleh papah kita, Pak Edi. Iya Pak Edi. Emang (katanya) blio jarang membuka acara kaef, secara ini angkatan spesial, angkatan bungsunya kaef reguler, jadi ya beda lah. Unch..unch.. Pertama kali bersitatap dengan belio, gwe mbatin, ‘Akhirnya.. ketemu juga sama sosok yang sering nolak tulisan gwe’. Bhahahay. Cerita (agak) lengkap tentang blio dan lainnya tar coba kusampein di bawah yah.

Lanjuttt..

Kakiku memilih kamar yang di dalamnya ada mba El, Mitjin Wulwul, Titin, mba Dev, mba Ifah, Nabila, mba Faj, mba Husna, dan lainnya. Usai acara pembukaan, brain stromming, dan sedikit ber-hahahuhu, gwe tidur. Tanpa mimpi, mendadak gwe bangun. Kali itu belum Subuh, hape menunjukkan sekira pukul tiga lebih sekian menit. Masih ada sejam lagi buat adzan. Kucoba main ke kamar mandi, mau setor seni. Dan setibanya di sana Gaes, oh my Rabb.. kutemui pemandangan yang bikin ngantuk ilang. Kudapati sekawanan mitjin yang berdiri antre sembari menenteng perlengkapan mandi. Aku pun batal berseni dan lantas bergegas kembali ke kamar.

Di kamar aku berpikir, ini jam segini sudah mulai antre mandi, byuhh.. Kuhitung sekian orang kali sekian lama mandi dan hasilnya kudapati jumlah waktu yang bikin shocked shocked. Imanku untuk mandi nanti-nanti goyah. Kuraih seperangkat alat mandi dan bergegas untuk bergabung.

Sumpah Gaes, ini gilliks. Aku coba mengingat kapan terakhir kali mandi sebelum Subuh, dan tak kudapati ingatan akan hal itu. Oleh karenanya, kumau bilang makasih sama KF, karenamu aku jadi merasa pernah menjalankan salah satu amalan Rosul: mandi sebelum Subuh. Subhanalloh. Allohuakbar.

Hari kedua terjadi peningkatan kerajinan Gaes. Sebelum jam lima kudapati seluruh anggota kamar udah pada mandi. Dan saking eksesnya, kita kembali bobo syantik dalam kondisi sudah mandi. Ya Rabb.. Tapi Gaes, setelah beberapa kali sesudahnya, kumelihat antrean mandinya ternyata tak segilliks bayanganku. Semua aman terkendali. Tapiii, kemudian kujadi curiga, jangan-jangan terjadi penyusutan besar-besaran nih jumlah pelaku yang mau mandi. Kamu turut terlibat jangan-jangan? Ngaku deh! Yekan yekan?

/2/

Bagi calon anak KF, barangkali akan ditempa rasa penasaran dengan sosok-sosok tersembunyi yang biasa menghias dari balik medsos. Sebutlah Momon, Pak Edi, tim editor, Eanua, mas Kiki, mas Imam, dll. Barangkali akan dibikin penasaran juga dengan asrama KF, bintang tamu, materi, makanan, dan lainnya. Iya apa iya?

Daaann.. setelah bertemu, apa yang terjadi Gaes? Sungguh di luar ekspektasi. Dua kata deh buat mewakilin mereka semua:

"Gilliks Bingits!"

Tak perlu membuang kenangan waktu, lekas mari kita gunjingkan mereka satu per satu. Haha. Well, sosok pertama yang barangkali akan menjadikan penasaran adalah sosok Momon, yekan? Meski dianugerahi wajah yang (katanya) mesum (?) begitu, doi sering kok sharing banyak hal. Selain itu, doi juga humoris, hambel, dan sudah lumayan udzur. Tolong dicatat ya poin terakhir itu. Bhahaha. Ampun ya Mon, aku padamu ~

Lanjut ke editor deh ya. Overall, kusukak semua. Sangaaatt terbuka Gaes. Welkam bangets. Mba Rina, kamu macho banget, lav. Mba Ve, bintang baper KF, kumelihat kebaperanmu berbanding lurus sama kejombloanmu lho Mba, eh apa. Mba Ayun, paporitz. Mba Misni, seru. Mba Ajah, lutcuk. Mba Tiwi, amit-amit deh cemprengnya mitjin bengets. Hahaha.

Hmm, nuansa KF ini emang welkam banget sih, saking welkamnya, sesi sharing alumni kemarin bahkan di isi oleh (kak) Farrah Nanda yang mengenakan setelan setengah makemak: jaket, celana bebidol, dan keknya malah belum mandi. Yaa Rabb.. Oya, ada juga mba tante Mini dan banyak alumni lainnya yang turut meramaikan. Kusuka!

Terakhir ada Pak Edi. Umm, blio adalah sosok yang papah-able bangets. Gawl, humoris, baiq, dan baiq bangets. Haha. Kritis dan tanggap dalam hal apa pun. Kusuka kalo blio lagi nuturi. Tak hanya membekali ilmu tentang menulis namun juga kehidupan. Sosok yang tentu saja telah banyak melalui perjalanan berdarah-darah. Inspiratif. Ohya, belio sempet juga mengisi sesi ceramah pas Maghrib hari kedua KF. Isi ceramahnya kemarin bisa kamu simak di kolom celoteh basabasi Senin lalu. Eh iya kan, Pak? Ehehe..

Aslinya, gwe ngefens bingit sama belio ini. Andai kemarin gwe ngga inget kalo itu lagi di tengah-tengah sekawanan orang, pas pertama kali kuliat beliau, bisa dipastikan gwe jejeritan guling-guling ala mba Tiwi ketemu Jungkook. Bhahaha. Fyi, akhirnya gwe bisa ngobrol langsung dengan beliau. Senengnya ya Allah.. Satu pertanyaan yang pengen banget dan udah gwe tanyain adalah ini:

“Apa sih yang mendasari Bapak suka benget berbuat ‘gila’ semacam ini?”

“Apa ya.. ya karena ada uang terus aja sih. Hahahaha!”

“-_______-“ krik.

Jawaban cerdas ya Gaes. Oncekono dewe, Jat, kira-kira gitu kali ya maksudnya. Hahaha. Uum, sekali dan banyak kali lagi saya ngucapin makasih ya, Pak. Lancar besok bulan Juni-nya, Insya Allah. Uwuwuwu.  

Photo bareng Idolak
Barangkali masih ada satu nama vital yang belum kusampaikan? Ada? Iyes, Eanua. Tentang sosok absurd satu ini kusengaja ndak nulis karena serius akan buang-buang waktu aja. Haha. Kusarankan main-main kalo ada acara KF dan temukan sendiri apa keunggulan (?) sosok ini (yang menurutku ngga ada, wqwq) hingga bisa mendirikan Eanupers-Eanupers garis keras yang jumlahnya bejibun itu.

/3/

Dua tahun nungguin KF itu ya butuh perjuangan lho Gaes. Kita semua dikumpulin Tuhan jadi satu salah satunya karena berlatar sama, sama-sama lama nunggu. Ibarat couple LDR-an, perjumpaan kemarin tentu saja spesiaaal banget. Unch..unch.. Kalo Mz Daruz nungguin KF dua tahun sampe udah bisa nulis, gwe nunggu dua tahun sampe lupa caranya nulis. Hikzhikz...

Aku kenal KF sekira sejak tahun 2013an. Saat itu pembukaan untuk angkatan 10 (pasnya angkatan berapa aku lupa, pokoknya sekitar angkatan itu) pas udah ditutup. Ketinggalan info bingits. Sedih Gaes. Nggak bisa ikut daftar aja rasanya sedih. Kudu nunggu pembukaan setahunan lagi kok nyeseg, lantas aku mencari celah yang sekiranya bisa diperbuat biar bisa cepetan ikutan KF. Akhirnya kutemukan: Kampus Fiksi Goes to Campuss. Yeay!

Bermodal surat undangan yang diketik, print, bahkan juga ditandatangani sendiri, gwe dateng ke DivaPress. Itu nekat Gaes, gwe belum ada omong sama kampus, sama dosen, sama temen-temen Hima bahkan. Tanggal yang gwe pilih pun tanpa mempertimbangkan agenda kampus coba, main comot gitu.

Sampai di sana akhirnya bertemulah gwe sama mba Rina, pak Edi tidak sedang di tempat saat itu. Mba Rina, kalo kamu inget tahun 2014an pernah didatengi cabe-cabean bawa surat undangan dari komunitas abal-abal yang ngundang KF ke salah satu kampus di Jogja, ketahuilah bahwa itu akuh. Hahahaha. Singkat cerita, tiga hari setelahnya mba Rina hubungi aku, kudibilangi kalo KF bisa dilaksanakan dengan syarat minimal peserta ada seratus bijik. Dyaaaarrrr...

Macam macan kesetanan, entah pake jurus Naruto yang mana, yang jelas saat itu aku gedabikan banget. Tanggal yang ditentuin itu nggak nyampe seminggu lagi dan ini semua dari nol besar. Duh Gusti paringono ekstasi. Tapii alhamdulillah, singkat cerita acara bisa digelar lancar tanpa halangan suatu apa. Makasih banget kepada semua pihak yang udah bantu mewujudkan acara itu. Ehe.

Mba Ajah pas lagi hamil btw
Inti dari kumenceritakan ini adalah setiap dari kita yang kemarin hadir memiliki satu kewajiban untuk bersyukur. Nggak semua punya kesempatan untuk bisa ketemu Agus Noor, Pak Edi, Mbak Ajah, mbak Munal, mas Aconk, dan lainnya. Juga nggak semua punya kesempatan berangkat enam mobil buat jalan-jalan ke Malioboro. Eh apa sih? Haha.

Gaes, hikmah aku ikut KF ini tentu banyak banget. Salah satunya bisa bertemu dengan sosok-sosok heibat (baca: kalian) yang udah lama mengendus jagad literasi. Ohya, kalian tau selama KF kemarin Tuhan ngece aku apa? Wabil khusus abis praktik nulis tiga jam itu? Hemm, kurang lebih Tuhan bilang gini:

“Gimana? Mampus kau Jat dikoyak tulisan sendiri! Makan tuh tulisan! Sapa suruh ngga giat nulis!” lalu Tuhan terbahak tertawa.


Paling kalo Wulwul jadi gwe, langsung misuh dia. Haha. Tapi Gaes, beneran deh, setelah KF kemarin aku menyadari banget masi sebatas mana tulisanku berada. Tulisan gwe level-level tae coro lah. Udah coro, tae lagi. Yawla. Wqwqwq. Meski begitu, gwe jadi penasaran apa yang bisa dikaryakan tae coro ini nanti. Bhahahay..

Akhir kata, makasih lho ya udah buang-buang waktu baca tulisan ini. Salim sayang. Ketjhup tjintah.


P.s kalo tulisan ini sampe ke mbak Ajah dan dibilang gini, “Jati.. kamu harus konsisten dong mau make kata ganti apa. Mau aku, gwe, apa saya?”, tolong bilangi mba Ajah kalo kadar cinta aja bisa ngga konsisten, masa tulisan cem ini engga, gitu ya. Wqwq. Makase :D



Galeri KF20 yang diambil dari berbagai sumber :))







Selasa, 24 Januari 2017

Sosok #1 Pak Herjaka

“Pertemuan memberikan dua hal: pelajaran hidup atau teman hidup” #hipwee

Sebenarnya tulisan tentang #sosok ini sudah kebelet basi pengen aku tulis. Banyak pertemuan yang akan mudah terlewat jika tak diurai dalam kata. Bagiku itu akan sangat sayang. Nah ndilalahnya, baru akhir-akhir ini aku ada greget buat mulai nulis. Semoga kapan-kapan aku bisa nulis tentang kamu ya. Iya. Kamu. Ciyeee..

Yak, kali ini aku pengin nulis tentang beliau Bapak Herjaka. Gugel pasti ada banyak stok informasi tentang beliau. Namun tulisan ini adalah satu versi lain dengan kacamata yang berbeda. Well, aku mengenal beliau sebagai nama Herjaka HS. Sosok yang kukenal lewat sebuah padepokan di Jogjakarta. Selama lebih kurang tiga bulan, aku terlibat sebuah pembelajaran di situ.  

Kesan pertama yang kudapat dari beliau adalah sosok yang kharismatik, semeleh, serta memiliki keluasan ilmu yang mumpuni. Dan setelah lama aku coba mengenal, ternyata beliau adalah sosok yang sangaaat papah-able, mau dan bisa srawung dengan siapa pun, serta selalu andap asor dalam keluasan ilmunya. Itu adalah salah beberapa hal yang menjadikanku merasa wajib berguru pada beliau.

Mari kita flashback sebentar.

Dulu di padepokan, selalu saja aku menjadi sosok terakhir yang undur diri, dan kebetulan saja beberapa kali membersamai beliau. Barangkali basa-basi memang mutlak diperlukan dalam membuka sebuah jejaring silaturahmi. Bermula dari situlah, aku mulai mengenal sosok lain dari beliau. Mulailah kumengerti bahwa beliau ini adalah seorang pelukis.   

Lewat Pak Herjaka inilah aku pertama kalinya belajar hal-hal terkait lukisan dan sejenisnya. Sejak itu pula aku baru mengerti bahwa setiap lukisan mengemban amanah untuk menyampaikan pesan kepada sekalian penikmatnya. Dan pesan-pesan yang disampaikan Pak Herjaka lewat lukisannya sungguh mendalam nan filosofis.

Ini salah satu contoh lukisan beliau.

Doc.Pribadi

Selain lukisan, beliau ini jago banget bertutur tentang sejarah dan kebudayaan. Mau ngotak-atik kraton luar dalam, adat-adatnya, kisah kerajaan-kerajaan, dunia pewayangan, ilmu-ilmu kejawen, dongeng-dongeng jadul, mitos-mitos, pawukon, huah, pokoknya segala tetek bengek terkait itu, beliau empunya.

Perlahan dengan waktu, obrolan kami pun menghangat hingga bergeser pada acara ngeteh bersama. Banyak petuah kehidupan yang beliau ajarkan. Salah satunya ini. Berikut aku ngomong versi beliau dengan pengubahan seperlunya (versi asli menggunakan bahasa Jawa halus).

“Jadi mbak Jati, dalam hidup itu pastilah ada orang yang ‘dekat’ (pro) dengan kita, ada juga yang ‘tidak’ (kontra). Itu otomatis. Dalam menyikapinya, kita akan lebih nyaman jika mampu menempatkan segala sesuatu pas pada tempatnya. Ibarat rumah mbak Jati, dia itu memiliki banyak bagian. Mulai dari teras, ruang tamu, ruang keluarga, hingga ke kamar pribadi (senthong).”

“Tamu yang datang baiknya kita temui sesuai dengan kepentingannya. Pengamen misalnya, cukuplah kita temui di teras. Kan ya ndak nyaman kalau pengamen kita bawa-bawa sampai ke senthong? Lah siapa dan apa pula keperluannya kok sampai dibawa ke senthong?”

“Nah, jika dalam keseharian hal tadi sudah ‘mapan’, maka akan terciptalah rasa saling nyaman. Kalau ada orang yang tidak dekat atau dengan kata lain tidak pro dengan Mbak Jati lalu ditempatkan di senthong, ya nantinya berat di Mbak Jati. Intinya semua akan baik jika ditempatkan sesuai dengan porsi dan tempatnya masing-masing.”

“Hal itu Mbak Jati, sama saja dengan permisalan musuh dan senjata. Jadi dalam menghadapi musuh, kita tidak bisa kok sembarangan dalam menggunakan senjata. Keris, pedang, parang, tombak, dst itu tak bisa dipersamakan waktu penggunaannya. Semua disesuaikan dengan siapakah lawan yang kita hadapi. Begitu.”

Ada juga petuah lain dari beliau. Cem ini.

“Saya itu mbak Jati, lebih suka orang lain melihat saya dengan nilai enam meski sebenarnya saya memiliki nilai tujuh. Jangan sampai lah kita mengaku-aku bernilai tujuh padahal aslinya cuma enam. Atau dengan kata lain, biarlah orang lain melihat sepenglihatan mereka. Tak perlu sama sekali kita mengusahakan diri untuk dinilai ‘wah’ atau lebih dari kapasitas yang kita miliki. Judgment manusia mah bukan patokan.”

Menanggapi pernyataan beliau di atas, aku setuju banget. Itu senada dengan ujaran Cak Nun, ‘Kalau orang memahami saya, buatlah itu karena usahanya sendiri’. Sebuah pesan yang mendidik kita untuk menjadi orang yang biasa-biasa aja, woles, dan nggak ngoyo-an.

Nah selain tersebut tadi, masih ada banyak sih pitutur lain dari beliau, tapi kucukupkan sampai di sini aja. Silahkan langsung mampir ke padepokan aja ya buat kepo lebih lanjut. Pak Herjaka pasti akan sangat welkam. Hehe.

Ohya, ada lagi sisi lain beliau yang belum kusampaikan yakni profesi menulisnya. Iya, Pak Herjaka adalah juga seorang penulis. Beberapa buku telah beliau karyakan. Salah satunya sudah pernah kureview di sini. Barangkali ada yang berminat baca, klik. Btw beliau keren sekali ya, bisa banyaak berkarya ditengah kesibukan gitu. Huwaaa.. aku iri sama Bapak!

Umm.. selain mengajarkan hal-hal tersebut tadi, beliau juga banyak ngobrolin seputar parenting, keluarga, tips memilih jodoh (eya), dan banyaaakk lainnya. FYI aja, beliau ini adalah seorang non-Islam. Sejauh aku mengamati, beliau adalah seorang Katolik ndekek. Aku bisa bilang begitu salah satunya karena habis lihat lukisan-lukisan religi dan beberapa pameran yang telah beliau gelar.

Meski kami berbeda latar, beliau dalam nuturi aku nggak pernah kok yang namanya mencampur baurkan hal-hal berbau agama. Blas. Coba itu tengok kembali apa-apa yang sudah kusampein tadi. Semua bersifat universal kan? Ngga ada yang menjurus obrolan agama. Bagiku, agama adalah ruang hening dalam pribadi masing-masing. Lakum diinukum waliyadin.

Jujur aku sedih melihat fenomena intoleransi di negeri ini. Andaiii aja, semua bisa duduk bareng tanpa mempermasalahkan perbedaan. Kita bisa ngeteh bareng, saling tukar pikiran dan pengalaman, indah to? Belum lagi masalah wayang yang riuh diperdebatkan itu. Akika sedih.

Yaah.. tapi seenggaknya lewat tulisan ini aku ingin menunjukkan bahwa silaturahmi yang notabene berbeda latar, sangat bisa dibangun. Tanpa perlu hujatan, gugatan, juga pukulan. Cukup meja bangku, sepoci teh hangat, dan remahan gula batu. Lewat kisah ini pula, aku sekaligus ingin menyampaikan bahwa ilmu bisa kita ambil dari siapa pun, tanpa perlu bertanya ‘siapa’ dia. Ilmu adalah content bukan package.

Doc.Pribadi

Akhir kata, terimakasih Pak Herjaka sudah mampir dalam list catatan kehidupan Jati. Terimakasih sudah berbagi. Terimakasih traktiran tehnya. Ohya Pak, mengingatkan aja kalau tratiran bakmi godhognya masih belum jadi. Ehehehe.

Salim.

Jumat, 13 Januari 2017

Sebuah Catatan Perjalanan

Apa-apa yang aku tuliskan di sini barangkali masih sangat belum bisa mewakili segala hal yang ingin tersampaikan. Meski begitu, bolehlah aku mencoba (sedikit) berkisah.

Akhir 2016 dan mula 2017 ini menjadi momen maha penting dalam risalah perjalanan hidup aku. Allah kasih aku kesempatan main-main ke rumah-Nya. Keinginanku menjadikan Mekah dan Madinah sebagai kota asing pertama yang aku singgahi, sungguh Allah wujudkan. Aku menyangka? Jelas tidak. Semua bermula dari ajakan Ibuk yang sebenarnya juga tak disengaja. Singkat cerita aku dan ibuk berangkat, tepatnya tanggal 29 Desember 2016.

Kami bertolak dari Jakarta langsung menuju ke Mekah. Pihak biro menganjurkan  mamak-mamak untuk berpakaian ihrom sejak dari Jakarta, papah-papah ihrom di Jeddah. Kurang lebih pukul 21.00 waktu setempat kami sampai di Bandara King Abdul Aziz. Menggunakan bus charteran, kami otw ke Mekah untuk melaksanakan umroh wajib setelah mengambil miqat sebelumnya. Dan pembelajaran pertamaku dimulai di sini.

Ketika prosesi check n recheck imigrasi berlangsung, aku coba ngobrol-ngobrol dengan mbak-mbak sekelompok. “Mbok kita itu pake ihromnya pas udah sampe sini ya, Mbak! Kan lebih bersih bajunya, lebih terjaga sucinya.” Dengan maha songong, aku etel sekali bilang begitu. Lalu sak jleg seketika itu juga Allah kasih aku mabuk perjalanan pas otw ke Mekah-nya. Aku muntah heybat sampe tumpah-tumpah ke baju. Padahal itu aku udah pake kresek.

Well, lewat kejadian itu berasa aja Allah ingin bilang kek gini, “Emang elu bisa jamin Jat, kalo baju yang elu pake di sini (Jeddah) bakalan lebih suci? Emang elu Allah?” Allah Kariim.. Ini beneran yah aku kena omongan sendiri. Kesombongan macam apa yang kuperbuat?

Astaghfirullahal’adzim!

Yah.. begitulah.. kesombongan. Sering kali aku menuhankan itu. Merasa diri ini lebih kuasa ketimbang Allah. Merasa lebih berhak mengadili segala sesuatu atas nama sendiri. Merasa paling benar dan paling-paling yang lain. Di hadapan Allah, semua hanya debu. Aku ini kecil. Sekecil-kecilnya. Apa yang bisa aku sombongkan di hadapan kuasa-Nya? Nothing! Nggak ada!

Doc.Pribadi
Kali kedua aku kembali dikasih pelajaran sama Allah. Usai menjalankan umroh wajib dan beberapa kali berkegiatan di Masjidil Haram, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Aku merasa nggak ngefeel. Rasa-rasanya ada sesuatu yang berkabut gitu lah. Hati berasa senep. Nggak hepi. Ada yang owah pokoknya. Ini apa yaa Allah?

And well, kesemuanya terjawab saat aku mengambil wudhu untuk umroh kedua. Suara hati tiba-tiba bicara. Dia bilang gini, “Jat, kamu berangkat umroh hingga sejauh ini sudahkah minta maaf sama bapak-ibu?” Aku langsung clakep diem. Sontak ngga kuasa ngomong apa-apa. Speechless. Sekonyong-konyong aku berasa ditampar segampar-gamparnya. Berulang kali lantas aku berujar, “Kok bisa-bisanya sih aku ngga mikir sampe ke situ?”

Astaghfirullahal’adzim!

Usai wudhu, langsung saja aku menemui Ibuk. Menyampaikan apa yang seharusnya kusampaikan. Bapak lekas kuhubungi sesudahnya. Usai prosesi yang cukup menguras air mata itu, kabut tadi seketika menghilang. Allah Kariim.  

Di sini aku ingin bilang bahwa ridho orang tua itu number wahid. Apalagi keduanya masih sugengUpokorolah sebisa-bisa yang kita lakukan. Aku pun masih jaauuuh dari kesempurnaan birul walidain itu sendiri. Namun, kurasa Allah suka dan menghendaki siapa pun untuk senantiasa melakukan perbaikan atas hubungannya dengan orang tua. Sebagaimanapun mereka. Sebagaimanapun kita.

Kisah berlanjut. Pembelajaran selanjutnya kembali hadir. Bermula dari ucapan ‘sakit’ yang tak kumaksudkan demikian, aku pun benar-benar diberikan sakit. Barangkali jika saat itu aku membawa termo ukur, suhu tubuh mencapai 38-39 derajat. Iya. Panas banget. Belum lagi pilek dan batuk yang agaknya hanya numpang lewat, justru berdiam lebih lama, juga lebih parah. Allah Kariim.

Barangkali jika di sana aku berucap nemu jodoh, Allah kasih beneran kali ya itu jodoh? Ehe. Intinya aku pengen bilang kalo Tanah Haram itu tempat sakral se sakral-sakralnya. Serius. Lisan benar-benar dilatih untuk dijaga. Nggak ada tuh cerita lambe turah, yang ada lambe dzikir dan sholawatan.

    Jadi gini lho, di sana aja kita begitu dijaga dalam lisan. Salah dikit langsung Allah tegur. Itu di sana. Hla gimana kalo di sini? Di sini ibarat kata mau ngomong apa pun, dijarne aja sama Allah. Nah makanya harus lebih berhati-hati to dalam menjaga omong. Gitu.

Doc.Pribadi
Satu hal lagi yang bikin aku makin tertunduk atas kemahaan-Nya. Selama aku terbaring sakit, maksud hati ingin ngeyem-yemi Ibuk biar ngga banget khawatirnya, lantas aku bilang gini, “Dah buk, ngga usah panik. Jati sakit paling gara-gara mau haid aja.” Well.. bisa ditebak dong ya apa yang terjadi kemudian? Yap! Aku beneran dapat haid. Padahal kalo menurut hitungan, harusnya sih haidnya pas udah balik tanah air. Allahu Akbar!

Tiada hal lain yang bisa kulakuin selain narimo. Banyak yang lalu menyarankan untuk minum pil dan sejenisnya, tapi kubilang, sudahlah. Dalam kasus ini, menurut aku, konsekuensi haruslah dihadapi. Bukan dihindari. Bukan diakali.

Lewat kejadian ini aku makin mengilhami sepenuh hati bahwa kedigdayaan-Nya benar-benar tiada tertandingi. Hash, kita ini mah cuman kumparan debu. Asli. Kun fayakun yang sebenar-benarnya begitu jelas diperlihatkan-Nya di depan mata. Kita mah bisa apa? Jangan pun minta jodoh, minta balikan sama mantan pun bisa. Hloh. Hey-hey.. maksud aku gini lho, kita minta apa pun sama Allah itu sangat layak selayak-layaknya. PAS. Dan emang sama Beliau-lah, the only one! Apa ya bahasa Arabnya? Emm, pokoknya gitu.

Doc.Pribadi
Dan ada satu pembelajaran lagi yang Allah kasihkan. Jadi selama di sana, aku merasa Allah berulang kali menunjukkan kesalahan niat yang selama ini mendasari setiap lakuku. Iya sih, aku tahu kalau apa-apa yang kita perbuat (utamanya terkait ibadah) niatkanlah lillahi ta’ala. Namun dalam implementasi, nyatanya aku belum. Lillahi ta’ala hanya sebatas lisan. Sama sekali belum menyesap dalam kalbu dan laku.


Jadi selama ini aku masih pahala oriented, bekal akhirat oriented, bukan Allah ta’ala oriented. Kalau shalat pun masih sering karena niat ingsun menggugurkan kewajiban. Bahkan nyemplungi kotak infak pun niat ingsunnya biar dapet balesan lebih. Hlah ya jelas salah to ya. Usholli fardhonya kan ya harus lillahi ta’ala. Cem itu lah.

Ketika di sana, Allah seakan mau ngasi tahu aku untuk melandaskan segala perkara hanya karena-Nya semata. Pahala dan bekal akhirat penting untuk dicari, namun laku kita lahir batin karena Allah-lah yang utama. Jika sudah demikian (insya Allah) produk sampingan berupa pahala, bekal akhirat, dan seterusnya, akan mengikuti.

Pahala ataupun bonus kebaikan yang lain itu sesungguhnya bukan urusan kita. Itu adalah hak prerogatif Allah semata. Mau menerima amal ibadah kita atau enggak, mau ngasih pahala atau enggak, mau bales kebaikan kita apa enggak, toh pun iya dengan apa, toh pun enggak karena apa, itu-itu semua di luar kewenangan manusia. Serahkan saja itu pada-Nya. Tugas manusia adalah menjadi abdi-Nya yang senantiasa berusaha membaiki diri dalam laku dan ibadah. Gitu. 

Doc.Pribadi
Asli sebenernya masih ada baanyak hal yang belum kusampaikan tentang apa–apa yang kudapatkan di sana. Tentang kisah pertama kali melihat kabah, shalat di depan kabah, shalat Jumat pertama di Masjidil Haram, kisah burung dara, keindahan-kedamaian-kekhusukan masjid Nabawi, nuansa berbagi, tentang city tour, masjid Quba, Jabal Rahmah, ahh.. banyak pokoknya. Dan semuanya ngangenin. Aku akan sangat merindukan masa-masa itu. Masa ketika diri ini berada sangat dekat dalam rumah-Nya.

Allah.. ijinkan aku kembali..


Mekah - Madinah
29 Desember 2016 – 5 Januari 2017