Kamis, 17 Agustus 2017

Catatan Sebelum Keberangkatan


Tak pernah aku berpikir jika bulan delapan ini adalah bulan-bulan terakhirku bisa leluasa mengendusi kasur dan memeluk rumah. Tinggal menghitung jam aku akan meninggalkan tanah kelahiran dan hal-hal yang memenuhinya. Yah, bersiap menjadi perantau di kota asing. Harusnya nanti aku sudah karib dengan klakson, asap, dan kebisingan. Dan tentunya, makin aku karib dengannya, makin aku merindui kota lahirku ini¾tentang kedamaian dan kisah-kisah klasik di dalamnya.

Ketika sisa waktuku di Jogja makin menipis, kumulai menyadari beberapa hal. Ternyata berat juga ninggalin Jogja. Makin nyesek utamanya ketika sadar kalau bakal jarang-jarang bisa lekat-lekat ngeliat wajah bapak ibuk. Namun, bukankah memang begitu hidup? Semua tentang perpindahan.

Tahun ini, 2017, kuakui sebagai tahun misteri. Tahun ini kontrak kerjaku usai dan kuputuskan tak memperpanjangnya. Aku haus pengalaman. Aku ingin berkelana. Entah harus mendarat di kota mana atau justru bertahan di sini. Entah dengan pekerjaan baru atau melanjutkan studi atau mungkin juga keduanya. Perihal dimana, aku tak tahu. Sudah kubilang ini misteri.

Barangkali kau penasaran dengan muasal kisahku?

Lucu memang mengingat apa yang aku tulis dalam papan target di pintu kamarku itu. Salah satunya berbunyi “Nerusin ke UNAIR”. Yah, dulu keinginanku begitu menggebu untuk bisa ke sana. Tapi, usai merasai sebagai warga Surabaya (dalam beberapa hari), aku memutuskan untuk tidak saja. Jangan tanya kenapa. Dan pada akhirnya UI-lah yang menjadi bagian dari kampus keduaku. Ini pun memiliki cerita.

Bermula dari mba In. Sosok yang hingga kini bahkan belum pernah kami bertemu. Suatu kali ia membaca tulisanku di salah satu portal media online. Setelahnya kami berbincang lewat jejaring sosmed. Ia menghubungiku dahulu, itupun sudah bertahun lalu.

Awal tahun ini kami kembali bertemu, masih lewat sosmed. Aku mendapati (secara tak sengaja) mba In terlibat proyek menulis dengan salah satu editor penerbit di Jogja. Keisenganku muncul dan akhirnya kami menjalin lagi komunikasi. Kali ini lebih intens.

Ada banyak kebetulan yang barangkali memang Allah gariskan pada kami. Pertama, kami sama-sama memiliki background sebagai bidan. Kedua, mba In ternyata adalah teman (karib) satu kamar dosen kampusku sebelumnya. Ketiga, kami sama-sama diterima sebagai peserta KF angkatan 23. Kebetulan atau keanehan? Tapi begitulah.

Saat kami menjalin komunikasi, mba In sedang di USA menyelesaikan studinya. Ohya, mba In ini adalah alumni UI yang kini meneruskan jenjang studi setelah mendapat beasiswa penuh ke USA. Dulunya dia alumni diploma bidan, sama sepertiku, kemudian melanjukan ke UI.

Lewat mba In, mengalirlah kegundahan dan kegalauan yang selama ini ingin kuluapkan. Aku bercerita tentang semuanya. Dan satu titik terang aku dapati saat itu. Tidak ada yang akan memperjuangkan masa depanmu selain dirimu sendiri, bukan orang lain. Apa yang kau ingini pada masa depanmu, perjuangkanlah.

Usai itu aku megalami permenungan-permenungan panjang. Akhirnya, aku memutuskan ingin melanjutkan studi. Aku memiliki alasan khusus yang tak kusampaikan di sini ketika pada akhirnya aku memilih murtad dari profesiku sebelumnya. Yah meski tidak juga murtad secara mentah-mentah, barangkali lebih tepat jika kubilang ‘sedikit bergeser posisi’. Fakultas Kesehatan Masyarakat kupilih untuk menemani masa depanku. Sekali lagi pahamilah bahwa aku memiliki alasan khusus yang tak kusampaikan di sini.

Perlu kutegaskan juga bahwa aku sama sekali tidak membenci ataupun kecewa degan profesiku yang lama. Sama sekali tidak. Ilmu yang kudapat sebelumnya tentu saja sangat berguna bagi masa depanku. Masa depan kelak saat berumah tangga, mengurus suami dan anak. Ehm. 

Keinginanku melanjutkan studi kuutarakan kepada kedua orang tua, dan tanggapan mereka membuatku sungguh terharu. Bapak dan ibuk sangat mendukung. Sepenuhnya. Dan kelak ini akan menjadi salah satu alasan bahwa aku tak memiliki satupun alasan untuk membuat mereka kecewa. 

Lewat mba In selanjutnya kuberjumpa (masih lewat sosmed) dengan mba Hafiz. Mba Hafiz saat ini masih kuliah aktif di UI, dan aku direkomendasikan padanya. Lewat mba Hafiz aku menjadi tahu banyak hal, tentang jalur masuk UI, sistem seleksi, materi seleksi, dan banyak lainnya.

Mba Hafiz pernah menyampaikan bahwa ada salah satu temannya yang perlu waktu dua tahun alias dua kali tes untuk bisa masuk UI. Oleh karenanya, ia berpesan padaku jika memang ingin masuk UI, persiapkan dengan baik.

Begitulah setidaknya kisah muasalku hingga pada akhirnya memilih murtad dari profesiku yang lama. Aku tentu mendukung perjuangan rekan-rekan profesiku sebelumnya. Aku sungguh mengapresiasi. Perjuangan mereka luar biasa. Namun aku memilih jalan lain.

Satu hal pasti yang ingin kutekankan adalah, tak masalah dimana pun dan menjadi siapa pun kita nanti, yang jelas jangan pernah berhenti berbuat baik. Aku berdoa semoga jalan yang kupilih ini menjawab atas banyak permohonan dan segenap pertanyaanku pada-Nya.


Perbatasan Yogyakarta, 16 Agustus 2017