Tak pernah aku berpikir jika bulan delapan ini adalah bulan-bulan terakhirku bisa leluasa
mengendusi kasur dan memeluk rumah. Tinggal menghitung jam aku akan
meninggalkan tanah kelahiran dan hal-hal yang memenuhinya. Yah, bersiap menjadi
perantau di kota asing. Harusnya nanti aku sudah karib dengan klakson, asap,
dan kebisingan. Dan tentunya, makin aku karib dengannya, makin aku merindui
kota lahirku ini¾tentang
kedamaian dan kisah-kisah klasik di dalamnya.
Ketika sisa waktuku di Jogja makin menipis, kumulai menyadari beberapa hal. Ternyata berat juga ninggalin Jogja. Makin nyesek utamanya ketika sadar kalau bakal jarang-jarang bisa lekat-lekat ngeliat wajah bapak ibuk. Namun, bukankah memang begitu hidup? Semua tentang perpindahan.
Tahun ini, 2017, kuakui sebagai tahun misteri. Tahun ini
kontrak kerjaku usai dan kuputuskan tak memperpanjangnya. Aku haus pengalaman.
Aku ingin berkelana. Entah harus mendarat di kota mana atau justru bertahan di
sini. Entah dengan pekerjaan baru atau melanjutkan studi atau mungkin juga
keduanya. Perihal dimana, aku tak tahu. Sudah kubilang ini misteri.
Barangkali kau penasaran dengan muasal kisahku?
Lucu memang mengingat apa yang aku tulis dalam papan target
di pintu kamarku itu. Salah satunya berbunyi “Nerusin ke UNAIR”. Yah, dulu keinginanku begitu menggebu untuk bisa
ke sana. Tapi, usai merasai sebagai warga Surabaya (dalam beberapa hari), aku
memutuskan untuk tidak saja. Jangan tanya kenapa. Dan pada akhirnya UI-lah yang
menjadi bagian dari kampus keduaku. Ini pun memiliki cerita.
Bermula dari mba In. Sosok yang hingga kini bahkan belum
pernah kami bertemu. Suatu kali ia membaca tulisanku di salah satu portal media
online. Setelahnya kami berbincang lewat jejaring sosmed. Ia menghubungiku
dahulu, itupun sudah bertahun lalu.
Awal tahun ini kami kembali bertemu, masih
lewat sosmed. Aku mendapati (secara tak sengaja) mba In terlibat proyek menulis
dengan salah satu editor penerbit di Jogja. Keisenganku muncul dan akhirnya kami
menjalin lagi komunikasi. Kali ini lebih intens.
Ada banyak kebetulan yang barangkali memang Allah gariskan
pada kami. Pertama, kami sama-sama memiliki background sebagai bidan. Kedua,
mba In ternyata adalah teman (karib) satu kamar dosen kampusku sebelumnya.
Ketiga, kami sama-sama diterima sebagai peserta KF angkatan 23. Kebetulan atau
keanehan? Tapi begitulah.
Saat kami menjalin komunikasi, mba In sedang di USA menyelesaikan
studinya. Ohya, mba In ini adalah alumni UI yang kini meneruskan jenjang studi
setelah mendapat beasiswa penuh ke USA. Dulunya dia alumni diploma bidan, sama
sepertiku, kemudian melanjukan ke UI.
Lewat mba In, mengalirlah kegundahan dan
kegalauan yang selama ini ingin kuluapkan. Aku bercerita tentang semuanya. Dan
satu titik terang aku dapati saat itu. Tidak ada yang akan memperjuangkan masa
depanmu selain dirimu sendiri, bukan orang lain. Apa yang kau ingini pada masa
depanmu, perjuangkanlah.
Usai itu aku megalami permenungan-permenungan panjang.
Akhirnya, aku memutuskan ingin melanjutkan studi. Aku memiliki alasan khusus
yang tak kusampaikan di sini ketika pada akhirnya aku memilih murtad dari
profesiku sebelumnya. Yah meski tidak juga murtad secara mentah-mentah,
barangkali lebih tepat jika kubilang ‘sedikit bergeser posisi’. Fakultas Kesehatan
Masyarakat kupilih untuk menemani masa depanku. Sekali lagi pahamilah bahwa aku
memiliki alasan khusus yang tak kusampaikan di sini.
Perlu kutegaskan juga bahwa aku sama sekali tidak membenci
ataupun kecewa degan profesiku yang lama. Sama sekali tidak. Ilmu yang kudapat
sebelumnya tentu saja sangat berguna bagi masa depanku. Masa depan kelak saat
berumah tangga, mengurus suami dan anak. Ehm.
Keinginanku melanjutkan studi kuutarakan kepada kedua orang
tua, dan tanggapan mereka membuatku sungguh terharu. Bapak dan ibuk sangat
mendukung. Sepenuhnya. Dan kelak ini akan menjadi salah satu alasan bahwa aku tak memiliki satupun alasan untuk membuat mereka kecewa.
Lewat mba In selanjutnya kuberjumpa (masih lewat sosmed)
dengan mba Hafiz. Mba Hafiz saat ini masih kuliah aktif di UI, dan aku
direkomendasikan padanya. Lewat mba Hafiz aku menjadi tahu banyak hal, tentang
jalur masuk UI, sistem seleksi, materi seleksi, dan banyak lainnya.
Mba Hafiz pernah
menyampaikan bahwa ada salah satu temannya yang perlu waktu dua tahun alias dua
kali tes untuk bisa masuk UI. Oleh karenanya, ia berpesan padaku jika memang
ingin masuk UI, persiapkan dengan baik.
Begitulah setidaknya kisah muasalku hingga pada akhirnya
memilih murtad dari profesiku yang lama. Aku tentu mendukung perjuangan
rekan-rekan profesiku sebelumnya. Aku sungguh mengapresiasi. Perjuangan mereka luar biasa. Namun aku memilih jalan lain.
Satu hal pasti
yang ingin kutekankan adalah, tak masalah dimana pun dan menjadi siapa pun kita nanti, yang jelas jangan pernah berhenti berbuat baik. Aku berdoa semoga jalan yang kupilih ini menjawab
atas banyak permohonan dan segenap pertanyaanku pada-Nya.
Perbatasan Yogyakarta, 16 Agustus 2017