Selasa, 22 September 2015

Resensi Cantik Itu Luka


Eka Kurniawan. Namanya pertama kali saya dengar dari penulis kenamaan Bernard Batubara. Dia (Bara) menyebut Eka sebagai penulis Indonesia favoritnya. Saat itu, Bara merekomendasikan untuk membaca Cantik Itu Luka karya Eka. Dan, bisa diduga, saya hanya memilih sambil lalu. Ya, saya acuh. Tak berniat benar membaca karya Eka. Siapalah itu Eka Kurniawan? Batin saya yang saat itu (hingga kini) adalah pembaca amatiran.

Namun, belum lama ini, saya dibuat terjungkal oleh kepongahan saya sendiri. Eka Kurniawan santer dibicarakan menjelang perhelatan Frankfrut Book Fair. Bukunya, Cantik Itu Luka (Beauty is a Wound) telah dan akan diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Ia menjadi salah satu delegasi dari Indonesia di acara bergengsi tingkat dunia itu. Dalam beberapa berita disampaikan sepak terjang Eka yang lantas menyihir mulut saya untuk berucap o.., o.., dan o.. lagi. Disebut dalam berita bahwa Indonesia telah menemukan the next Pram. Wow! Keacuhan saya berubah menjadi sebuah rasa penasaran. Siapa sejatinya Eka Kurniawan?

Baiklah, sampai di sini akan saya tegaskan bahwa tulisan ini bukan untuk ngegosipin si Eka, latar belakang dia bagaimana, apalagi kisah cintanya, tapi lebih pada karyanya yang kebetulan selesai saya baca. Cantik Itu Luka. Novel fiksi itu memang masuk mejadi salah satu buku perburuan wajib yang harus saya baca. Dan, saya mendapatinya di perpustakaan kota. Awalnya saya sedikit shock melihat novel tersebut karena ternyata tersusun sejumlah hampir 500 halaman. Mendadak saya jadi ragu untuk meminjam dan membacanya. Pasti akan panjang dan melelahkan. Tapi, percayakah kamu, iya kamu, bahwa saya menyelesaikan novel setebal itu dalam dua hari saja?

Dalam kisah awalnya, Eka begitu sadis menendang pembaca dengan suguhan cerita surealis yang unik dan menikam. Ini nyastra banget. Mengangkat setting jaman kolonial. Eka tampil dengan cerita yang rapi, cerdas dan elegan. Kehati-hatiannya dalam mengolah alur begitu terasa dengan dikeluarkannya semua tokoh tanpa mubadzir. Ya, tak ada tokoh yang tanpa lakon di situ. Dan, kecerdasan Eka makin menguak tatkala semua tokoh diceritakan begitu memiliki keintiman yang lekat. Suspensi-suspensi di tiap bab ia munculkan begitu ciamik hingga membuat pembaca akan terus dan terus ketagihan membaca. Ia pandai membekaskan rasa penasaran bagi pembacanya dalam tiap akhir bab. Dan, Eka juga begitu riang membuat kejutan-kejutan yang tak bisa diramalkan.

Ide yang diusung Eka sebenarnya sangat sederhana. Tentang balas dendam. Namun, ia meraciknya begitu berbeda. Mengusung tokoh Dewi Ayu sebagai seorang pelacur dengan penuh kepelikan yang begitu rumit, cerita ini sarat akan makna. Hikmah yang saya dapat dari membaca novel ini adalah, kacamata pandang saya bertambah. Selama ini, saya hanya melihat kehidupan dunia sebagai sesuatu yang alim-alim saja, lurus-lurus saja, linier saja, tapi ternyata di luar sana (baik masa lalu maupun masa depan) ada sebuah kehidupan yang begitu keras, tengik, dan nyata.


Finnaly, selamat kepada Eka Kurniawan, the next Pram. Indonesia patut bangga memiliki mahakarya hebat darimu. Dan, untuk kamu, iya kamu, jika memang sedang berburu novel yang nyastra banget keluaran kekinian, novel yang agak berat, saya akan merekomendasikan novel ini. Selamat membaca!

0 komentar: