Apa-apa yang aku tuliskan di sini barangkali masih sangat belum bisa mewakili segala hal yang ingin tersampaikan. Meski begitu, bolehlah aku mencoba (sedikit) berkisah.
Akhir 2016 dan mula 2017 ini menjadi momen maha penting dalam risalah perjalanan hidup aku. Allah kasih aku kesempatan main-main ke rumah-Nya. Keinginanku menjadikan Mekah dan Madinah sebagai kota asing pertama yang aku singgahi, sungguh Allah wujudkan. Aku menyangka? Jelas tidak. Semua bermula dari ajakan Ibuk yang sebenarnya juga tak disengaja. Singkat cerita aku dan ibuk berangkat, tepatnya tanggal 29 Desember 2016.
Kami bertolak dari Jakarta langsung menuju ke Mekah. Pihak biro menganjurkan mamak-mamak untuk berpakaian ihrom sejak dari Jakarta, papah-papah ihrom di Jeddah. Kurang lebih pukul 21.00 waktu setempat kami sampai di Bandara King Abdul Aziz. Menggunakan bus charteran, kami otw ke Mekah untuk melaksanakan umroh wajib setelah mengambil miqat sebelumnya. Dan pembelajaran pertamaku dimulai di sini.
Ketika prosesi check n recheck imigrasi berlangsung, aku coba ngobrol-ngobrol dengan mbak-mbak sekelompok. “Mbok kita itu pake ihromnya pas udah sampe sini ya, Mbak! Kan lebih bersih bajunya, lebih terjaga sucinya.” Dengan maha songong, aku etel sekali bilang begitu. Lalu sak jleg seketika itu juga Allah kasih aku mabuk perjalanan pas otw ke Mekah-nya. Aku muntah heybat sampe tumpah-tumpah ke baju. Padahal itu aku udah pake kresek.
Well, lewat kejadian itu berasa aja Allah ingin bilang kek gini, “Emang elu bisa jamin Jat, kalo baju yang elu pake di sini (Jeddah) bakalan lebih suci? Emang elu Allah?” Allah Kariim.. Ini beneran yah aku kena omongan sendiri. Kesombongan macam apa yang kuperbuat?
Astaghfirullahal’adzim!
Yah.. begitulah.. kesombongan. Sering kali aku menuhankan itu. Merasa diri ini lebih kuasa ketimbang Allah. Merasa lebih berhak mengadili segala sesuatu atas nama sendiri. Merasa paling benar dan paling-paling yang lain. Di hadapan Allah, semua hanya debu. Aku ini kecil. Sekecil-kecilnya. Apa yang bisa aku sombongkan di hadapan kuasa-Nya? Nothing! Nggak ada!
Doc.Pribadi |
Kali kedua aku kembali dikasih pelajaran sama Allah. Usai menjalankan umroh wajib dan beberapa kali berkegiatan di Masjidil Haram, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Aku merasa nggak ngefeel. Rasa-rasanya ada sesuatu yang berkabut gitu lah. Hati berasa senep. Nggak hepi. Ada yang owah pokoknya. Ini apa yaa Allah?
And well, kesemuanya terjawab saat aku mengambil wudhu untuk umroh kedua. Suara hati tiba-tiba bicara. Dia bilang gini, “Jat, kamu berangkat umroh hingga sejauh ini sudahkah minta maaf sama bapak-ibu?” Aku langsung clakep diem. Sontak ngga kuasa ngomong apa-apa. Speechless. Sekonyong-konyong aku berasa ditampar segampar-gamparnya. Berulang kali lantas aku berujar, “Kok bisa-bisanya sih aku ngga mikir sampe ke situ?”
Astaghfirullahal’adzim!
Usai wudhu, langsung saja aku menemui Ibuk. Menyampaikan apa yang seharusnya kusampaikan. Bapak lekas kuhubungi sesudahnya. Usai prosesi yang cukup menguras air mata itu, kabut tadi seketika menghilang. Allah Kariim.
Di sini aku ingin bilang bahwa ridho orang tua itu number wahid. Apalagi keduanya masih sugeng. Upokorolah sebisa-bisa yang kita lakukan. Aku pun masih jaauuuh dari kesempurnaan birul walidain itu sendiri. Namun, kurasa Allah suka dan menghendaki siapa pun untuk senantiasa melakukan perbaikan atas hubungannya dengan orang tua. Sebagaimanapun mereka. Sebagaimanapun kita.
Kisah berlanjut. Pembelajaran selanjutnya kembali hadir. Bermula dari ucapan ‘sakit’ yang tak kumaksudkan demikian, aku pun benar-benar diberikan sakit. Barangkali jika saat itu aku membawa termo ukur, suhu tubuh mencapai 38-39 derajat. Iya. Panas banget. Belum lagi pilek dan batuk yang agaknya hanya numpang lewat, justru berdiam lebih lama, juga lebih parah. Allah Kariim.
Barangkali jika di sana aku berucap nemu jodoh, Allah kasih beneran kali ya itu jodoh? Ehe. Intinya aku pengen bilang kalo Tanah Haram itu tempat sakral se sakral-sakralnya. Serius. Lisan benar-benar dilatih untuk dijaga. Nggak ada tuh cerita lambe turah, yang ada lambe dzikir dan sholawatan.
Jadi gini lho, di sana aja kita begitu dijaga dalam lisan. Salah dikit langsung Allah tegur. Itu di sana. Hla gimana kalo di sini? Di sini ibarat kata mau ngomong apa pun, dijarne aja sama Allah. Nah makanya harus lebih berhati-hati to dalam menjaga omong. Gitu.
Jadi gini lho, di sana aja kita begitu dijaga dalam lisan. Salah dikit langsung Allah tegur. Itu di sana. Hla gimana kalo di sini? Di sini ibarat kata mau ngomong apa pun, dijarne aja sama Allah. Nah makanya harus lebih berhati-hati to dalam menjaga omong. Gitu.
Doc.Pribadi |
Satu hal lagi yang bikin aku makin tertunduk atas kemahaan-Nya. Selama aku terbaring sakit, maksud hati ingin ngeyem-yemi Ibuk biar ngga banget khawatirnya, lantas aku bilang gini, “Dah buk, ngga usah panik. Jati sakit paling gara-gara mau haid aja.” Well.. bisa ditebak dong ya apa yang terjadi kemudian? Yap! Aku beneran dapat haid. Padahal kalo menurut hitungan, harusnya sih haidnya pas udah balik tanah air. Allahu Akbar!
Tiada hal lain yang bisa kulakuin selain narimo. Banyak yang lalu menyarankan untuk minum pil dan sejenisnya, tapi kubilang, sudahlah. Dalam kasus ini, menurut aku, konsekuensi haruslah dihadapi. Bukan dihindari. Bukan diakali.
Lewat kejadian ini aku makin mengilhami sepenuh hati bahwa kedigdayaan-Nya benar-benar tiada tertandingi. Hash, kita ini mah cuman kumparan debu. Asli. Kun fayakun yang sebenar-benarnya begitu jelas diperlihatkan-Nya di depan mata. Kita mah bisa apa? Jangan pun minta jodoh, minta balikan sama mantan pun bisa. Hloh. Hey-hey.. maksud aku gini lho, kita minta apa pun sama Allah itu sangat layak selayak-layaknya. PAS. Dan emang sama Beliau-lah, the only one! Apa ya bahasa Arabnya? Emm, pokoknya gitu.
Doc.Pribadi |
Dan ada satu pembelajaran lagi yang Allah kasihkan. Jadi selama di sana, aku merasa Allah berulang kali menunjukkan kesalahan niat yang selama ini mendasari setiap lakuku. Iya sih, aku tahu kalau apa-apa yang kita perbuat (utamanya terkait ibadah) niatkanlah lillahi ta’ala. Namun dalam implementasi, nyatanya aku belum. Lillahi ta’ala hanya sebatas lisan. Sama sekali belum menyesap dalam kalbu dan laku.
Jadi selama ini aku masih
pahala oriented, bekal akhirat oriented, bukan Allah ta’ala oriented. Kalau shalat pun masih
sering karena niat ingsun
menggugurkan kewajiban. Bahkan nyemplungi
kotak infak pun niat ingsunnya biar
dapet balesan lebih. Hlah ya jelas
salah to ya. Usholli fardhonya kan ya harus lillahi
ta’ala. Cem itu lah.
Ketika di sana, Allah seakan
mau ngasi tahu aku untuk melandaskan segala perkara hanya karena-Nya semata.
Pahala dan bekal akhirat penting untuk dicari, namun laku kita lahir batin karena
Allah-lah yang utama. Jika sudah demikian (insya Allah) produk sampingan berupa
pahala, bekal akhirat, dan seterusnya, akan mengikuti.
Pahala ataupun bonus
kebaikan yang lain itu sesungguhnya bukan urusan kita. Itu adalah hak
prerogatif Allah semata. Mau menerima amal ibadah kita atau enggak, mau ngasih
pahala atau enggak, mau bales kebaikan kita apa enggak, toh pun iya dengan apa,
toh pun enggak karena apa, itu-itu semua di luar kewenangan manusia. Serahkan
saja itu pada-Nya. Tugas manusia adalah menjadi abdi-Nya yang senantiasa
berusaha membaiki diri dalam laku dan ibadah. Gitu.
Doc.Pribadi |
Asli sebenernya masih ada baanyak hal yang belum kusampaikan tentang apa–apa yang kudapatkan di sana. Tentang kisah pertama kali melihat kabah, shalat di depan kabah, shalat Jumat pertama di Masjidil Haram, kisah burung dara, keindahan-kedamaian-kekhusukan masjid Nabawi, nuansa berbagi, tentang city tour, masjid Quba, Jabal Rahmah, ahh.. banyak pokoknya. Dan semuanya ngangenin. Aku akan sangat merindukan masa-masa itu. Masa ketika diri ini berada sangat dekat dalam rumah-Nya.
Mekah - Madinah
29 Desember 2016 – 5 Januari 2017
0 komentar:
Posting Komentar