Kamis, 24 Mei 2012

16 Mei 2012


Sekarang jam di layar komputer ini menunjukkan pukul 19.13. memang aku niatkan hati ini ntuk nongkrong disini selepas isya’. Ada banyak hal yang ingin aku share di sini. 

Tadi siang aku habis berkunjung ke sawah sob. Bukan buat nanem padi apalagi panen. Aku tadi nangis, yah nangiss. Tak hanya itu, aku juga teriak teriak nggak karuan. Sendiri jat?? Nggaklah, entar dikira orang nggak genep lagi. Aku tadi ditemenin sobatku (salah satu temen deket sejak SMP), namanya ika. Entah mengapa saat pikiran ku tak karuan tadi nama yang terlintas dalam benakku adalah dia, aku kirim pesan ternyata dia ada di rumah. Sekalian aja aku ajak ke sawah.

Sebenernya masalah nya sangat sepele. Aku aja yang terlalu menganggapnya mejadi sesuatu yang begitu bermasalah. Untuk detilnya mohon maaf tidak saya ceritakan disini. Yang jelas ini adalah masalah sepele, sangat sepele, antara aku, si X, dan keluarga.

Saat masalah itu datang, seakan akan faktor pemicuku untuk marah juga semakin berdatangan, begitu kompleks. Lengkap sudah. Dalam hati berkecamuk antara aku yang A dan aku yang satunya. Terus berdebat, aku pun makin tak kuasa menahannya. Jujur baru kali ini aku merasakan suatu perasaan begituu jengkel marah  sesal negg de el el campur rata jadi satu. Dan yang dapat aku lakukan adalah menangis, menjejak jejakkan kaki, dan juga berkata ngalor ngidul. Kau bisa membayangkannya bukan? 

Ini tak bisa didiemin aja, aku harus share dengan temen. Melihat beberapa belakangan saat aku ada masalah aku pasti selesaikan dengan share sama temen. Tapi untuk masalah ini dengan siapa? Terlintas saja nama temenku tadi, ika. Selesai mengirim pesan padanya, langsung hape aku matikan. Entah terserah apa yang akan terjadi, aku tak peduli. Sungguh aku tak peduli.

Sampai dirumahnya, aku langsung mengajaknya ke sawah, aku utarakan masalahku, meluangkan segala uneg unegku. Aku nangis disitu, aku teriak teriak disitu, ku tak peduli siapa yang mendengar suaraku, tak peduli apa yang orang lain pikir tentang aku, “whatever”. 

Aku merasa plong , nyaman, merasa beban yang tadi kian membayangiku kini udaah berkurang. Enteng. Dengan santainya temenku bilang “Kamu sekarang kok berubah to jat? Dulu SMP kamu nggak kayak gini, 180 derajat kamu berubah!” “Kamu dulu itu ceria, tampak nggak pernah punya masalah, justru kalo temen kamu yang punya masalah kamu lebih banyak ngasih wejangan” Mungkin dia mau bilang ‘kamu sekarang cengeng’ , tapi nggak kesampean kali ya. 

Tapi kalo mau blak blakan, dewasa ini aku sering menyelesaikan masalah dengan air mata. Dan aku merasa itu cukup membantu. Entahlah, terserah apa pandanganmu tentang aku. Mungkin udah banyak temen yang pernah liat aku nangis, di kelas bahkan aku pernah. Hmm.

Ngomong ngomong masalah keluarga, jujur aku bukanlah tipikal yang apa apa cerita sama orang tua. Entah mengapa bisa begini. Padahal, sesungguhnya aku ingin menceritakan apa yang selama ini menjadi masalahku, kendalaku, dengan begitu mereka mampu membimbing dan merengkuhku untuk berdiri tegar bersama mereka. Aku ingin menjadikan orang tuaku seperti teman curhatku tanpa mengurangi rasa hormat antara aku dengan mereka.

Terkadang aku iri dalam tanda kutip, melihat temen temenku yang begitu terbuka kepada orang tuanya. Sebenernya aku juga nggak tertutup banget. Tapi aku share sama orang tua cuman masalah sekolah, selebihnya kalo nggak ditanya nggak bakal aku cerita. Mungkin karena aku nggak terbiasa atau nggak dibiasakan untuk share dengan orang tua. Aku malahan lebih sering share dengan orang lain yang aku pandang beliau mampu membantuku. 

Untuk ibuk, bapak, mbak wik, sebenernya aku pengen share dengan kalian, tak hanya masalah sekolah, namun juga yang lainnya, tapi entah mengapa aku terlalu kikuk, aneh. Maafkan aku. Aku sayang kalian.