Bolehlah ini
menjadi tulisan terakhir, halaman terakhir dalam buku yang ku beri judul ‘Dirimu’.
Bukan aku tak mau bersabar, hanya saja aku tak ingin menyiksa diri. Menjadi makhluk
yang menunggu sebuah ketidakpastian adalah perkara maha susah. Alasanku hanya
ini. Aku tak ingin membuat diriku berbahagia dalam semu, menunggu segala yang
masih terlihat abu-abu. Mungkin aku terlalu berlebih dalam menilai segala
tentangmu, segala yang kau lakukan padaku. Sekali lagi cukup. Aku ingin menutup
kisah dalam buku ini. Sudah terlalu banyak halaman tanpa ada konklusi yang
jelas. Bak alunan air dalam riaknya sungai, berlarut mengiringi dan tak
berhenti. Namun aku tak mau begitu.
Cukup sudah
keegoisanku akan dirimu. Aku berhenti. Aku tak membakar semua ini. Membakar hanya
akan melenyapkan semuanya. Aku hanya menutupnya rapat-rapat, menguburnya
dalam-dalam bahkan jika perlu sampai di palung bumi. Tak ada niat untuk membongkarnya
barang satu jengkal saja. Tak akan kutunggu disitu, tak akan kujaga. Biarlah. Biar
berlalu. Aku berharap angin, hujan, badai dan suasana alam yang lain bisa
menjadikannya seperti tempat biasa. Tak terlihat merah karena baru di gali. Biarkan
ia menua, rapuh terkikis bahkan terkena abrasi. Biarkan lapuk. Yang pasti aku
tak mau peduli.
Ini benar karena
aku ingin membuat cerita baru. Lembar-lembar kertas yang entah berapa halaman
akan terpakai, sudah menunggu untuk kutulis. Pena dan tinta sudah tersiap rapih
di atas meja kerjaku. Aku sengaja tak menyediakan penghapus. Aku tak ingin membuat
kesalahan dalam hidup yang dapat menodai kisah baruku. Aku akan bertindak hati-hati.
Selanjutnya, aku menyiapkan perbekalan secukupnya. Aku akan berkelana. Bertemu dengan
dunia baru. Bertemu dengan orang-orang baru. Menyibukkan diri dengan dunia baru
untuk buku baruku. Sekarang dan selanjutnya aku berjalan dengan Dia sebagai
petunjuk arahku. Aku serahkan pada Dia. Apapun itu. Aku membaiki diri, Dia yang
memutuskan.
Yang kuyakini
satu hal, bahwa setiap peristiwa mengandung hikmah. Tak ada sesuatu yang
sia-sia. Termasuk menguburmu. Aku menyumpahi diri untuk tak menyebutmu lagi. Akan
mengusirmu agar tak berlama-lama singgah dalam diri ini. Biarkan udara segar,
udara baru menyibakku. Menjadikanku pribadi baru. Aku tak melupakanmu tapi aku
mengusirmu dalam diriku. Itu saja.
Tak lupa aku
mengucapkan terimakasih. Tak ada kata permusuhan. Sama sekali tak ada. Aku tak
membencimu. Aku akan mencoba biasa, seperti biasa dalam biasa. Aku berlepas
diri denganmu. Selamat tinggal. Semoga duniamu terwujud seperti anganmu. Sampai
jumpa di masa depan, hey kau masa lalu!