Selasa, 24 Januari 2017

Sosok #1 Pak Herjaka

“Pertemuan memberikan dua hal: pelajaran hidup atau teman hidup” #hipwee

Sebenarnya tulisan tentang #sosok ini sudah kebelet basi pengen aku tulis. Banyak pertemuan yang akan mudah terlewat jika tak diurai dalam kata. Bagiku itu akan sangat sayang. Nah ndilalahnya, baru akhir-akhir ini aku ada greget buat mulai nulis. Semoga kapan-kapan aku bisa nulis tentang kamu ya. Iya. Kamu. Ciyeee..

Yak, kali ini aku pengin nulis tentang beliau Bapak Herjaka. Gugel pasti ada banyak stok informasi tentang beliau. Namun tulisan ini adalah satu versi lain dengan kacamata yang berbeda. Well, aku mengenal beliau sebagai nama Herjaka HS. Sosok yang kukenal lewat sebuah padepokan di Jogjakarta. Selama lebih kurang tiga bulan, aku terlibat sebuah pembelajaran di situ.  

Kesan pertama yang kudapat dari beliau adalah sosok yang kharismatik, semeleh, serta memiliki keluasan ilmu yang mumpuni. Dan setelah lama aku coba mengenal, ternyata beliau adalah sosok yang sangaaat papah-able, mau dan bisa srawung dengan siapa pun, serta selalu andap asor dalam keluasan ilmunya. Itu adalah salah beberapa hal yang menjadikanku merasa wajib berguru pada beliau.

Mari kita flashback sebentar.

Dulu di padepokan, selalu saja aku menjadi sosok terakhir yang undur diri, dan kebetulan saja beberapa kali membersamai beliau. Barangkali basa-basi memang mutlak diperlukan dalam membuka sebuah jejaring silaturahmi. Bermula dari situlah, aku mulai mengenal sosok lain dari beliau. Mulailah kumengerti bahwa beliau ini adalah seorang pelukis.   

Lewat Pak Herjaka inilah aku pertama kalinya belajar hal-hal terkait lukisan dan sejenisnya. Sejak itu pula aku baru mengerti bahwa setiap lukisan mengemban amanah untuk menyampaikan pesan kepada sekalian penikmatnya. Dan pesan-pesan yang disampaikan Pak Herjaka lewat lukisannya sungguh mendalam nan filosofis.

Ini salah satu contoh lukisan beliau.

Doc.Pribadi

Selain lukisan, beliau ini jago banget bertutur tentang sejarah dan kebudayaan. Mau ngotak-atik kraton luar dalam, adat-adatnya, kisah kerajaan-kerajaan, dunia pewayangan, ilmu-ilmu kejawen, dongeng-dongeng jadul, mitos-mitos, pawukon, huah, pokoknya segala tetek bengek terkait itu, beliau empunya.

Perlahan dengan waktu, obrolan kami pun menghangat hingga bergeser pada acara ngeteh bersama. Banyak petuah kehidupan yang beliau ajarkan. Salah satunya ini. Berikut aku ngomong versi beliau dengan pengubahan seperlunya (versi asli menggunakan bahasa Jawa halus).

“Jadi mbak Jati, dalam hidup itu pastilah ada orang yang ‘dekat’ (pro) dengan kita, ada juga yang ‘tidak’ (kontra). Itu otomatis. Dalam menyikapinya, kita akan lebih nyaman jika mampu menempatkan segala sesuatu pas pada tempatnya. Ibarat rumah mbak Jati, dia itu memiliki banyak bagian. Mulai dari teras, ruang tamu, ruang keluarga, hingga ke kamar pribadi (senthong).”

“Tamu yang datang baiknya kita temui sesuai dengan kepentingannya. Pengamen misalnya, cukuplah kita temui di teras. Kan ya ndak nyaman kalau pengamen kita bawa-bawa sampai ke senthong? Lah siapa dan apa pula keperluannya kok sampai dibawa ke senthong?”

“Nah, jika dalam keseharian hal tadi sudah ‘mapan’, maka akan terciptalah rasa saling nyaman. Kalau ada orang yang tidak dekat atau dengan kata lain tidak pro dengan Mbak Jati lalu ditempatkan di senthong, ya nantinya berat di Mbak Jati. Intinya semua akan baik jika ditempatkan sesuai dengan porsi dan tempatnya masing-masing.”

“Hal itu Mbak Jati, sama saja dengan permisalan musuh dan senjata. Jadi dalam menghadapi musuh, kita tidak bisa kok sembarangan dalam menggunakan senjata. Keris, pedang, parang, tombak, dst itu tak bisa dipersamakan waktu penggunaannya. Semua disesuaikan dengan siapakah lawan yang kita hadapi. Begitu.”

Ada juga petuah lain dari beliau. Cem ini.

“Saya itu mbak Jati, lebih suka orang lain melihat saya dengan nilai enam meski sebenarnya saya memiliki nilai tujuh. Jangan sampai lah kita mengaku-aku bernilai tujuh padahal aslinya cuma enam. Atau dengan kata lain, biarlah orang lain melihat sepenglihatan mereka. Tak perlu sama sekali kita mengusahakan diri untuk dinilai ‘wah’ atau lebih dari kapasitas yang kita miliki. Judgment manusia mah bukan patokan.”

Menanggapi pernyataan beliau di atas, aku setuju banget. Itu senada dengan ujaran Cak Nun, ‘Kalau orang memahami saya, buatlah itu karena usahanya sendiri’. Sebuah pesan yang mendidik kita untuk menjadi orang yang biasa-biasa aja, woles, dan nggak ngoyo-an.

Nah selain tersebut tadi, masih ada banyak sih pitutur lain dari beliau, tapi kucukupkan sampai di sini aja. Silahkan langsung mampir ke padepokan aja ya buat kepo lebih lanjut. Pak Herjaka pasti akan sangat welkam. Hehe.

Ohya, ada lagi sisi lain beliau yang belum kusampaikan yakni profesi menulisnya. Iya, Pak Herjaka adalah juga seorang penulis. Beberapa buku telah beliau karyakan. Salah satunya sudah pernah kureview di sini. Barangkali ada yang berminat baca, klik. Btw beliau keren sekali ya, bisa banyaak berkarya ditengah kesibukan gitu. Huwaaa.. aku iri sama Bapak!

Umm.. selain mengajarkan hal-hal tersebut tadi, beliau juga banyak ngobrolin seputar parenting, keluarga, tips memilih jodoh (eya), dan banyaaakk lainnya. FYI aja, beliau ini adalah seorang non-Islam. Sejauh aku mengamati, beliau adalah seorang Katolik ndekek. Aku bisa bilang begitu salah satunya karena habis lihat lukisan-lukisan religi dan beberapa pameran yang telah beliau gelar.

Meski kami berbeda latar, beliau dalam nuturi aku nggak pernah kok yang namanya mencampur baurkan hal-hal berbau agama. Blas. Coba itu tengok kembali apa-apa yang sudah kusampein tadi. Semua bersifat universal kan? Ngga ada yang menjurus obrolan agama. Bagiku, agama adalah ruang hening dalam pribadi masing-masing. Lakum diinukum waliyadin.

Jujur aku sedih melihat fenomena intoleransi di negeri ini. Andaiii aja, semua bisa duduk bareng tanpa mempermasalahkan perbedaan. Kita bisa ngeteh bareng, saling tukar pikiran dan pengalaman, indah to? Belum lagi masalah wayang yang riuh diperdebatkan itu. Akika sedih.

Yaah.. tapi seenggaknya lewat tulisan ini aku ingin menunjukkan bahwa silaturahmi yang notabene berbeda latar, sangat bisa dibangun. Tanpa perlu hujatan, gugatan, juga pukulan. Cukup meja bangku, sepoci teh hangat, dan remahan gula batu. Lewat kisah ini pula, aku sekaligus ingin menyampaikan bahwa ilmu bisa kita ambil dari siapa pun, tanpa perlu bertanya ‘siapa’ dia. Ilmu adalah content bukan package.

Doc.Pribadi

Akhir kata, terimakasih Pak Herjaka sudah mampir dalam list catatan kehidupan Jati. Terimakasih sudah berbagi. Terimakasih traktiran tehnya. Ohya Pak, mengingatkan aja kalau tratiran bakmi godhognya masih belum jadi. Ehehehe.

Salim.

2 komentar:

kacrutbanget.blogspot.com mengatakan...

Menginapirasi dan berfaedah sekali. Suwun mb jati.

jastya mengatakan...

awuwuwu.. makasih kembali :))