Kamis, 15 Oktober 2015

RESENSI BUMI MANUSIA


Saya mengenal Pram juga tetralogi Buru-nya itu memang belum lama ini, sekira satu-dua tahun lalu. Dan selama itu pula pergolakan saya mencari buku itu dimulai. Hunting ke perpustakaan kota, pinjem sana pinjem sini. Dan alhasil saya masih belum bisa berkasih-kasih dengan buku itu. Nurani saya masih keukeuh mengingatkan untuk tidak membeli buku KW, mengingat saat itu buku Pram belum ada cetak ulangnya. Singkat cerita semingguan lalu, saya baru bisa mendapakan buku itu. Mendadak muncul di perpus kota. Eureka!

Sejenis dengan resensi sebelumnya, buku ini adalah roman sejarah. Asik sekali Pram berkisah dengan menggelayuti setting kolonialisme. Banyak peristilahan lama yang baru bagi saya. Saya jadi tau apa beda Indo, Pribumi, dan Totok. Saya jadi liar membayangkan kondisi Indonesia saat masa-masa pendudukan Belanda itu macam mana. Tentang kerajaan, tentang gundik, dan lainnya. Inti cerita ini ya kisahnya Minke sama Annellis yang pake bumbu-bumbu konflik jejaman kolonial lah.

Saya menduga mengapa novel ini laris manis hingga beberapa kali terpanggil dalam nominasi nobel sastra adalah karena ‘unik’. Jarang lho ya novel genre romance yang bertutur menggaet sejarah! Dan saya dapati banyak misi Pram yang ingin disampaikannya melalui novel ini. Termasuk kritik pemerintahan saat itu. Poin lebihnya lagi, kisah ini dibawakan dalam ‘tetralogi’ lho ya! Catet!

Sebagai orang awam sejarah, saya praktis jadi kepengen tahu lebih banyak. Ibarat ngomongi gebetan nih ya, saya sudah dalam tahapan naksir sama sejarah. Ceileh. Saya suka beberapa quotes Pram yang anjis banget, “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.”


Tidak ada alasan untuk tidak membaca novel eksentrik ini, Bung, Ses!

RESENSI NOVEL IBUK


Atas kebaikan seorang teman, buku ini pun ditakdirkan hadir di tangan saya tentunya untuk jadi bantal tidur. Hehe. Membaca blurb dan judulnya saja, kita sudah bisa menebak buku ini pasti akan mengisahkan sebuah perjuangan hidup yang motivasional. Perjuangan seorang ibu dari kaca mata seorang anak, kurang lebih begitu gerutu saya. Dan, ya, memang benar, isinya tak jauh-jauh dari itu.

Ibarat sebuah sinetron, saya agaknya bisa menduga-duga bagaimana kisah akhir sang tokoh. Happy-tragedi ending lah, seneng tapi tetep ada bumbu-bumbu sedihnya. Bukankah sebuah kisah perjuangan terasa terlalu dzalim jika bercerita lepas dari perjuangan, kerja keras, dan pengorbanan?

Maaf jika di awal ini spoiler saya tak terbendung keluar. Tapi tenang saja, masih ada banyak hal lain yang tentu saja menarik untuk saya ceritakan. Jujur, pembawaan penulis dalam berkisah sangat sederhana. Sederhana yang elegan maksud saya. Dan suka saya. Iwan tak perlu rakus menunjukkan kepiawaiannya menulis, semesta sudah mengerti dia. Dramatisnya begini nih, Iwan ngga perlu tereak-tereak ke dunia ‘Woy gua ini penulis loh! Lihat nih karya gua! Lihaat!’ semesta sudah duluan tereak, ‘Iya Wan, gua ngerti lu penulis. Jidat lu udah cetakan penulis, noh!’ Haha. Gak mudeng maksudnya? Ya sudah. Itu urusanmu. Haaa.

Kisah dalam buku ini memang diambil dari kisah nyata perjalanan hidup si penulis. Kisah seorang anak tukang angkot yang bisa sampai ke New York. Ketika menyadari tokoh Bayek (tokoh utama) memang ada dalam kehidupan nyata dan itu adalah representasi si penulis sendiri, saya sampaikan salam takzim untukmu, Mz! Kamu keren! Dan, saya tunggu traktiranmu. Hakhak!

Mengapa judulnya ibu? Karena bukan Bapak tentu saja. Sebenarnya sih saya agak kurang setuju lantaran kisah yang diceritakan dalam buku ini tidak melulu tentang ibu. Ada kisah perjuangan Bapak, Bayek sendiri sebagai tokoh utama, juga tentang keluarga. Semua saling bernafas dalam kerja keras. Jadi, mau diberi judul apa buku ini? Yo tentu ‘Ibuk’ lah, sudah beredar se Nusantara juga kalik. Hahah.


Sebelum novel Ibuk ini, Iwan Setyawan sudah duluan meroket dengan novel 9 Summers 10 Autumns-nya. Novel best seller nasional yang ngehitz sejak saya SMA itu, baru berhasil saya jamah lepas wisuda ini. Haha. Novel yang lebih duluan saya simak filmnya ketimbang bukunya. Kisahnya sih sebelas tiga belas sama novel Ibuk ini lah. Berkisah tentang anak supir angkot yang berhasil menjadi Director di New York. Tentu setelah membaca (atau justru sudah) novel ini, kamu akan sepakat dengan para juri Jakarta Book Award 2011 yang memilih karya Iwan sebagai buku fiksi terbaik. Sila buktikan!

RESENSI NOVEL AKU


Jika kamu bertanya, Kamu baca buku ini apa gara-gara teradiksi film AADC kah, Jat? Saya dengan mata berbinar-binar akan menjawab penuh semangat ‘iya’. Oleh karena itu, kita (kamu dan aku) akan lebih nyambung ngobrolin resensi ini jika kamu sudah lihat filmnya. Tentu bukan saat kamu masih SD, tapi saat usiamu sudah mencapai akil baligh. Feelnya beda, Bung, Ses! Daan, saya recomendedkan sekali kamu tonton ulang ya. Hee..

Umm, alasan lain mengapa saya bisa ‘tergila-gila’ dengan AADC sampai-sampai rela berburu novel yang selalu nongol di tangan Rangga itu adalah keterkesimaan saya dengan film ini. Saya jatuh cinta dengan semua hal tentang AADC. Pemainnya, ceritanya, soundtracknya, backsoundnya, puisi-puisinya, ah, bikin nostalgilak! Ini serius dan saya tidak sedang lebay.

Lalu apa sih sebenernya kehebatan Novel Aku-nya Sjuman Djaya ini? Sampe banyak orang di luaran sana mati-matian nyari ini buku? (baca goodreads kalo ngga percaya). Alasan utama mereka tentu ya sama dengan saya, teradiksi dengan AADC. Namun selain itu, Bung dan Ses, alasan lain adalah karena novel ini merupakan cerita singkat tentang biografinya penulis besar Indonesia, Chairil Anwar (Iril).

Saya pertama kali denger nama Iril saat SMP. Puisinya ‘Aku’ selalu saja menghiasi buku-buku paket bahasa Indonesia. Betul? Tiap kali membacanya, saya selalu diketawai saat sampai pada, Aku ini binatang jalang. Saat itu saya tidak tahu menahu siapa sejatinya Iril berikut karya-karya besarnya kok bisa-bisanya terpahat pada buku-buku paket bahasa Indonesia dari waktu ke waktu. Ternyata oh ternyata, Iril memang pantas dikenang oleh Indonesia.

Dialah Sjuman Djaya, sang penulis novel. Ia adalah penyuka Iril garis keras. Ia ingin dunia tahu bagaimana Iril melahirkan karya-karyanya. Ia ingin dunia menghargai karya-karya Iril. FYI, hingga akhir masa hidupnya, karya Iril tidak mendapat respek yang semestinya. Dunia tak mengakui karyanya, bahkan ia harus menerima ancaman dan teror karena dianggap melahirkan karya-karya bernada destruktif, mengganggu pemerintah Jepang yang saat itu tengah berkuasa.

Novel ini berupa skenario yang menceritakan perjalanan hidup Iril. Sejak ia kecil hingga menjemput ajal. Tak lupa Sjuman Djaya menyisipkan puisi-puisi Iril dalam sebuah cerita yang begitu apik. Beberapa diksi saya temukan ‘nyastra banget’. Dikisahkan juga drama percintaan Iril yang bikin saya geleng-geleng kepala. Mungkin, Iril adalah manifestasi sosok Rangga di jamannya. Rangga yang ‘ndugal’.

Iril adalah pribadi nyentrik. Ia begitu menjunjung tinggi kebebasan. Kadang, di beberapa hal saya tercandu oleh gaya bebasnya Iril. Hingga akhirnya saya tersadar bahwa saya bukanlah Iril. Diceritakan pula usaha Iril berjuang atas drama kematiannya. Pertempurannya dengan TBC.

Setidaknya melalui buku ini, saya jadi lebih bisa menghayati kata demi kata, baris demi baris, puisi-puisi yang ia ciptakan. Benar-benar dari dalam hati. Akan kamu jumpai kejernihan perasaan, kedalaman batin, dan kelas bahasa yang begitu nyastra. Setidaknya, saya jadi merasa lebih dekat dengan sang maestro puisi Indonesia, Chairil Anwar.


Di akhir, tentu saja saya akan merekomendasikan kamu untuk membacanya. Atau jika tidak, tontonlah lagi film AADC! Bisa jadi, kamu akan menjadi ‘yang teradiksi’ selanjutnya. Haha. Tunggu juga AADC #2-nya ya!

Selasa, 22 September 2015

Resensi Cantik Itu Luka


Eka Kurniawan. Namanya pertama kali saya dengar dari penulis kenamaan Bernard Batubara. Dia (Bara) menyebut Eka sebagai penulis Indonesia favoritnya. Saat itu, Bara merekomendasikan untuk membaca Cantik Itu Luka karya Eka. Dan, bisa diduga, saya hanya memilih sambil lalu. Ya, saya acuh. Tak berniat benar membaca karya Eka. Siapalah itu Eka Kurniawan? Batin saya yang saat itu (hingga kini) adalah pembaca amatiran.

Namun, belum lama ini, saya dibuat terjungkal oleh kepongahan saya sendiri. Eka Kurniawan santer dibicarakan menjelang perhelatan Frankfrut Book Fair. Bukunya, Cantik Itu Luka (Beauty is a Wound) telah dan akan diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Ia menjadi salah satu delegasi dari Indonesia di acara bergengsi tingkat dunia itu. Dalam beberapa berita disampaikan sepak terjang Eka yang lantas menyihir mulut saya untuk berucap o.., o.., dan o.. lagi. Disebut dalam berita bahwa Indonesia telah menemukan the next Pram. Wow! Keacuhan saya berubah menjadi sebuah rasa penasaran. Siapa sejatinya Eka Kurniawan?

Baiklah, sampai di sini akan saya tegaskan bahwa tulisan ini bukan untuk ngegosipin si Eka, latar belakang dia bagaimana, apalagi kisah cintanya, tapi lebih pada karyanya yang kebetulan selesai saya baca. Cantik Itu Luka. Novel fiksi itu memang masuk mejadi salah satu buku perburuan wajib yang harus saya baca. Dan, saya mendapatinya di perpustakaan kota. Awalnya saya sedikit shock melihat novel tersebut karena ternyata tersusun sejumlah hampir 500 halaman. Mendadak saya jadi ragu untuk meminjam dan membacanya. Pasti akan panjang dan melelahkan. Tapi, percayakah kamu, iya kamu, bahwa saya menyelesaikan novel setebal itu dalam dua hari saja?

Dalam kisah awalnya, Eka begitu sadis menendang pembaca dengan suguhan cerita surealis yang unik dan menikam. Ini nyastra banget. Mengangkat setting jaman kolonial. Eka tampil dengan cerita yang rapi, cerdas dan elegan. Kehati-hatiannya dalam mengolah alur begitu terasa dengan dikeluarkannya semua tokoh tanpa mubadzir. Ya, tak ada tokoh yang tanpa lakon di situ. Dan, kecerdasan Eka makin menguak tatkala semua tokoh diceritakan begitu memiliki keintiman yang lekat. Suspensi-suspensi di tiap bab ia munculkan begitu ciamik hingga membuat pembaca akan terus dan terus ketagihan membaca. Ia pandai membekaskan rasa penasaran bagi pembacanya dalam tiap akhir bab. Dan, Eka juga begitu riang membuat kejutan-kejutan yang tak bisa diramalkan.

Ide yang diusung Eka sebenarnya sangat sederhana. Tentang balas dendam. Namun, ia meraciknya begitu berbeda. Mengusung tokoh Dewi Ayu sebagai seorang pelacur dengan penuh kepelikan yang begitu rumit, cerita ini sarat akan makna. Hikmah yang saya dapat dari membaca novel ini adalah, kacamata pandang saya bertambah. Selama ini, saya hanya melihat kehidupan dunia sebagai sesuatu yang alim-alim saja, lurus-lurus saja, linier saja, tapi ternyata di luar sana (baik masa lalu maupun masa depan) ada sebuah kehidupan yang begitu keras, tengik, dan nyata.


Finnaly, selamat kepada Eka Kurniawan, the next Pram. Indonesia patut bangga memiliki mahakarya hebat darimu. Dan, untuk kamu, iya kamu, jika memang sedang berburu novel yang nyastra banget keluaran kekinian, novel yang agak berat, saya akan merekomendasikan novel ini. Selamat membaca!

Senin, 07 September 2015

OWSOM #1


Bermodalkan postingan kawan di sebuah grup WA, saya iseng-iseng berhadiah ngeklik dan mendaftarkan diri mengikuti kelas Open Writing & Sharing Company (OWSOM). FYI, ini adalah kelas menulis (gratisan) yang digagas oleh kak @AdhamTFusama, editor Bentang. Semua yang berbau gratis begini sayang banget dong ya kalau dilewatin? Hehehe. Mengambil setting sebuah sore di @MooiKitchen, acara ini pun berlangsung seru.

Acara dimulai dengan perkenalan masing-masing peserta. Dan, saya pun mendadak krik-krik karena banyak di antaranya yang ternyata adalah novelis dan cerpenis. Hmm, saya mah apa atuh! Baiklah, mungkin saya coba kenalin sekalian aja kali ya, sesiapanya aja yang kemarin ikut. Ini dia!

Selfie pun tidak  ketinggalan di sesi OWSOM #1 kemarin
Dari kiri: ada kak @dyaragil [habis nerbitin novel kan, kak?]; kak @agieljepe [aku bingung mau ngomong apa tentang kamu, kak]; kak @onisuandiko [newbie nulis lover]; kak @irfahudaya [yang aku inget dari kakak ini kok tentang poligaminya ya, hehe]; kak @NurjannahIntan [editor non fiksi Bentang]; kak @AdhamTFusama [sang empunya acara]; samping kak Adham kita skip aja; kak @elya_lely [lulusan teknik elektro yang suka nulis]; kak @achmadmuchtar [aku bingung mau ngomong apa tentang kamu, kak]; dua di depan dari kiri ada kak @ddredy [anak KF yang udah punya novel]; dan terakhir ada kak @RisdaNurWidia [cerpenis yang sedang pacaran sama skripsi]. Ada satu lagi kak @sephkelik ngga ada di foto soalnya pamit duluan [kamu nyesel kan kak, nggak bisa foto sama kita-kita?]. Hehehe. Maaf ya, kalau agak alay ada informasi yang salah berkaitan dengan diskripsi tadi.

Cukup ya sesi perkenalannya. Sekarang langsung aja ke konten. Umm, di sesi OWSOM #1 ini, kak @AdhamTFusama membahas tentang cara mengolah ide, plot, konsep, dan kerangka karangan. Dijelaskan bahwa semua tulisan itu berawal dari ide. Lalu, bagaimana kita bisa mendapatkan sebuah ide? Banyak. Salah satunya bisa dimulai dengan bertanya, bagaimana jika? Misal: Bagaimana jika Trump berfoto selfie dengan Syahrini? Atau, bagaimana jika SBY bikin album baru lagi? Pokoknya, kembanginlah pertanyaan bagaimana jika yang lain.  

Pertanyaan lain seputar ide pun menyeruak, lalu bagaimana menciptakan ide yang orisinil? Hmm, jawabannya ada pada quotes (nggak tau punya siapa) yang mengatakan bahwa, ‘orisinalitas adalah plagiarsme yang terselubung’. Ya, orisinil tentang ide mah mustahil, yang ada adalah repackaging ide, biar berasa lebih fresh. Lalu bagaimana biar bisa fresh? Cari sudut pandang baru dari ide itu! Be curious and exploratif! Asah kepekaanmu, latih sense kamu dengan m-e-n-i-k-m-a-t-i betul tiap-tiap kejadian hidup.
Kak @AdhamTFusama asyik sharing kepenulisan
Bagaimana jika kesemuanya sudah dicoba dan masih juga belum nemu ide? Baca dan resapi quotes (nggak tau punya siapa) berikut deh, “Kalau kamu ingin membaca sebuah buku yang tak ditemukan di toko buku manapun, maka itulah saatnya kamu harus menuliskannya”. Gitu yah? Selanjutnya, coba deh rangkai idemu itu dalam sebuah kalimat sederhana. Ya, sebuah kalimat aja. Mengapa harus? Itu penting untuk memperjelas ide yang sebelumnya masih abstrak, selain itu biar tulisanmu nanti bisa fokus dan efektif.

Lanjut ke plot. Inti yang saya dapat dari penjelasan tentang plot ini adalah, kita harus mendapati di dalamnya cause and effect. Mau dijungkir balik posisinya, nggak masalah, asalkan ada sebab dan akibat dalam tulisanmu. Satu lagi adalah kelogisan. Pastikan sebuah cerita terjadi karena memang ada alasannya untuk terjadi. Jangan ujug-ujug ada. Dan, pastikan juga kamu sudah tahu awal dan ending ceritamu, ya.

Pembahasan berlanjut tentang konsep novel, cerita, penokohan, setting, hingga kerangka karangan. Dari sekian itu, saya tertarik menyinggung tentang konsep novel. Jadi, dalam mengonsep novel, kamu harus bisa menjawab pertanyaan berikut: Apa genrenya? Siapa target pembacanya? Kapan target selesainya? Ke mana akan dikirimkan? Kenapa harus menuliskan cerita ini? Bagaimana teknik promosinya? Gitu. Jadi, sebelum nulis novel, kamu wajib menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dulu, ya.

Gimana? Sampai di sini udah seru banget kan? Tentu pembahasan ini nggak akan serame kalau dateng pas acaranya langsung dong. Oleh karena itu, resume OWSOM #1 ini saya cukupkan sampai di sini aja. Biar pada penasaran. Biar yang kemarin belum bisa berangkat jadi semangat dateng! Hehehe.

Itu aja dari saya. Semoga bermanfaat, ya!

PS: Buat temen-temen yang merasa eneg dengan tulisan saya tentang resume OWSOM #1 ini dan ingin membaca langsung materi dari kak @AdhamTFusama, sila klik link berikut untuk dapetin materinya, ya. Maaci~~


Senin, 09 Maret 2015

Dibalik Kampus Fiksi #2


Ini adalah tulisan kedua dari "Dibalik Kampus Fiksi". Bagi yang belum baca bagian pertama, klik disini.

...
Memulihkan hati yang naskahnya udah keseringan ditolak itu emang enggak mudah. Salah satu caranya bisa dengan membaca buku. Itulah jalan yang saya pilih. Awalnya seneng banget bisa hunting dari satu tobuk ke tobuk lain, hunting diskon, tapi lama kelamaan dompet saya menjerit. Oke, oke. Kita ganti haluan. Pinjem aja kali ya?

Sejak itu, saya jadi semakin awas mencari temen-temen yang punya koleksi novel. Tanpa basi-basi eh basa-basi, langsung saja saya todong buat minjemi. Senengnya jadi preman buku! Hihihi. Nah mulai dari situ, saya mulai kesetanan. Sehari nggak baca buku itu rasanya gatel. Nggak nyaman. Bahkan pernah dalam seminggu bisa khatam kurang lebih empat novel. Yah begitulah rasanya kalau kita udah demen ama sesuatu. 

Bermula dari situ pulalah saya mulai belajar diksi, alur cerita, konflik, pokoknya bagaimana si penulis menyampaikan ceritanyalah. Mempelajari banyak aliran menulis, style kepenulisan, dan tetek bengek lainnya. Menjadi pembaca sekaligus pengamat, begitulah.

Selain hunting buku, saya juga ikutan berbagai event maupun seminar kepenulisan baik yang berbayar maupun free. Banyak banget hal-hal baru yang saya dapet, misal tentang pentingnya mengendapkan naskah, self editing, dan lainnya. Wow, ternyata selama ini pengetahuan saya masih jongkok banget. Pantes aja!

Merasa suasana hati sudah berangsur membaik, saya kembali lagi menggauli dunia kepenulisan. Slow aja, nggak perlu maksa. Alhamdulillah, emang kerja keras itu selalu berbanding lurus dengan hasil. Tulisan saya masuk sepuluh besar sebuah lomba menulis yang diadakan Pena Nusantara. Butuh diseleksi lima besar lagi buat bisa naik cetak. Hei, ini penerbit mayor! Seluruh Indonesia bakal bisa membaca tulisanku. Aih, senengnya!

Berusaha dan meminta sudah menjadi kewajiban setiap insan manusia, namun keputusan tetaplah menjadi wewenang-Nya. Impian yang hanya tinggal satu langkah lagi itu akhirnya masih belum bisa menjadi kenyataan. Naskah saya gagal tembus lima besar. Hohoho. Ngelus dada, sabar!

Meski begitu, saya nggak kecewa-kecewa banget. Ini event tingkat nasional dan berhasil masuk sepuluh besar itu menurutku cukup keren. Menghibur diri sendiri! Hehe. Saya semakin tertantang untuk menaklukkan pertarungan demi pertarungan lainnya. Tsah!

Singkat cerita, saya dipertemukan kembali dengan DivaPress melalui pembukaan seleksi Kampus Fiksi Reguler untuk angkatan 14 dst. Sayangnya, saat itu perhatian saya terpecah dengan tugas akhir (penyusunan proposal KTI) yang notabene hanya dikasi waktu satu bulan, ngooohaaa! Alhasil, saya baru bisa membuat cerpen H-3. Seleksi Kampus Fiksi adalah event penting, salah satu jalan yang bisa mewujudkan mimpi untuk menerbitkan buku, jadi saya tidak boleh menyia-nyiakannya!

Dari beberapa event kepenulisan yang saya ikuti, selalu disampaikan bahwa pembuka naskah adalah pertaruhan, sajikan secara berbeda. Oke, akan saya coba. Berikut sekelumit tips dan trik lainnya juga tak lupa saya terapkan. Selesai. Waktunya mengendapkan. Oke, sekarang self editting. Done. Send.

Usai mengirim, rasanya campur aduk. Puas, was-was, ah yang jelas masih cukup trauma dengan penolakan. Tapi, saya teringat dengan ilmu ikhlas yang diajarkan guru saya dulu. ‘Gunakan ikhlas setiap kamu menemui kesulitan.’ Jadi begini ...

Ikhlas adalah saat ketika apa yang ada dihadapan kamu sudah bukan menjadi urusanmu. Gini, saat naskah itu belum saya kirim, itu sepenuhnya masih menjadi urusan saya. Saya perlu melakukan riset, edit, pokoknya segala hal yang masih bisa saya usahakan demi untuk memaksimalkan karya. Paham? Nah, setelah naskah itu saya send, jelas-jelas saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Maka, satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah menyerahkan sepenuhnya segala keputusan hanya kepada-Nya. Mau diterima atau ditolak itu sudah bukan urusan saya lagi. Saya sama sekali tidak memikirkan itu. Bahkan, saya tidak berdoa agar naskah saya diterima. Bener-bener lepas. Sepenuhnya saya serahkan pada keputusan-Nya.

Itulah yang saya maksud dengan ilmu ikhlas. Perlu diasah memang. Kalau udah terbiasa, hidup bakal kerasa enteng! Yakin! Saya juga masih belajar membiasakan ikhlas. Ikhlas itu keren. Sumpah!

Source Picture
Awal Maret menjadi waktu yang cukup bersejarah bagi saya. Secara tidak sengaja, saya membuka facebook dan mendapati DivaPress mengunggah link pengumuman seleksi Kampus Fiksi (sebenernya itu link udah diunggah siang hari kemarin, tapi lagi-lagi saya kan kudet, hehe).

Deg! Batin saya berdesir. Memori penolakan mendadak tersibak. Harap-harap cemas. Mata saya jelalatan menyimak satu persatu nama yang terpampang di situ. Hampir lewat setengah halaman, nama saya tak kunjung muncul. Saya mulai lemas. Otak, wajah, dan seluruh tubuh saya mendadak terasa panas.

‘Yah, sepertinya masih belum rejeki,’ begitu ujar saya dan sepersekian detik kemudian tampaklah deretan nama saya berikut judul cerpen yang saya ajukan, dan tulisan angkatan 23. Spechles! Itu yang saya rasakan beberapa saat. Sontak saya lalu sujud syukur, nangis. Saya tidak tau apa yang harus saya lakukan selain itu. I really.. really don’t belief! OH GOD, THANKYOU!

Begitulah secuplik kisah saya di balik perjuangan Kampus Fiksi. Saya sepenuhnya sadar apa yang saya miliki saat ini masih belum apa-apa. Saya masih perlu baaanyaak belajar. Namun, saya bersyukur setidaknya telah dekat satu langkah dengan impian untuk bisa menerbitkan buku. 

Percayalah, nggak ada sesuatu yang indah dari sebuah proses yang instan. Hargai dan nikmati setiap detik usaha-usaha kita. Semoga tulisan ini bisa memberi tambahan motivasi bahwa apa pun bisa kita raih asal berusaha dan berusaha. Yakini, aku dan kamu pasti bisa!

Salam,

@jatisetya

Minggu, 08 Maret 2015

Dibalik Kampus Fiksi #1


Kampus Fiksi? Hal yang baru saya sadari keberadaannya kurang lebih setahun silam. Tepatnya saat diumumkan bahwa pendaftaran kampus fiksi telah ditutup. Ditutup? Kapan membukanya? Baiklah, saya memang kudet.

Sebenarnya saya lebih dulu mengenal sang empunya kampus fiksi, ya DivaPress –penerbit yang selalu inovatif dan kreatif, menurut saya. Kira-kira saat itu saya masih lugu-lugunya menjadi mahasiswa baru. Itulah pula untuk pertama kalinya, saya mulai menjejakkan pena dalam dunia kepenulisan. Jangan membayangkan dunia kepenulisan terlalu liar. Bukan. Bukan seperti itu yang saya maksud. Jadi begini...

Saya mengalami sebuah turbulensi, tepatnya setelah bertemu dengan seorang dosen yang cukup mengoyak batin. Saat itu beliau menyampaikan kegelisahannya –hingga menitikkan air mata di depan puluhan mahasiswanya- tentang kondisi mahasiswa sekarang yang sudah jarang menyentuh dunia literasi bahkan untuk sekedar rutin membaca koran, itu sudah jarang terlihat. Terbukti saat beliau membuka sesi diskusi tentang isu-isu yang hangat terjadi saat itu, tidak ada satu pun diantara kami mahasiswanya yang nyambung dengannya. Melihat kejadian itu beliau tidak marah, sama sekali tidak. Hanya saja, ia sangat kecewa. Sangat. Kesedihan dalam raut wajahnya sudah cukup menjelaskan, tidak bisa ditutupi.

Selanjutnya muncullah pertanyaan-pertanyaan yang mulai membebat hati saya: Sebegitu parahkah kami yang tidak pernah membaca koran? Sebegitu payahkah kami yang tidak terbiasa menulis? Baiklah, mungkin saya terlalu sensitif atau justru kurang bisa cuek? Tapi, melihat dosen menangis di hadapan puluhan mahasiswanya gara-gara ‘baca-tulis’ bukanlah perkara biasa. Sepertinya saya memang sudah keterlaluan selama ini. Baiklah, mulai detik ini saya akan berubah. Saya akan membaca dan menulis. Apapun.

Begitulah satu dari sekian hal yang melatar belakangi saya mulai mengenal dan mengendus dunia literasi. Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan segenap informasi yang berkaitan dengan dunia tulis menulis. Atau lebih tepatnya mengumpulkan informasi tentang lomba-lomba menulis. Ternyata cukup banyak event yang bisa diikuti berkaitan dengan tulis-menulis. Itu yang membuat saya tambah bergairah.

Saking banyaknya event lomba yang saya ikuti, saya putuskan untuk membuat list lomba. Saya sajikan dalam tabel-tabel berisi jenis lomba, deadline, hingga tanggal pengumuman, tak lupa kolom keterangan yang nanti bisa diisi lolos atau tidak. Selanjutnya, list itu saya tempelkan dengan manis di kamar kos. Biar menjadi saksi atas terwujudnya mimpi-mimpi saya kelak, begitulah.

Saya cukup bersemangat saat itu. Beribu angan menggebu untuk bisa menjadikan karya saya ini menjadi juara. Namun, belum lama memulai nulis, saya menemui jalan buntu. Tulisan yang saya buat hanya mentok tiga halaman saja. Stag. Otak saya sudah tidak bisa berpikir lagi, tidak ada kata-kata untuk bisa dirangkai lagi, padahal ketentuan naskah untuk lomba minimal delapan halaman. Oh God! Give me breath!

Baiklah lupakan. Ikuti saja aturannya. Menulislah delapan halaman, tanpa perlu melihat konten tulisanmu. Itu prinsip yang saya ambil. Akhirnya, saya memang berhasil menyelesaikan karya delapan halaman itu. Cukup puas dan bangga. Namun, rupanya saat itu saya lupa bahwa di luar sana masih ada banyak penulis lain yang juga mengikuti event ini tentu dengan kemampuan yang lebih. Ya, saya terlalu over confidence, merasa karya sendiri begitu sempurna. Perfecto! Nyatanya saya salah besar!

Hari pengumuman yang tertera di list tidak pernah saya lewatkan. Dengan ketajaman mata penuh, saya membaca perlahan –juga tentunya dengan penuh pengharapan untuk menang, berharap tidak ada satu informasi pun yang terlewatkan di situs peyelanggara lomba itu.

Sudah lebih dari sekali saya membaca pengumuman lomba itu, nama saya terlewatkan? Tidak. Sepertinya memang nama saya tidak ada. Saya tidak lolos. Oiy, beginikah rasanya saat naskah yang susah payah kita ciptakan itu ditolak? Mungkin, beginilah yang dirasakan para lelaki saat sang wanita pujaan menolak cinta tulusnya. Sakit ya? Nyesek bingits!

Baiklah, setidaknya masih ada Om Mario yang terus berpidato menyemangati segenap kaum muda untuk tidak putus asa dalam kegagalannya. Saya bangkit. Akan saya buktikan itu! Ikat kepala, saya tarik lebih kencang. Fighting! 6(^0^)9

source picture
Event yang saya ikuti semakin banyak. Mata saya semakin liar menelusuri situs-situs kompetisi menulis. Yeah, i got it, DivaPress! Di sini disebutkan DivaPress setiap bulan rutin menyelenggarakan kompetisi menulis cerpen dengan tema yang ditentukan. Cerpen yang terpilih akan dibukukan dan dipajang di toko buku se-Nusantara. WOW! Ini keren! Dan saya harus ikut!

Berkaca dari pengalaman sebelumnya, untuk lomba kali ini saya mempersiapkannya dengan lebih matang. Saya mulai berbenah. Syukurlah dengan kesabaran perlahan saya mulai bisa membuat karya lebih dari tiga halaman, tentunya tanpa terpaksa. Selesai. Siap untuk dikirim dan tinggal tunggu hasilnya.

Tidak sabar melihat nama saya terpampang di situs itu sebagai kandidat yang lolos. Saya tersenyum lebar setidaknya hingga sebelum nama saya tidak kunjung ditemukan. Lebih tepatnya memang tidak ditemukan. Oh, saya tidak lolos (lagi).

Apakah lantas dunia hancur? Oh maaf, senapan semangat saya masih lebih dari cukup tersedia. Saat itu saya masih bisa tersenyum. Menyemangati diri sendiri, gagal adalah awal dari keberhasilan. Tenang! Begitu batin kecil saya berteriak. Masih ada event bulan depan lagi bukan? Rasanya tidak masalah!

Benar, saya lalu mengikuti event DivaPress selanjutnya. Dan alhamdulillah, berkat keseriusan dan kegigihan, saya kembali dinyatakan: ‘t-i-d-a-k l-o-l-o-s’. WHAT? TIDAK LOLOS? LAGI?? Ini yang keterlaluan siapa? Saya atau DivaPress? Saya kira gagal itu tidak perlu banyak-banyak, sekali saja cukup. Namun, sepertinya saya akan mengalami lebih. Apakah saya kuat bertahan?

Jika dengan usaha sekeras itu masih belum lolos juga, maka saya harus benar-benar memaksimalkan otak saya untuk berpikir, tangan saya untuk menulis, hati saya untuk membaca, semuanya. Saya memutuskan untuk tetap terus mengikuti event-event kepenulisan lainnya. Ada yang berbeda kali ini. Ternyata teman satu kelas ada yang menyukai literasi beginian juga. Dengan menggebu saya ajak dia. Finally, dia juga ikut. Masih inget banget tema yang diusung saat itu adalah tentang jomblo, haha, ini sih saya banget!

Saya cukup optimis untuk bisa lolos kali ini. Bisa dibilang, saya cukup lama menguasai tema itu, hahaha. Dan memang pada akhirnya alhamdulillah, ternyata teman saya yang justru lolos. What??? Terus saya? Saya masih meratapi nasib! Huhuhu. Jleb banget nggak sih? Temen saya yang baru sekali ikut langsung lolos, sedangkan saya? Cukup! Tidak perlu diungkit-ungkit lagi!

Dengan susah payah menahan malu, saya samperin dia lalu menjabat tangannya mengucapkan selamat. Batin saya menjerit-jerit saat itu. Bertampang sok tegar saya bilang, ‘Beb, boleh liat tulisan kamu nggak?’ Niat hati sih untuk mengukur tulisan saya seburuk apa gitu. Dan ternyata, ngooohaaa,  terpampang nyata bahwa naskah saya emang masih jauh pake banget.

Oke, oke. Seenggaknya saya sudah tau naskah tipe apa yang bisa lolos. Berkaca dari kejadian menyakitkan itu, saya lantas bangkit dengan semangat baru. Kali ini saya akan membuktikannya. Kita lihat saja!

Benar, event selanjutnya kemudian dibuka dengan tema ‘ibu’. Saya lantas mulai menulis, dengan kehati-hatian, penuh perasaan, juga memberi beberapa sentuhan akhir sebagai pemanis, akhirnya naskah itu selesai. Send. Selanjutnya hanya bisa berdoa dan berharap. Semoga Tuhan meloloskannya.

Nasib oh nasib! Kembali lagi saya harus menerima kenyataan p-a-h-i-t untuk tetap bertahan pada kesabaran karena nama saya b-e-l-u-m terpampang di situs DivaPress. Dan satu lagi yang menambah impian-impian saya terasa semakin kabur, teman saya kembali dinyatakan lolos.


T.A.M.A.T.

Source Picture

Hahahaha. Nggak sampe pake acara gantung diri juga kali ya! Oke, bercanda! Memang tidak saya pungkiri sakitnya tuh pake banget, disini! Tapi, untungnya senapan semangat saya masih belum habis. Saya ikut lagi event lainnya. Masih dari DivaPress. Singkat cerita, saat itu saya dan temen saya ikut dan alhamdulillah, kami berdua dinyatakan tidak lolos. Hahaha. Seenggaknya saya tidak malu-malu banget.

Dari situ -istilah jawanya- saya mulai mutung. Apa yang salah dengan naskah saya? Apakah saya menjadi peserta yang di-blacklist? Sepertinya DivaPress memang sengaja menolak naskah saya. Tapi atas dasar apa? Akhirnya saya memutuskan tidak ikut lagi eventnya DivaPress untuk sementara, setidaknya hingga hati saya benar-benar siap.
To be continue...

Rabu, 04 Maret 2015

Secret Follower

Membidik dari balik layar tujuh inchi sebuah gadget lalu menangkap siluet dari berbagai angle view instagrammu adalah rutinitasku sekarang. Aku perlu mengendap-endap bahkan menahan nafas, takut engkau justru bersembunyi dari bidik lensaku. Aku pun memaksa diri untuk bertahan mengintai segala ruang gerakmu hari ini dan entah sampai kapan melalui dimensi facebook, twitter, BBM, path, hmmm, segalanya. Semua hanya untuk sekedar ‘menjumpaimu’ hari ini.
Setelah puas mengusik sedikit duniamu, kulanjutkan hariku dengan menjalaninya tanpa khawatir, tanpa ragu, dan penuh ceria. Pagi ini aku akan bertemu dengan mata kuliah paling tidak disukai sepanjang sejarah kehidupan mahasiswa. Mata kuliah yang sering membuat mahasiswa gagal memakai selempang cumlaude di hari wisudanya. Ya, kalkulus.
Dosen pengampunya pun tak jauh berbeda, killer, kejam, penuh perhitungan, begitu dermawan memberikan nilai D bahkan E, begitulah kabar yang mewarnainya. Aku tak sepenuhnya setuju. Bagaimanapun, aku berutang terimakasih padanya. Beliaulah yang mempertemukanku denganmu. Kau dipilih menjadi asistennya. Karena beliaulah, engkau bisa berdiri di depan kelas ini, membiarkan mataku menelanjangimu sesuka hati, membiarkanku semakin jauh terseret dalam pusaran kharismamu.
Engkau jelas berbeda dengan beliau, lembut, penuh sabar, begitu memahami setiap jengkal kesulitan mahasiswa. Engkau supel namun tak pernah lupa identitas. Selalu membuka tangan kepada siapa pun yang datang. Engkau begitu bersahaja dalam setiap laku. Ucapmu bagai mantra penghidup semangat setiap pendengarnya, membuat jiwa-jiwa yang hidup berlekas diri untuk menuntaskan segala mimpinya.
Itulah sedikit dari banyak hal yang membuatku berat untuk tidak jatuh cinta padamu. Sejak pertama aku sepenuhnya sadar, engkau berbeda. Begitu spesial. Engkau mampu meluluhkan dosen yang tak kusangka bisa diluluhkan. Ada apa dalam dirimu? Sebuah tanya yang hingga detik ini membuat rasa penasaranku kian tak terbendung dan aku berjanji akan segera menemukan jawabnya.
Usai menghabiskan beberapa jam bersamamu, aku menuju tempat yang biasa kau tuju juga. Masjid kampus. Di tempat inilah auramu melesat berkali-kali lipat dan aku semakin suka. Aku kian luluh menyaksikan khasanah ilmu yang kau bagikan percuma dalam kelompok tarbiyahmu[1]. Bagaimana aku tidak jatuh cinta? Bersamamu, dunia dan akhirat dalam genggaman. Engkau memang spesial. Sungguh.
Oh ya, masih ingatkah engkau dengan interaksi pertama kita? Saat aku mengumpulkan tugas praktikum? Kau ingat? Sepertinya tidak, atau justru engkau tidak pernah tau aku ada di dunia ini? Baiklah, tak mengapa. Mungkin sebaiknya memang begitu. Sekarang ijinkan aku menceritakannya, sedikit saja, mungkin kau ingat.
Akulah mahasiswa yang selalu mengumpulkan tugas praktikum pada jam, menit, dan detik-detik terakhir. Akulah yang saat itu banjir keringat hanya karena mengumpulkan segenap nyali untuk bisa melangkah mendekatimu. Genderang jantung yang sudah bertalu-talu sejak tadi mengiringi hembusan nafas yang kian tak berirama. Tepat didepanmu, aku hanya bisa menyerahkan beberapa helai kertas. Diam. Menatapmu dalam jarak sedekat itu, membuatku tak kuasa banyak bertingkah. Aku memilih segera berlalu. Tapi aku mendengar kau bersuara. Iya, kau. Seperti biasa, penuh dengan keramahan, keterbukaan. Sungguh, aku begitu bahagia mendengar suaramu dalam jarak sedekat itu.
“Ada kesulitan nggak dek?” itu kalimat pertamamu padaku. Kau ingat?
Aku hanya diam. Seluruh pancaindra mendadak mati. Menjawabmu rasanya tidak mungkin, lidahku kelu. Sekedar menggeleng rasanya juga tidak mungkin, seluruh urat syarafku lumpuh. Aku memilih pergi, menyisakan tanda tanya dalam hatimu.
Sebatas itulah komunikasi antara kau dan aku, bahkan hingga detik ini. Jujur, aku begitu ingin berbincang denganmu walau hanya untuk sekedar menyapa, ‘selamat pagi kak?’. Sayangnya, aku tak pernah bisa. Sejauh ini, aku hanya bisa menatap iri saat teman-teman berguru ilmu padamu, berdiskusi seru, bercengkrama bebas. Sungguh aku ingin! Namun, nyaliku terasa tiada pernah cukup.
Sore beranjak petang, itulah waktu yang biasa mengantarmu pulang. Semoga matahari sore ini dapat mejadi penghibur harimu yang lelah. Sebelum mataku terpejam, selalu kusempatkan untuk memastikan keadanmu baik di sana. Aku tak peduli dengan kekurangkerjaan yang kulakukan ini. Bagiku, kau seperti morfin, semakin kuhirup semakin memberikan tenang.
Entah ini sudah hari keberapa aku menjadi secret follower-mu, hanya saja kali ini aku merasa ganjil. Aku mendapatimu berbeda. Apakah engkau sedang jatuh cinta? Syair indah dalam statusmu begitu jelas mengungkapkan segenap kidung hatimu. Engkau mencintai seorang gadis bukan? Ya, tentu itu bukan aku.
Kau ingin tau perasaanku saat itu? Aku marah, sakit, dan begitu kecewa. Tak perlu kututupi karena memang begitulah rasanya. Terasa begitu sia-sia apa yang kulakukan selama ini. Tak bisa kugambarkan bagaimana rasa sakit itu. Tak perlu kugambarkan dan tak perlu kau rasakan. Cukup aku saja.
***
Oksigen tetap memberiku nafas, cahaya tetap memberiku terang, langit pun tetap memberiku cerah. Sungguh, dunia tidak berubah, tapi ada apa denganku? Kudapati sebuah ruang jauuh di sana yang kian terasa kosong. Kuharap waktulah yang akan mendamaikan perasaanku, tapi nyatanya tidak. Ia justru kian menjauh tak bergeming. Sudahlah, cukup! Mungkin ini saat bagiku untuk belajar hakikat mencintai. Memaknai mahakarya Tuhan itu dengan sakral, tulus, dan indah. Akan kucoba.
Waktu berhasil mengantarku pada sebuah titik ketika jiwa ini melebur dengan sebuah pemaknaan bahwa mencintai adalah untuk melepaskan. Seperti sebuah keindahan yang berlapis pengorbanan, begitulah. Jika memang nantinya ada gadis yang jauh lebih baik dan lebih pantas untuk mendapatkanmu, mengapa tidak? Jika engkau kelak ditakdirkan untukku, sudah pasti aku bahagia. Doaku setiap hari pun tak lepas dari itu. Namun kau harus meyakini satu hal, engkau adalah lelaki baik, engkau pasti ditakdirkan untuk mendapatkan gadis baik. Itu saja.
Akhirnya kuputuskan untuk tetap setia menjadi secret follower-mu. Rasa sakit yang dulu ada, telah kusudahi. Akan kupastikan gadis yang kelak kau dapatkan adalah dia yang memang layak untuk bisa bersanding denganmu. Mencintai untuk melepaskan itu sungguh luar biasa indah meski sepenuhnya kusadari, pengorbananlah yang membuatnya terasa indah. Bukankah melihat orang yang kita cintai tidak bahagia akan terasa menyakitkan? Dan aku memilih begini. Memilihmu bahagia.
Wahai engkau, bukankah indah caraku mencintaimu?



[1] Kegiatan yang mencakup pengembangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan, dan perasaan memiliki terhadap orang lain. 

Memahami Genre dalam Menulis

Tulisan kali ini lahir gara-gara beberapa waktu lalu (1/3) saya ikut acara @kopdarfiksi “Memahami Genre dalam Menulis” bareng kak @benzbara_ @cerberus404 dan @RyAzzura. Acara yang berlangsung di @milkbarID ini seru banget karena selain dapet ilmu langsung dari sang empunya nulis juga ada tantangan gamesnya. Penasaran? Yuk simak ceritanya!

Diawali dengan penyampaian materi oleh @cerberus404 alias kak Yoana Dianika -penulis buku Devil’s Game, Hujan Punya Cerita tentang Kita, Last Minute In Manhattan, and many more, bahkan beberapa karyanya udah diangkat ke layar lebar. Keren kan? Kak Yo -sapaan kak Yoana, memulai kelas dengan mengenalkan lima genre menulis: romance, horor, misteri, fantasy, dan science fiction. Nah apa aja bedanya? Yuk kita bahas satu-satu.


Kak Yo semangat banget ngasi materi

Pertama, romance. Ini adalah genre yang melulu bicara tentang perasaan. Pembahasan tentang romance mentok sampai disini karena saya datengnya telat. Maaf ya {{}}

Kedua, horor dan misteri. Sengaja disebut bersamaan karena kak Yo membandingkan kedua genre ini secara lebih spesifik. Untuk genre horor, biasanya memunculkan rasa takut dan keputusasaan tokoh. Genre ini dibangun dengan  rasa takut, kejutan, ketegangan, misteri, spoiller, dan kenekatan tokoh.

Sedangkan genre misteri biasanya menceritakan hal-hal berbau kriminal disertai bukti. Dibangun berupa puzzle, sesuatu yang dicurigai, bukti tersembunyi, hipotesis, dan pengalih perhatian. Intinya, akan ada banyak tokoh yang dimunculkan untuk mem-blurkan si pelaku. Cukup jelas kan bedanya? Sip, lanjut.

Ketiga,  fantasy dan science fiction. Dua genre yang terlihat mirip tapi beda. Genre fantasy biasanya mengangkat hal-hal  yang mustahil alias menggunakan hal-hal di luar nalar manusia. Misalnya nih, cerita tentang kerajaan peri di filmnya The Hobbit.  Selain itu, genre ini becerita tentang impian dan hal-hal yang melebihi dunia, pokoknya segala hal di luar nalar manusia.

Genre ini punya lima sub genre yakni: Epic Fantasy (ex: The Lord of The Rings), Historical Fantasy, Contemporary Fantasy (ex: Harry Potter), Urban Fantasy (ex: Twilight), dan Court Inrtigue.

Selanjutnya ada science fiction. Genre terakhir ini biasanya diusung oleh para penulis dari negara-negara barat. Ciri utama dari genre ini adalah logis. Semua bisa dipertanggung jawabkan secara nalar. Juga merupakan perwujudan (bukan impian) dan biasanya memperluas dunia. Dibagi dalam lima sub genre: Cyberpunk, Hard Sci-Fi, Military Sci-Fi, Space Opera, dan Parallel Sci-Fi.

Tambahan:
*Jenis-jenis genre tidak saklek hanya pada lima genre ini saja tapi masih ada beberapa lainnya yang tidak dibahas detail saat itu, misalnya komedi atau pun personal literatur.

*Dalam menulis, tidak menutup kemungkinan akan ada beberapa genre yang terlibat, tidak menjadi masalah asal kita tetap bisa berfokus pada satu genre yang menjadi titik berat. Bisa dibilang, genre yang lain adalah pemanis. Contoh konkretnya adalah, tidak selamanya sebuah cerita bergenre science fiction akan bertahan seperti itu dari awal sampe akhir cerita, adakalanya diselingi romance atau mungkin mistery. Kalau emang ngotot dari awal sampe akhir science fiction, bisa dibilang itu sudah bukan cerita fiksi lagi tapi jurnal ilmiah. LOL.

Gimana? Udah cukup menambah cakrawala kepenulisan kamu kan? Semoga.

Buat kita-kita yang kemarin ikutan nonkrong di @milkbarID keseruannya nggak berhenti di situ, kak @benzbara_ nantangin buat ikutan games. Jangan salah, ini games bukan sembarang games. Masing-masing dari kita harus nulis sebuah cerita berdasarkan genre yang dipilih. Nah yang bikin seru adalah genre yang dipilih bukan atas keinginan sendiri tapi berdasarkan undian. Eits, ada satu hal lagi, kita juga wajib menggunakan kata ‘kunci’ sebagai keyword dalam cerita masing-masing. Jedder! Kenyang banget kalau ntar dapet science fiction.


Kak Bara nggak kalah semangat mandu acara
Well, pada akhirnya aku beneran kenyang karena dapet genre ‘science fiction’. Duh, mau diapain tuh ‘kunci’ dalam cerita science fiction? Genre yang menurutku paling absurd untuk dikembangkan menjadi sebuah cerita. Tapi pada akhirnya, lahirlah juga sebuah cerita acak adul bergenre science fiction karya sendiri. Penasaran? Ini dia...

Brian licik tersenyum. Terpuaskan pada misi yang susah payah ia taklukkan. Mencuri kunci Scredo -kunci incaran hacker-hacker dunia. Ia lelah mengendap dalam ruang-ruang penuh sensor, yang jika ada lalat masuk pun, alarm akan berbunyi menggaduhkan gedung berlabel intel itu.

Senyumnya kini semakin menggema, benda incaran ribuan mata itu kini bersemayam manis dalam jemarinya. Kunci Scredo ini terlalu spesial. Diliriknya benda itu, tampak berpendar, ukurannya tak lebih dari tujuh cm.  Ya, memang terlalu kecil tapi itu mampu memberi akses apa pun yang ingin kau tau. Dengan benda sekecil itu, jaringan belabel apa pun bisa sempurna diretas. Barang langka itu, kini menjadi penyempurna profesinya, Brian sang hacker kaliber dunia.
...

Silahkan muntah, tidak perlu sungkan. Saya juga barusan muntah. Hahaha. LOL. Mungkin ada yang bisa memberi contoh science fiction yang nggak bikin muntah? Hahaha :D

Baiklah, di penghujung tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa acara @kopdarfiksi kali ini sukses membuat saya memahami genre-genre dalam menulis. Juga sukses memotivasi saya untuk senantiasa semangat dalam berkarya. Kita tunggu aja ya acara @kopdarfiksi selanjutnya =)

Salam,
@jatisetya


Suasana seru peserta @kopdarfiksi di @milkbarID