Kamis, 15 Oktober 2015

RESENSI BUMI MANUSIA


Saya mengenal Pram juga tetralogi Buru-nya itu memang belum lama ini, sekira satu-dua tahun lalu. Dan selama itu pula pergolakan saya mencari buku itu dimulai. Hunting ke perpustakaan kota, pinjem sana pinjem sini. Dan alhasil saya masih belum bisa berkasih-kasih dengan buku itu. Nurani saya masih keukeuh mengingatkan untuk tidak membeli buku KW, mengingat saat itu buku Pram belum ada cetak ulangnya. Singkat cerita semingguan lalu, saya baru bisa mendapakan buku itu. Mendadak muncul di perpus kota. Eureka!

Sejenis dengan resensi sebelumnya, buku ini adalah roman sejarah. Asik sekali Pram berkisah dengan menggelayuti setting kolonialisme. Banyak peristilahan lama yang baru bagi saya. Saya jadi tau apa beda Indo, Pribumi, dan Totok. Saya jadi liar membayangkan kondisi Indonesia saat masa-masa pendudukan Belanda itu macam mana. Tentang kerajaan, tentang gundik, dan lainnya. Inti cerita ini ya kisahnya Minke sama Annellis yang pake bumbu-bumbu konflik jejaman kolonial lah.

Saya menduga mengapa novel ini laris manis hingga beberapa kali terpanggil dalam nominasi nobel sastra adalah karena ‘unik’. Jarang lho ya novel genre romance yang bertutur menggaet sejarah! Dan saya dapati banyak misi Pram yang ingin disampaikannya melalui novel ini. Termasuk kritik pemerintahan saat itu. Poin lebihnya lagi, kisah ini dibawakan dalam ‘tetralogi’ lho ya! Catet!

Sebagai orang awam sejarah, saya praktis jadi kepengen tahu lebih banyak. Ibarat ngomongi gebetan nih ya, saya sudah dalam tahapan naksir sama sejarah. Ceileh. Saya suka beberapa quotes Pram yang anjis banget, “Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri.”


Tidak ada alasan untuk tidak membaca novel eksentrik ini, Bung, Ses!

RESENSI NOVEL IBUK


Atas kebaikan seorang teman, buku ini pun ditakdirkan hadir di tangan saya tentunya untuk jadi bantal tidur. Hehe. Membaca blurb dan judulnya saja, kita sudah bisa menebak buku ini pasti akan mengisahkan sebuah perjuangan hidup yang motivasional. Perjuangan seorang ibu dari kaca mata seorang anak, kurang lebih begitu gerutu saya. Dan, ya, memang benar, isinya tak jauh-jauh dari itu.

Ibarat sebuah sinetron, saya agaknya bisa menduga-duga bagaimana kisah akhir sang tokoh. Happy-tragedi ending lah, seneng tapi tetep ada bumbu-bumbu sedihnya. Bukankah sebuah kisah perjuangan terasa terlalu dzalim jika bercerita lepas dari perjuangan, kerja keras, dan pengorbanan?

Maaf jika di awal ini spoiler saya tak terbendung keluar. Tapi tenang saja, masih ada banyak hal lain yang tentu saja menarik untuk saya ceritakan. Jujur, pembawaan penulis dalam berkisah sangat sederhana. Sederhana yang elegan maksud saya. Dan suka saya. Iwan tak perlu rakus menunjukkan kepiawaiannya menulis, semesta sudah mengerti dia. Dramatisnya begini nih, Iwan ngga perlu tereak-tereak ke dunia ‘Woy gua ini penulis loh! Lihat nih karya gua! Lihaat!’ semesta sudah duluan tereak, ‘Iya Wan, gua ngerti lu penulis. Jidat lu udah cetakan penulis, noh!’ Haha. Gak mudeng maksudnya? Ya sudah. Itu urusanmu. Haaa.

Kisah dalam buku ini memang diambil dari kisah nyata perjalanan hidup si penulis. Kisah seorang anak tukang angkot yang bisa sampai ke New York. Ketika menyadari tokoh Bayek (tokoh utama) memang ada dalam kehidupan nyata dan itu adalah representasi si penulis sendiri, saya sampaikan salam takzim untukmu, Mz! Kamu keren! Dan, saya tunggu traktiranmu. Hakhak!

Mengapa judulnya ibu? Karena bukan Bapak tentu saja. Sebenarnya sih saya agak kurang setuju lantaran kisah yang diceritakan dalam buku ini tidak melulu tentang ibu. Ada kisah perjuangan Bapak, Bayek sendiri sebagai tokoh utama, juga tentang keluarga. Semua saling bernafas dalam kerja keras. Jadi, mau diberi judul apa buku ini? Yo tentu ‘Ibuk’ lah, sudah beredar se Nusantara juga kalik. Hahah.


Sebelum novel Ibuk ini, Iwan Setyawan sudah duluan meroket dengan novel 9 Summers 10 Autumns-nya. Novel best seller nasional yang ngehitz sejak saya SMA itu, baru berhasil saya jamah lepas wisuda ini. Haha. Novel yang lebih duluan saya simak filmnya ketimbang bukunya. Kisahnya sih sebelas tiga belas sama novel Ibuk ini lah. Berkisah tentang anak supir angkot yang berhasil menjadi Director di New York. Tentu setelah membaca (atau justru sudah) novel ini, kamu akan sepakat dengan para juri Jakarta Book Award 2011 yang memilih karya Iwan sebagai buku fiksi terbaik. Sila buktikan!

RESENSI NOVEL AKU


Jika kamu bertanya, Kamu baca buku ini apa gara-gara teradiksi film AADC kah, Jat? Saya dengan mata berbinar-binar akan menjawab penuh semangat ‘iya’. Oleh karena itu, kita (kamu dan aku) akan lebih nyambung ngobrolin resensi ini jika kamu sudah lihat filmnya. Tentu bukan saat kamu masih SD, tapi saat usiamu sudah mencapai akil baligh. Feelnya beda, Bung, Ses! Daan, saya recomendedkan sekali kamu tonton ulang ya. Hee..

Umm, alasan lain mengapa saya bisa ‘tergila-gila’ dengan AADC sampai-sampai rela berburu novel yang selalu nongol di tangan Rangga itu adalah keterkesimaan saya dengan film ini. Saya jatuh cinta dengan semua hal tentang AADC. Pemainnya, ceritanya, soundtracknya, backsoundnya, puisi-puisinya, ah, bikin nostalgilak! Ini serius dan saya tidak sedang lebay.

Lalu apa sih sebenernya kehebatan Novel Aku-nya Sjuman Djaya ini? Sampe banyak orang di luaran sana mati-matian nyari ini buku? (baca goodreads kalo ngga percaya). Alasan utama mereka tentu ya sama dengan saya, teradiksi dengan AADC. Namun selain itu, Bung dan Ses, alasan lain adalah karena novel ini merupakan cerita singkat tentang biografinya penulis besar Indonesia, Chairil Anwar (Iril).

Saya pertama kali denger nama Iril saat SMP. Puisinya ‘Aku’ selalu saja menghiasi buku-buku paket bahasa Indonesia. Betul? Tiap kali membacanya, saya selalu diketawai saat sampai pada, Aku ini binatang jalang. Saat itu saya tidak tahu menahu siapa sejatinya Iril berikut karya-karya besarnya kok bisa-bisanya terpahat pada buku-buku paket bahasa Indonesia dari waktu ke waktu. Ternyata oh ternyata, Iril memang pantas dikenang oleh Indonesia.

Dialah Sjuman Djaya, sang penulis novel. Ia adalah penyuka Iril garis keras. Ia ingin dunia tahu bagaimana Iril melahirkan karya-karyanya. Ia ingin dunia menghargai karya-karya Iril. FYI, hingga akhir masa hidupnya, karya Iril tidak mendapat respek yang semestinya. Dunia tak mengakui karyanya, bahkan ia harus menerima ancaman dan teror karena dianggap melahirkan karya-karya bernada destruktif, mengganggu pemerintah Jepang yang saat itu tengah berkuasa.

Novel ini berupa skenario yang menceritakan perjalanan hidup Iril. Sejak ia kecil hingga menjemput ajal. Tak lupa Sjuman Djaya menyisipkan puisi-puisi Iril dalam sebuah cerita yang begitu apik. Beberapa diksi saya temukan ‘nyastra banget’. Dikisahkan juga drama percintaan Iril yang bikin saya geleng-geleng kepala. Mungkin, Iril adalah manifestasi sosok Rangga di jamannya. Rangga yang ‘ndugal’.

Iril adalah pribadi nyentrik. Ia begitu menjunjung tinggi kebebasan. Kadang, di beberapa hal saya tercandu oleh gaya bebasnya Iril. Hingga akhirnya saya tersadar bahwa saya bukanlah Iril. Diceritakan pula usaha Iril berjuang atas drama kematiannya. Pertempurannya dengan TBC.

Setidaknya melalui buku ini, saya jadi lebih bisa menghayati kata demi kata, baris demi baris, puisi-puisi yang ia ciptakan. Benar-benar dari dalam hati. Akan kamu jumpai kejernihan perasaan, kedalaman batin, dan kelas bahasa yang begitu nyastra. Setidaknya, saya jadi merasa lebih dekat dengan sang maestro puisi Indonesia, Chairil Anwar.


Di akhir, tentu saja saya akan merekomendasikan kamu untuk membacanya. Atau jika tidak, tontonlah lagi film AADC! Bisa jadi, kamu akan menjadi ‘yang teradiksi’ selanjutnya. Haha. Tunggu juga AADC #2-nya ya!