Kembali lagi saya menjamah kelas kepenulisan yang udah
berabad-abad silam saya tinggalkan. Tentu saja yang saya maksud kelas menulis
gratisan, haha. Pokoke prinsipnya,
dimana ada kelas menulis (gratis), di situ saya ada. Hehe.
Oke, kelas kali ini diadakan dalam rangka meyongsong Muktamar
Nasyiatul Aisyah XIII tingkat DIY (iklan dulu yes). Bintang tamunya si Mas Gun,
Kurniawan Gunadi. Iya yang nulis Hujan Matahari itu. Hah ngga tau? Yasuda, cerita
singkat dulu deh tentang. Mas Gun ini alumni seni rupa murni ITB. Betul, dia
keluar dari ranah yang dibidanginya untuk fokus pada hal-hal berbau nulis.
Sebelum masuk ke materi nulis, aku mau reshare aja nih
tentang apa aja yang tadi uda disampeken bliyo. Bagiku ini penting dan
mencerahkan, jadi aku pengen kamu juga tau. Bliyo bercerita begini:
Saya bersyukur kuliah di ITB, di Bandung. Di sana itu
surganya pluralitas. Wacana saya terbuka. Saya pertama kali melihat perempuan
merokok, lelaki bertato (bahkan itu tato arab: bismillah), atheis, penyembah
semua agama, radikal, liberal, bikini, hingga syar’i, ya di Bandung itu. Segingga,
menjadi hal biasa jika di sini lagi ngaji, kamar sebelah pada ngebir. Sekali
lagi itu hal yang biasa.
Salah satu hal yang saya syukuri dari kondisi demikian adalah
saya tidak lagi terbebani dengan mainset lama bahwa lulus kuliah itu ya jadi pegawai di kantor
atau kalau nggak ya PNS (maindset jadul yang masih rela dipelihara orang
Indonesia). Di sini, semua open minded. Dinamis banget. Itu salah satu yang
melatar belakangi mengapa saya mantap memilih dunia menulis sebagai jalan
hidup.
Di ITB juga saya merasa beruntung karena bertemu menteri A,
B, C, D adalah hal yang mudah dan biasa. Hal itu lantas membuat saya berpikir,
mereka-mereka (baca: orang-orang yang berpengaruh) pasti ada kalanya bergeser
(baca: pensiun). Begitu pula dalam dunia tulis menulis. Katakanlah kang Abik
dan sederetannya, sepuluh dua puluh tahun lagi, purna barangkali, lantas siapa
yang menggantikan? Lalu pertanyaan berikutnya, mengapa bukan saya?
Saya juga sering berpikir begini, ketika saya melihat
orang-orang besar macam mbak Hanum, mas Anwar Fuadi, dan sejenisnya sukses, hal
yang lantas saya lakukan adalah mengamati berapakah rentang usia mereka dalam
‘kesuksesannya’ itu? Itu yang menjadi pelecut bagi saya agar kelak saat berada
dalam usia sukses mereka itu, yah minimal bisa seperti mereka, bila perlu
lebih. FYI usia mas Gunadi saat mengisi ini adalah 25 tahun, catet!
Udah gitu aja prolognya. Semoga kau bersepakat denganku bahwa
itu keren. Jikalau tidak ya itu terserah kamu. Pokoknya bagiku itu keren. Oke,
sekarang lanjut ke materi menulisnya.
Hal-hal yang saya tulis meliputi hal-hal yang saya sukai.
Passion saya dalam menulis bukan karya ini akan laku atau tidak, akan dibaca
orang atau tidak, tapi bagi saya menulis itu untuk ‘mendengarkan diri sendiri’.
Tulislah segalanya, yang kau sukai.
Temukan ojek yang tepat untuk ditulis. Keberhasilan sebuah
tulisan banyak dikontribusikan oleh preference penulis, kesukaannya apa,
kegemarannya apa, passionnya apa. Traveller kah, kuiner kah, apa pun itu.
Terpenting adalah kekonsistenanmu di situ.
Masalah ide sebenarnya sangat melimpah ruah di alam sekitar jika
kita mau sadar. Ia bisa muncul dimana saja. Oleh karenanya, selalu tangkap ide
itu. Dokumentasikan! Bagi saya pribadi lebih memilih voice note yang nggak
terlalu ribet daripada cetak cetik, lama. Tapi apapun itu medianya ngga masalah
selama itu terdokumentasikan.
Mengapa itu penting? Mendapatkan ide itu ibaratnya kita
dikasih nikmat Tuhan yang ‘warbiasah langka’, maka alangkah sombongnya,
alangkah kuffurnya, jika tak mensyukuri nikmat ide itu dengan menangkap dan
mengolahnya menjadi kudapan tulisan yang maha lezat. Fix lebay.
Menulis munafik banget tanpa membaca. Ya, makanya mulailah
dari membaca. Secara tidak langsung membaca mengajarkan kita mengenai diksi,
cara merangkai kata, menyusun cerita, dan banyak lainnya. Carilah sudut pandang
yang baru, yang berbeda, yang menarik. Dan satu hal lain yang tak kalah penting
adalah, ‘menghargai proses’. Sakit hati ditolak-tolak naskahnya? Hmm itu sudah
biasa. Jangan patah arang. Itulah bagian dari proses. Hargailah.
Tulisan kalian itu akan berjodoh dengan pembacanya sendiri. Tak
tahu ia orang mana, bergender apa, latar belakangnya bagaimana, usianya, kita
tak akan tahu. Dan ketahuilah bahwa pembaca memiliki ruang interpretasi
sendiri-sendiri yang pasti akan berbeda. Itu bebas dan legal. FYI, tulisan Mas
Gun ini sudah mendepak lebih dari lima negara! Orangnya kalah sama tulisannya
yes, haha. Memang bener ya kata siapa dulu itu, tulisan itu lintas peradaban!
Terakhir ada dua pesan Mas Gun yang terngiang-ngiang dalam
memoar saya: (1) Jadilah golongan manusia yang berani mewujudkan karya, tidak
sekadar berwacana! (2) Jika kamu masih mahasiswa, banyak-banyaklah berbuat
salah! Why? Perkuliahan memang ladang belajar. Jadi, selamat berbuat salah!
Kurang lebih begitu yang saya dapat dari kelas menulis
bersama Mas Gun tempo hari. Semoga bermanfaat. Pokoknya, jangan lupa nulis!
0 komentar:
Posting Komentar