Jumat, 13 Mei 2016

Kelas Menulis bersama Kurniawan Gunadi

Kembali lagi saya menjamah kelas kepenulisan yang udah berabad-abad silam saya tinggalkan. Tentu saja yang saya maksud kelas menulis gratisan, haha. Pokoke prinsipnya, dimana ada kelas menulis (gratis), di situ saya ada. Hehe.

Oke, kelas kali ini diadakan dalam rangka meyongsong Muktamar Nasyiatul Aisyah XIII tingkat DIY (iklan dulu yes). Bintang tamunya si Mas Gun, Kurniawan Gunadi. Iya yang nulis Hujan Matahari itu. Hah ngga tau? Yasuda, cerita singkat dulu deh tentang. Mas Gun ini alumni seni rupa murni ITB. Betul, dia keluar dari ranah yang dibidanginya untuk fokus pada hal-hal berbau nulis.

Sebelum masuk ke materi nulis, aku mau reshare aja nih tentang apa aja yang tadi uda disampeken bliyo. Bagiku ini penting dan mencerahkan, jadi aku pengen kamu juga tau. Bliyo bercerita begini:

Saya bersyukur kuliah di ITB, di Bandung. Di sana itu surganya pluralitas. Wacana saya terbuka. Saya pertama kali melihat perempuan merokok, lelaki bertato (bahkan itu tato arab: bismillah), atheis, penyembah semua agama, radikal, liberal, bikini, hingga syar’i, ya di Bandung itu. Segingga, menjadi hal biasa jika di sini lagi ngaji, kamar sebelah pada ngebir. Sekali lagi itu hal yang biasa.

Salah satu hal yang saya syukuri dari kondisi demikian adalah saya tidak lagi terbebani dengan mainset lama bahwa  lulus kuliah itu ya jadi pegawai di kantor atau kalau nggak ya PNS (maindset jadul yang masih rela dipelihara orang Indonesia). Di sini, semua open minded. Dinamis banget. Itu salah satu yang melatar belakangi mengapa saya mantap memilih dunia menulis sebagai jalan hidup.

Di ITB juga saya merasa beruntung karena bertemu menteri A, B, C, D adalah hal yang mudah dan biasa. Hal itu lantas membuat saya berpikir, mereka-mereka (baca: orang-orang yang berpengaruh) pasti ada kalanya bergeser (baca: pensiun). Begitu pula dalam dunia tulis menulis. Katakanlah kang Abik dan sederetannya, sepuluh dua puluh tahun lagi, purna barangkali, lantas siapa yang menggantikan? Lalu pertanyaan berikutnya, mengapa bukan saya?

Saya juga sering berpikir begini, ketika saya melihat orang-orang besar macam mbak Hanum, mas Anwar Fuadi, dan sejenisnya sukses, hal yang lantas saya lakukan adalah mengamati berapakah rentang usia mereka dalam ‘kesuksesannya’ itu? Itu yang menjadi pelecut bagi saya agar kelak saat berada dalam usia sukses mereka itu, yah minimal bisa seperti mereka, bila perlu lebih. FYI usia mas Gunadi saat mengisi ini adalah 25 tahun, catet!

Udah gitu aja prolognya. Semoga kau bersepakat denganku bahwa itu keren. Jikalau tidak ya itu terserah kamu. Pokoknya bagiku itu keren. Oke, sekarang lanjut ke materi menulisnya.

Hal-hal yang saya tulis meliputi hal-hal yang saya sukai. Passion saya dalam menulis bukan karya ini akan laku atau tidak, akan dibaca orang atau tidak, tapi bagi saya menulis itu untuk ‘mendengarkan diri sendiri’. Tulislah segalanya, yang kau sukai.

Temukan ojek yang tepat untuk ditulis. Keberhasilan sebuah tulisan banyak dikontribusikan oleh preference penulis, kesukaannya apa, kegemarannya apa, passionnya apa. Traveller kah, kuiner kah, apa pun itu. Terpenting adalah kekonsistenanmu di situ.

Masalah ide sebenarnya sangat melimpah ruah di alam sekitar jika kita mau sadar. Ia bisa muncul dimana saja. Oleh karenanya, selalu tangkap ide itu. Dokumentasikan! Bagi saya pribadi lebih memilih voice note yang nggak terlalu ribet daripada cetak cetik, lama. Tapi apapun itu medianya ngga masalah selama itu terdokumentasikan.

Mengapa itu penting? Mendapatkan ide itu ibaratnya kita dikasih nikmat Tuhan yang ‘warbiasah langka’, maka alangkah sombongnya, alangkah kuffurnya, jika tak mensyukuri nikmat ide itu dengan menangkap dan mengolahnya menjadi kudapan tulisan yang maha lezat. Fix lebay.

Menulis munafik banget tanpa membaca. Ya, makanya mulailah dari membaca. Secara tidak langsung membaca mengajarkan kita mengenai diksi, cara merangkai kata, menyusun cerita, dan banyak lainnya. Carilah sudut pandang yang baru, yang berbeda, yang menarik. Dan satu hal lain yang tak kalah penting adalah, ‘menghargai proses’. Sakit hati ditolak-tolak naskahnya? Hmm itu sudah biasa. Jangan patah arang. Itulah bagian dari proses. Hargailah.

Tulisan kalian itu akan berjodoh dengan pembacanya sendiri. Tak tahu ia orang mana, bergender apa, latar belakangnya bagaimana, usianya, kita tak akan tahu. Dan ketahuilah bahwa pembaca memiliki ruang interpretasi sendiri-sendiri yang pasti akan berbeda. Itu bebas dan legal. FYI, tulisan Mas Gun ini sudah mendepak lebih dari lima negara! Orangnya kalah sama tulisannya yes, haha. Memang bener ya kata siapa dulu itu, tulisan itu lintas peradaban!

Terakhir ada dua pesan Mas Gun yang terngiang-ngiang dalam memoar saya: (1) Jadilah golongan manusia yang berani mewujudkan karya, tidak sekadar berwacana! (2) Jika kamu masih mahasiswa, banyak-banyaklah berbuat salah! Why? Perkuliahan memang ladang belajar. Jadi, selamat berbuat salah!

Kurang lebih begitu yang saya dapat dari kelas menulis bersama Mas Gun tempo hari. Semoga bermanfaat. Pokoknya, jangan lupa nulis!



0 komentar: