“Pertemuan memberikan dua hal: pelajaran
hidup atau teman hidup” #hipwee
Sebenarnya tulisan tentang #sosok ini sudah kebelet basi pengen aku
tulis. Banyak pertemuan yang akan mudah terlewat jika tak diurai dalam kata. Bagiku
itu akan sangat sayang. Nah ndilalahnya,
baru akhir-akhir ini aku ada greget
buat mulai nulis. Semoga kapan-kapan aku bisa nulis tentang kamu ya. Iya. Kamu.
Ciyeee..
Yak, kali ini aku pengin nulis tentang beliau Bapak Herjaka. Gugel
pasti ada banyak stok informasi tentang beliau. Namun tulisan ini adalah satu
versi lain dengan kacamata yang berbeda. Well, aku mengenal beliau
sebagai nama Herjaka HS. Sosok yang kukenal lewat sebuah padepokan di
Jogjakarta. Selama lebih kurang tiga bulan, aku terlibat sebuah pembelajaran di
situ.
Kesan pertama yang kudapat dari beliau adalah sosok yang
kharismatik, semeleh, serta memiliki keluasan ilmu yang mumpuni. Dan
setelah lama aku coba mengenal, ternyata beliau adalah sosok yang sangaaat papah-able,
mau dan bisa srawung dengan siapa pun, serta selalu andap asor dalam
keluasan ilmunya. Itu adalah salah beberapa hal yang menjadikanku merasa wajib berguru
pada beliau.
Mari kita flashback sebentar.
Dulu di padepokan, selalu saja aku menjadi sosok terakhir yang
undur diri, dan kebetulan saja beberapa kali membersamai beliau. Barangkali
basa-basi memang mutlak diperlukan dalam membuka sebuah jejaring silaturahmi.
Bermula dari situlah, aku mulai mengenal sosok lain dari beliau. Mulailah
kumengerti bahwa beliau ini adalah seorang pelukis.
Lewat Pak Herjaka inilah aku pertama kalinya belajar hal-hal terkait
lukisan dan sejenisnya. Sejak itu pula aku baru mengerti bahwa setiap lukisan mengemban
amanah untuk menyampaikan pesan kepada sekalian penikmatnya. Dan pesan-pesan
yang disampaikan Pak Herjaka lewat lukisannya sungguh mendalam nan filosofis.
Ini salah satu contoh lukisan beliau.
Doc.Pribadi |
Selain lukisan, beliau ini jago banget bertutur tentang sejarah dan
kebudayaan. Mau ngotak-atik kraton luar dalam, adat-adatnya, kisah kerajaan-kerajaan,
dunia pewayangan, ilmu-ilmu kejawen, dongeng-dongeng jadul, mitos-mitos,
pawukon, huah, pokoknya segala tetek bengek terkait itu, beliau
empunya.
Perlahan dengan waktu, obrolan kami pun menghangat hingga bergeser
pada acara ngeteh bersama. Banyak petuah kehidupan yang beliau ajarkan. Salah
satunya ini. Berikut aku ngomong versi beliau dengan pengubahan seperlunya (versi
asli menggunakan bahasa Jawa halus).
“Jadi mbak Jati, dalam hidup itu pastilah ada orang yang ‘dekat’ (pro)
dengan kita, ada juga yang ‘tidak’ (kontra). Itu otomatis. Dalam menyikapinya, kita
akan lebih nyaman jika mampu menempatkan segala sesuatu pas pada tempatnya.
Ibarat rumah mbak Jati, dia itu memiliki banyak bagian. Mulai dari teras, ruang
tamu, ruang keluarga, hingga ke kamar pribadi (senthong).”
“Tamu yang datang baiknya kita temui sesuai dengan kepentingannya. Pengamen
misalnya, cukuplah kita temui di teras. Kan ya ndak nyaman kalau pengamen kita
bawa-bawa sampai ke senthong? Lah siapa dan apa pula keperluannya kok sampai dibawa
ke senthong?”
“Nah, jika dalam keseharian hal tadi sudah ‘mapan’, maka akan terciptalah
rasa saling nyaman. Kalau ada orang yang tidak dekat atau dengan kata lain
tidak pro dengan Mbak Jati lalu ditempatkan di senthong, ya nantinya berat di
Mbak Jati. Intinya semua akan baik jika ditempatkan sesuai dengan porsi dan
tempatnya masing-masing.”
“Hal itu Mbak Jati, sama saja dengan permisalan musuh dan senjata. Jadi
dalam menghadapi musuh, kita tidak bisa kok sembarangan dalam menggunakan
senjata. Keris, pedang, parang, tombak, dst itu tak bisa dipersamakan waktu
penggunaannya. Semua disesuaikan dengan siapakah lawan yang kita hadapi. Begitu.”
Ada juga petuah lain dari beliau. Cem ini.
“Saya itu mbak Jati, lebih suka orang lain melihat saya dengan
nilai enam meski sebenarnya saya memiliki nilai tujuh. Jangan sampai lah kita
mengaku-aku bernilai tujuh padahal aslinya cuma enam. Atau dengan kata lain, biarlah
orang lain melihat sepenglihatan mereka. Tak perlu sama sekali kita
mengusahakan diri untuk dinilai ‘wah’ atau lebih dari kapasitas yang kita
miliki. Judgment manusia mah bukan patokan.”
Menanggapi pernyataan beliau di atas, aku setuju banget. Itu senada
dengan ujaran Cak Nun, ‘Kalau orang
memahami saya, buatlah itu karena usahanya sendiri’. Sebuah pesan yang
mendidik kita untuk menjadi orang yang biasa-biasa aja, woles, dan nggak
ngoyo-an.
Nah selain tersebut tadi, masih ada banyak sih pitutur lain
dari beliau, tapi kucukupkan sampai di sini aja. Silahkan langsung mampir ke
padepokan aja ya buat kepo lebih lanjut. Pak Herjaka pasti akan sangat welkam.
Hehe.
Ohya, ada lagi sisi lain beliau yang belum kusampaikan yakni
profesi menulisnya. Iya, Pak Herjaka adalah juga seorang penulis. Beberapa buku
telah beliau karyakan. Salah satunya sudah pernah kureview di sini. Barangkali
ada yang berminat baca, klik. Btw beliau
keren sekali ya, bisa banyaak berkarya ditengah kesibukan gitu. Huwaaa.. aku iri sama Bapak!
Umm.. selain mengajarkan hal-hal tersebut tadi, beliau juga banyak
ngobrolin seputar parenting, keluarga, tips memilih jodoh (eya), dan banyaaakk lainnya. FYI
aja, beliau ini adalah seorang non-Islam. Sejauh aku mengamati, beliau adalah
seorang Katolik ndekek. Aku bisa bilang begitu salah satunya karena
habis lihat lukisan-lukisan religi dan beberapa pameran yang telah beliau gelar.
Meski kami berbeda latar, beliau dalam nuturi aku nggak
pernah kok yang namanya mencampur baurkan hal-hal berbau agama. Blas. Coba
itu tengok kembali apa-apa yang sudah kusampein tadi. Semua bersifat universal kan? Ngga ada yang menjurus
obrolan agama. Bagiku, agama adalah ruang hening dalam pribadi masing-masing. Lakum
diinukum waliyadin.
Jujur aku sedih melihat fenomena intoleransi di negeri ini. Andaiii
aja, semua bisa duduk bareng tanpa mempermasalahkan perbedaan. Kita bisa ngeteh
bareng, saling tukar pikiran dan pengalaman, indah to? Belum lagi masalah wayang yang riuh diperdebatkan itu. Akika sedih.
Yaah.. tapi seenggaknya lewat tulisan ini aku ingin menunjukkan
bahwa silaturahmi yang notabene berbeda latar, sangat bisa dibangun. Tanpa perlu
hujatan, gugatan, juga pukulan. Cukup meja bangku, sepoci teh hangat, dan remahan
gula batu. Lewat kisah ini pula, aku sekaligus ingin menyampaikan bahwa ilmu
bisa kita ambil dari siapa pun, tanpa perlu bertanya ‘siapa’ dia. Ilmu adalah content
bukan package.
Doc.Pribadi |
Akhir kata, terimakasih Pak Herjaka sudah mampir dalam list catatan
kehidupan Jati. Terimakasih sudah berbagi. Terimakasih traktiran tehnya. Ohya
Pak, mengingatkan aja kalau tratiran bakmi
godhognya masih belum jadi. Ehehehe.
Salim.
2 komentar:
Menginapirasi dan berfaedah sekali. Suwun mb jati.
awuwuwu.. makasih kembali :))
Posting Komentar