Penulis: Herjaka HS
Penerbit: Tembi Rumah Budaya
Cetakan: I, Desember 2010
Tebal: 150 halaman
Kidung Malam menjadi novel
pembelajaran apik bagi mereka yang masih awam ataupun ingin mengenal dunia pewayangan.
Tentu saja tidak semua kisah pewayangan terwakili di sini. Buku ini berkisah
tentang Durna sebagai center story. Sebuah ide yang menurut saya cukup
fresh, mengingat Durna jarang diunggah sebagai center story.
Kisah bermula saat Prabu
Destrarata gelisah terkait penyerahan tahta kekuasaan kerajaan Hastinapura.
Diberikan kepada Pandawa kah? Atau Kurawa? Kisah itu berlanjut hingga
menyulutkan dendam Kurawa kepada Pandawa. Singkat cerita, bertemulah Pandawa
dan Kurawa dengan seorang pepundhen sakti yang berhasil mengambil Lenga
Tala. Ya, dialah Durna. Bermula dari situlah Durna kemudian diangkat sebagai
guru istana.
Pengisahan selanjutnya
bertumpu pada perjalanan Durna mulai dari kisah kelahirannya, perjalanannya ke
tanah Jawa, pertemuannya dengan Batari Wilutama yang berujung pada kelahiran
Aswatama, kesumatnya yang belum tuntas, hingga kembali pada kisah Lenga Tala
yang mengantarnya sebagai guru istana di Hastinapura.
Konflik muncul saat Durna
bertemu dengan Sucitra (sahabat sekaligus saudara seperguruannya) untuk
mengentaskan kesumat melalui tangan para muridnya (Pandawa). Kesumat yang
justru memicu kesumat lain. Konflik kembali muncul saat Durna dihadapkan pada
pertikaian dua murid andalannya, Arjuna dan Ekalaya. Kebijaksanaannya sebagai
guru pun dipertaruhkan. Konflik disajikan cukup pelik pada bagian ini.
Pada akhirnya, kemunculan
rasa gelisah dan kebimbangan Durna dipilih penulis sebagai ending cerita.
Durna berkecamuk dengan batin sendiri atas keberpihakannya dalam sengketa
antara Pandawa dan Kurawa. Sengketa antar cucu Abiyasa yang diyakininya akan
meledak menjadi sebuah perang dahsyat suatu saat nanti.
Ada banyak pesan moril
yang disampaikan melalui buku ini. Salah satunya yakni ajaran bahwa tidak ada
manusia yang ‘selalu putih’ begitupun sebaliknya, Arjuna misalnya. Arjuna
selama ini dikenal sebagai sosok ksatria nan sempurna. Nyatanya tidak. Dalam
buku ini Arjuna beberapa kali muncul dengan kesombongan dan iri dengki. Tak
ubahnya kehidupan manusia bukan?
Secara garis besar novel
ini disampaikan dalam bahasa Indonesia. Namun beberapa kali saya menemui statement-statement berbahasa Jawa
seperti wastra lungset ing sampiran,
manjing ajur-ajer, mban cindhe mban siladan, dsb. Agaknya penulis sengaja
membiarkan kosa kata itu utuh dalam bahasa Jawa karena tidak ingin mengubah feel substantifnya. Hal tersebut
sekaligus menegaskan betapa adi luhungnya
bahasa Jawa hingga tak kuasa tergantikan.
Suguhan beberapa potret
adegan (yang merupakan lukisan penulis sendiri) cukup membantu menghidupkan
visualisasi. Hanya saja saya kurang begitu suka dengan tampilan layout yang
tersaji dalam dua kolom. Tak ubahnya seperti membaca majalah. Tapi itu hanya
masalah teknis saja. Jika dilakukan editing layout yang lebih menarik, saya
rasa buku ini layak masuk dalam sekolah-sekolah sebagai media alternatif
pengenalan wayang. Apalagi mengingat gaung wayang kini makin hilang oleh
pembaharu-pembaharu zaman bukan?
5 komentar:
Pinjam lah mbk, kalpika91@gmail.com
Pinjam lah mbk, kalpika91@gmail.com
boleh.. sila mampir :)
Kak maaf mau nanya nih hehe itu satu buku ada berapa episode ya? Terima kasih sebelumnya :)
Posting Komentar