Selasa, 03 Juli 2012

Terdiam

 
source picture

Malam ini langit tampak indah sekali. Berhiaskan dengan ribuan bintang yang tersebar merata menemani sang bulan malam ini. Sunyi sepi, inilah yang kurasakan saat ini, hanya desiran jangkrik yang terus berdesir tak berhenti. Lolongan anjing kampung sesekali terdengar dari arah kejauhan, itu sudah biasa bagiku. Dingin menghinggapi tubuhku, memaksaku menyelimutinya dengan selembar kain penghagat. Malam belum begitu larut, sirine kereta dari arah stasiun sana memangkas kesunyian malam. 

Aku masih terduduk, melarutkan diriku dalam lamunan. Beberapa saat lalu aku baru saja mendapatkan pesan singkat, dari seorang teman lamaku di SMA dulu. Dia hanya bertegur sapa dan memberikan kabar. Namanya Vito,  lelaki bertubuh kurus, sedikit lebih tinggi dari aku, dan memiliki suara khas. Dulu aku pernah mengidolakannya, berdebat dengan temanku. Mereka tak memahami mengapa aku bisa begitu mengidolakannya? Secara kasat mata dia adalah lelaki biasa, diluar sana masih banyak teman lelaki yang jauuh lebih pantas untuk diidolakan ketimbang seorang Vito.

Entah apa dan mengapa aku bisa menaruh hati dengannya. Awalnya aku hanya menyimpannya untukku sendiri. Namun ternyata terbukti bahwa sepandai pandai tupai melompat akhirnya jatuh juga. Sepandai pandai aku menyembunyikan rasaku padanya toh pada akhirnya akan ketahuan juga. Bermula dari buku diaryku yang tertinggal dilaci mejaku, tak sengaja ditemukan oleh Liyana, sahabat karibku sejak aku masuk SMA ini. Untung saja ditemukan Liana, andaiakan oleh yang lain tamatlah sudah riwayatku.

Pada akhirnya mengakulah aku pada Liyana tentang apa yang selama ini aku rasakan dengan Vito. Setiap ada kesempatan, selaluu saja yang kuceritakan kepadanya adalah tentang Vito. Entah dia sudah bosan atau berpura pura mau mendengarkan. Namun aku tetap bercerita dengannya. Hingga suatu ketika...

Ternyata tak hanya aku yang menaruh hati dengannya, bintang kelasku pun juga menaruh hati padanya, Sarah namanya, dan itu melebihiku. Ia begitu berani menunjukkan perasaannya pada Vito. Aku selalu mengamati gerak geriknya, yah memang tak perlu akau tanyakan pada Sarah, itu memang sudah sangat jelas. Setiap pelajaran olah raga, selalu tak lupa Sarah membawakan minum untuk Vito, tiap bel istirahat berbunyi Sarah selalu menggandeng Vito untuk makan bareng, tiap menuju lab mereka selalu pergi bersama, tiap ada pr pasti mereka ngerjain bareng.

Melihatnya aku hanya bisa menangis berlinangan dihadapan sahabatku, Liyana.
“aku nggak kuat lihat ini Li, hatiku sakiitt”
“udahlah Mel, jangan cengeng. Kita kan juga nggak tau gimana perasaan Vito ke Sarah, mungkin dia cuma nganggep temen. Udah, kamu harus kuat, dijalani aja, semoga nanti Tuhan memberi jalan terbaik”
“daripada terus terusan begini, mending aku mundur aja deh Li, sebelum semuanya semakin parah. Toh aku juga belum terlalu dalem sayang sama Vito”
“perasaan itu dikendalikan oleh hati, bukan oleh kehendak kita. Aku nggak yakin deh kalo kamu bisa nglupain Vito”
“entahlah Li, aku ingin menyudahinya sampe disini aja. Entah nanti kedepannya gimana, tapi aku coba untuk mencukupkan sampe disini”
...

Aku mencoba melepas seluruh rasa yang cukup lama tersimpan ini, perlahan aku coba menghilangkan bayangannya. Aku ingin melepasnya. Namun ternyata ini tak semudah yang aku kira. Sikapku ternyata terlalu kaku. Aku menjadi begitu judes dengan Vito. Aku bahkan jarang berbicara dengannya, kalo nggak penting penting banget aku nggak bakal ngomong ke dia. Melihat wajahnya pun membuatku malas. Entah apakah sikapku ini disadarinya atau tidak, aku tak peduli.

Sang waktu kian berlalu, namun ternyata apa yang Liyana katakan benar adanya. Aku tak bisa membohongi diriku bahwa aku masih sayang Vito. Mungkin selama ini aku terlalu berpura pura untuk mengatakan tidak, namun nyatanya iya.

Pagi itu mendung datang merayap seakan melarangku untuk keluar. Memang bukan hari sekolah, hari itu hari minggu. Minggu yang kelabu. Baru selesai aku mandi pagi, aku dikejutkan oleh kedatangan Liyana. Tak biasanya dia dateng sepagi ini. Aku sedikit curiga ada apa gerangan yang membuatnya datang kesini pagi pagi begini. Ternyata benar, Liyana membawa kabar buruk.

“Mel, Vito... Mel, Vitooo”
“iyaa, ada apa dengan Vito Li??”
“Vito di ICU sekarang, asmanya kambuh Mel, paraaahh banget”
“apa??? Vito di ICU?? Ya Tuhaann, beri keselamatan Vito, selamatkan dia Tuhaan”
“ayoo sekarang kita kesana Mel??”
“iyaaa, aku pamit dulu sama mama”
“ma, Amel ijin ke rumah sakit dulu, temen Amel masuk ICU, assalamualakum”
...

Diperjalanan pun aku semakin tak tenang, membayangkan yang tidak tidak. Aku hanya bisa berdoa, semoga Vito diberi keselamatan. Tak sepatah kata pun terucap. Roda empat yang membawa kami ke rumah sakit pun terasa sunyi. Ingin rasanya segera sampai kesana, melihat keadaan Vito, memastikan dirinya, apakah baik-baik saja, waktu seakan enggan berpijak, terasaa begituu lama.

Sesampainya di rumah sakit, segera aku menuju ruang ICU, mencari cari namanya namun belum kutemukan juga
“dia udah dipindahin di ruang perawatan Mel” Liyana memberitahuku, menarik lenganku.
Aku terdiam mengikutinya.
“dia disini Mel” Liyana menunjuk salah satu ruang, ruang Mawar 3A.
Aku sedikit gugup, aku menghela napas panjang, kukeluarkan perlahan, menata hati untuk kemungkinan yang akan terjadi. Perlahan kutarik gagang pintu kamarnya, dan ternyataa...
Air mataku tiba tiba menetes dan menjadi deras, kuurungkan niatku untuk masuk. Kututup gagang pintu kamarnya. Aku berlariii menjauh dari situ, kedua tanganku pun bergantian mengusap tetesan air mata ini. Tangisku tersedu sedu, hingga aku berhenti. Liyana mengejarku, menanyakan apa yang terjadi, namun aku tak kuasa menjawabnya. kupeluk dekapan erat sahabatku itu, aku menangis dalam peluknya.
“apa yang terjadi Mel?? Ceritaa, kenapa kamu nangiss?? Kenapa Mel??”
Tak segera kujawab pertanyaan sahabatku ini, aku berusaha meredam tangisku. Kutariik napas panjang
“Sarah ada disana Li, diruang tadi. Ada papa mama Vito juga. Sarah nyuapin Vito Li, sepertinya dia udah bisa ngambil hati Vito dan keluarganya, bedaa banget Li sama akuu” jelasku pada Liyana dengan tersenggal senggal
Liyana juga tak bisa berkata apa apa, dia hanya bisa memelukku kian eratnya
“sabar ya Mel”
...

 Setelah kejadian kelabu itu, tiap hari Sarah selalu mampir ke rumah sakit, untuk apa lagi kalo bukan untuk nengok Vito. Aku hanya sesekali datang kesana, itu pun bareng bareng dengan rombongan teman teman, mana beranilah aku sendiri. Melihat keadaan Vito yang kian membaik, menjadikan aku lega. Meski di dalam hatiku terasa sakit, namun melihat dia membaik itu sudah cukup.

Aku merenung, merenungkan pemberian fitrah dari Tuhan berupa cinta. Mengapa begitu berat aku mencintainya, cobaan ini terlampau sulit untukku. Apakah aku bisa melaluinya. Melihat aku adalah gadis biasa yang tidak menonjol dengan kelebihan, aku berasal dari keluarga yang pas pasan, ayahku sudah meninggal sejak aku kelas lima SD, apakah mungkin dengan keadaan ini Vito dapat menerimaku.

Akupun tak secantik Sarah, dia cerdas, mudah bergaul, supel, smart, banyak lelaki yang mengidolakan dia, namun entah mengapa Sarah justru memilih Vito. Dia sudah start lebih awal, dia  udah kenal dulu dengan Vito, akrab dengan keluarganya juga, sedangkan aku. Apakah mungkin Vito bisa nerima aku.

Hmm, biarlah rasa ini aku Liyana dan Tuhan yang tau, andaikan kita berjodoh pastilah kita akan didekatkan. Aku mengenal Vito sebagai lelaki baik, dia nggak neko neko, dia sopan, nggak seperti lelaki pada umumnya. Jika nanti pada akhirnya Vito memang bukan jodohku, aku yakin dia pasti mendapatkan wanita yang jauuh lebih baik daripada aku, dan wanita itu adalah wanita yang paling beruntung.

Andaikan aku diijinkan bicara, andaikan angin bisa mengirim pesan indah, ingin kukatakan bahwa disini ada gadis yang begitu mencintainya, yang begitu berharap akan kehadiranya, gadis yang telah lama menunggu suatu kepastian, entah akan berakhir sampai kapan. Namun aku hanya tetap terdiam, karena aku tak cukup berani, karena aku adalah wanita.

Perlahan namun pasti, aku mulai mengubur perasaan ini dalam dalam, aku tak ingin ini kembali lagi mempermainkan rasaku, cukuplah sudah sampai disini. Aku hanya bisa mendoakanyang terbaik untuk dia, semoga dengan siapa kelak jodohnya, pastilah itu yang terbaik.

1 komentar:

Meika Wulandari mengatakan...

meh ceritanya melow banget..jadi pengin nangisBu jat..:(