Senin, 09 Maret 2015

Dibalik Kampus Fiksi #2


Ini adalah tulisan kedua dari "Dibalik Kampus Fiksi". Bagi yang belum baca bagian pertama, klik disini.

...
Memulihkan hati yang naskahnya udah keseringan ditolak itu emang enggak mudah. Salah satu caranya bisa dengan membaca buku. Itulah jalan yang saya pilih. Awalnya seneng banget bisa hunting dari satu tobuk ke tobuk lain, hunting diskon, tapi lama kelamaan dompet saya menjerit. Oke, oke. Kita ganti haluan. Pinjem aja kali ya?

Sejak itu, saya jadi semakin awas mencari temen-temen yang punya koleksi novel. Tanpa basi-basi eh basa-basi, langsung saja saya todong buat minjemi. Senengnya jadi preman buku! Hihihi. Nah mulai dari situ, saya mulai kesetanan. Sehari nggak baca buku itu rasanya gatel. Nggak nyaman. Bahkan pernah dalam seminggu bisa khatam kurang lebih empat novel. Yah begitulah rasanya kalau kita udah demen ama sesuatu. 

Bermula dari situ pulalah saya mulai belajar diksi, alur cerita, konflik, pokoknya bagaimana si penulis menyampaikan ceritanyalah. Mempelajari banyak aliran menulis, style kepenulisan, dan tetek bengek lainnya. Menjadi pembaca sekaligus pengamat, begitulah.

Selain hunting buku, saya juga ikutan berbagai event maupun seminar kepenulisan baik yang berbayar maupun free. Banyak banget hal-hal baru yang saya dapet, misal tentang pentingnya mengendapkan naskah, self editing, dan lainnya. Wow, ternyata selama ini pengetahuan saya masih jongkok banget. Pantes aja!

Merasa suasana hati sudah berangsur membaik, saya kembali lagi menggauli dunia kepenulisan. Slow aja, nggak perlu maksa. Alhamdulillah, emang kerja keras itu selalu berbanding lurus dengan hasil. Tulisan saya masuk sepuluh besar sebuah lomba menulis yang diadakan Pena Nusantara. Butuh diseleksi lima besar lagi buat bisa naik cetak. Hei, ini penerbit mayor! Seluruh Indonesia bakal bisa membaca tulisanku. Aih, senengnya!

Berusaha dan meminta sudah menjadi kewajiban setiap insan manusia, namun keputusan tetaplah menjadi wewenang-Nya. Impian yang hanya tinggal satu langkah lagi itu akhirnya masih belum bisa menjadi kenyataan. Naskah saya gagal tembus lima besar. Hohoho. Ngelus dada, sabar!

Meski begitu, saya nggak kecewa-kecewa banget. Ini event tingkat nasional dan berhasil masuk sepuluh besar itu menurutku cukup keren. Menghibur diri sendiri! Hehe. Saya semakin tertantang untuk menaklukkan pertarungan demi pertarungan lainnya. Tsah!

Singkat cerita, saya dipertemukan kembali dengan DivaPress melalui pembukaan seleksi Kampus Fiksi Reguler untuk angkatan 14 dst. Sayangnya, saat itu perhatian saya terpecah dengan tugas akhir (penyusunan proposal KTI) yang notabene hanya dikasi waktu satu bulan, ngooohaaa! Alhasil, saya baru bisa membuat cerpen H-3. Seleksi Kampus Fiksi adalah event penting, salah satu jalan yang bisa mewujudkan mimpi untuk menerbitkan buku, jadi saya tidak boleh menyia-nyiakannya!

Dari beberapa event kepenulisan yang saya ikuti, selalu disampaikan bahwa pembuka naskah adalah pertaruhan, sajikan secara berbeda. Oke, akan saya coba. Berikut sekelumit tips dan trik lainnya juga tak lupa saya terapkan. Selesai. Waktunya mengendapkan. Oke, sekarang self editting. Done. Send.

Usai mengirim, rasanya campur aduk. Puas, was-was, ah yang jelas masih cukup trauma dengan penolakan. Tapi, saya teringat dengan ilmu ikhlas yang diajarkan guru saya dulu. ‘Gunakan ikhlas setiap kamu menemui kesulitan.’ Jadi begini ...

Ikhlas adalah saat ketika apa yang ada dihadapan kamu sudah bukan menjadi urusanmu. Gini, saat naskah itu belum saya kirim, itu sepenuhnya masih menjadi urusan saya. Saya perlu melakukan riset, edit, pokoknya segala hal yang masih bisa saya usahakan demi untuk memaksimalkan karya. Paham? Nah, setelah naskah itu saya send, jelas-jelas saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Maka, satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah menyerahkan sepenuhnya segala keputusan hanya kepada-Nya. Mau diterima atau ditolak itu sudah bukan urusan saya lagi. Saya sama sekali tidak memikirkan itu. Bahkan, saya tidak berdoa agar naskah saya diterima. Bener-bener lepas. Sepenuhnya saya serahkan pada keputusan-Nya.

Itulah yang saya maksud dengan ilmu ikhlas. Perlu diasah memang. Kalau udah terbiasa, hidup bakal kerasa enteng! Yakin! Saya juga masih belajar membiasakan ikhlas. Ikhlas itu keren. Sumpah!

Source Picture
Awal Maret menjadi waktu yang cukup bersejarah bagi saya. Secara tidak sengaja, saya membuka facebook dan mendapati DivaPress mengunggah link pengumuman seleksi Kampus Fiksi (sebenernya itu link udah diunggah siang hari kemarin, tapi lagi-lagi saya kan kudet, hehe).

Deg! Batin saya berdesir. Memori penolakan mendadak tersibak. Harap-harap cemas. Mata saya jelalatan menyimak satu persatu nama yang terpampang di situ. Hampir lewat setengah halaman, nama saya tak kunjung muncul. Saya mulai lemas. Otak, wajah, dan seluruh tubuh saya mendadak terasa panas.

‘Yah, sepertinya masih belum rejeki,’ begitu ujar saya dan sepersekian detik kemudian tampaklah deretan nama saya berikut judul cerpen yang saya ajukan, dan tulisan angkatan 23. Spechles! Itu yang saya rasakan beberapa saat. Sontak saya lalu sujud syukur, nangis. Saya tidak tau apa yang harus saya lakukan selain itu. I really.. really don’t belief! OH GOD, THANKYOU!

Begitulah secuplik kisah saya di balik perjuangan Kampus Fiksi. Saya sepenuhnya sadar apa yang saya miliki saat ini masih belum apa-apa. Saya masih perlu baaanyaak belajar. Namun, saya bersyukur setidaknya telah dekat satu langkah dengan impian untuk bisa menerbitkan buku. 

Percayalah, nggak ada sesuatu yang indah dari sebuah proses yang instan. Hargai dan nikmati setiap detik usaha-usaha kita. Semoga tulisan ini bisa memberi tambahan motivasi bahwa apa pun bisa kita raih asal berusaha dan berusaha. Yakini, aku dan kamu pasti bisa!

Salam,

@jatisetya

0 komentar: