Ini adalah tulisan kedua dari "Dibalik Kampus Fiksi". Bagi yang belum baca bagian pertama, klik disini.
...
Memulihkan hati
yang naskahnya udah keseringan ditolak itu emang enggak mudah. Salah satu
caranya bisa dengan membaca buku. Itulah jalan yang saya pilih. Awalnya seneng
banget bisa hunting dari satu tobuk
ke tobuk lain, hunting diskon, tapi
lama kelamaan dompet saya menjerit. Oke, oke. Kita ganti haluan. Pinjem aja kali
ya?
Sejak itu, saya
jadi semakin awas mencari temen-temen yang punya koleksi novel. Tanpa basi-basi
eh basa-basi, langsung saja saya
todong buat minjemi. Senengnya jadi preman buku! Hihihi. Nah mulai dari situ,
saya mulai kesetanan. Sehari nggak baca buku itu rasanya gatel. Nggak nyaman.
Bahkan pernah dalam seminggu bisa khatam kurang lebih empat novel. Yah
begitulah rasanya kalau kita udah demen
ama sesuatu.
Bermula dari
situ pulalah saya mulai belajar diksi, alur cerita, konflik, pokoknya bagaimana
si penulis menyampaikan ceritanyalah. Mempelajari banyak aliran menulis, style kepenulisan, dan tetek bengek lainnya. Menjadi pembaca
sekaligus pengamat, begitulah.
Selain hunting
buku, saya juga ikutan berbagai event maupun seminar kepenulisan baik yang berbayar
maupun free. Banyak banget hal-hal
baru yang saya dapet, misal tentang pentingnya mengendapkan naskah, self editing, dan lainnya. Wow, ternyata
selama ini pengetahuan saya masih jongkok banget. Pantes aja!
Merasa suasana
hati sudah berangsur membaik, saya kembali lagi menggauli dunia kepenulisan. Slow aja, nggak perlu maksa.
Alhamdulillah, emang kerja keras itu selalu berbanding lurus dengan hasil.
Tulisan saya masuk sepuluh besar sebuah lomba menulis yang diadakan Pena
Nusantara. Butuh diseleksi lima besar lagi buat bisa naik cetak. Hei, ini penerbit mayor! Seluruh
Indonesia bakal bisa membaca tulisanku. Aih,
senengnya!
Berusaha dan
meminta sudah menjadi kewajiban setiap insan manusia, namun keputusan tetaplah
menjadi wewenang-Nya. Impian yang hanya tinggal satu langkah lagi itu akhirnya masih belum bisa menjadi kenyataan. Naskah saya gagal tembus lima besar. Hohoho. Ngelus dada, sabar!
Meski begitu,
saya nggak kecewa-kecewa banget. Ini event tingkat nasional dan berhasil masuk
sepuluh besar itu menurutku cukup keren. Menghibur diri sendiri! Hehe. Saya semakin
tertantang untuk menaklukkan pertarungan demi pertarungan lainnya. Tsah!
Singkat cerita, saya
dipertemukan kembali dengan DivaPress melalui pembukaan seleksi Kampus Fiksi
Reguler untuk angkatan 14 dst. Sayangnya, saat itu perhatian saya terpecah
dengan tugas akhir (penyusunan proposal KTI) yang notabene hanya dikasi waktu
satu bulan, ngooohaaa! Alhasil, saya
baru bisa membuat cerpen H-3. Seleksi Kampus Fiksi adalah event penting, salah
satu jalan yang bisa mewujudkan mimpi untuk menerbitkan buku, jadi saya tidak
boleh menyia-nyiakannya!
Dari beberapa
event kepenulisan yang saya ikuti, selalu disampaikan bahwa pembuka naskah
adalah pertaruhan, sajikan secara berbeda. Oke, akan saya coba. Berikut sekelumit
tips dan trik lainnya juga tak lupa saya terapkan. Selesai. Waktunya mengendapkan.
Oke, sekarang self editting. Done. Send.
Usai mengirim,
rasanya campur aduk. Puas, was-was, ah
yang jelas masih cukup trauma dengan penolakan. Tapi, saya teringat dengan ilmu
ikhlas yang diajarkan guru saya dulu. ‘Gunakan
ikhlas setiap kamu menemui kesulitan.’ Jadi begini ...
Ikhlas adalah
saat ketika apa yang ada dihadapan kamu sudah bukan menjadi urusanmu. Gini,
saat naskah itu belum saya kirim, itu sepenuhnya masih menjadi urusan saya. Saya
perlu melakukan riset, edit, pokoknya segala hal yang masih bisa saya usahakan demi
untuk memaksimalkan karya. Paham? Nah, setelah naskah itu saya send, jelas-jelas saya sudah tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Maka, satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah
menyerahkan sepenuhnya segala keputusan hanya kepada-Nya. Mau diterima atau
ditolak itu sudah bukan urusan saya lagi. Saya sama sekali tidak memikirkan itu.
Bahkan, saya tidak berdoa agar naskah saya diterima. Bener-bener lepas. Sepenuhnya
saya serahkan pada keputusan-Nya.
Itulah yang saya
maksud dengan ilmu ikhlas. Perlu diasah memang. Kalau udah terbiasa, hidup
bakal kerasa enteng! Yakin! Saya juga masih belajar membiasakan ikhlas. Ikhlas
itu keren. Sumpah!
Source Picture |
Awal Maret
menjadi waktu yang cukup bersejarah bagi saya. Secara tidak sengaja, saya
membuka facebook dan mendapati DivaPress
mengunggah link pengumuman seleksi Kampus Fiksi (sebenernya itu link udah
diunggah siang hari kemarin, tapi lagi-lagi saya kan kudet, hehe).
Deg! Batin saya berdesir. Memori penolakan
mendadak tersibak. Harap-harap cemas. Mata saya jelalatan menyimak satu persatu
nama yang terpampang di situ. Hampir lewat setengah halaman, nama saya tak kunjung
muncul. Saya mulai lemas. Otak, wajah, dan seluruh tubuh saya mendadak terasa
panas.
‘Yah, sepertinya masih belum rejeki,’
begitu ujar saya dan sepersekian detik kemudian tampaklah deretan nama saya
berikut judul cerpen yang saya ajukan, dan tulisan angkatan 23. Spechles! Itu yang saya rasakan beberapa
saat. Sontak saya lalu sujud syukur, nangis. Saya tidak tau apa yang harus saya
lakukan selain itu. I really.. really don’t
belief! OH GOD, THANKYOU!
Begitulah secuplik
kisah saya di balik perjuangan Kampus Fiksi. Saya sepenuhnya sadar apa yang
saya miliki saat ini masih belum apa-apa. Saya masih perlu baaanyaak belajar. Namun,
saya bersyukur setidaknya telah dekat satu langkah dengan impian untuk bisa menerbitkan
buku.
Percayalah, nggak ada sesuatu yang indah dari sebuah proses yang instan. Hargai dan nikmati setiap detik usaha-usaha kita. Semoga tulisan ini bisa memberi tambahan motivasi bahwa apa pun bisa kita raih asal berusaha dan berusaha. Yakini, aku dan kamu pasti bisa!
Percayalah, nggak ada sesuatu yang indah dari sebuah proses yang instan. Hargai dan nikmati setiap detik usaha-usaha kita. Semoga tulisan ini bisa memberi tambahan motivasi bahwa apa pun bisa kita raih asal berusaha dan berusaha. Yakini, aku dan kamu pasti bisa!
Salam,
@jatisetya
0 komentar:
Posting Komentar