Membidik
dari balik layar tujuh inchi sebuah gadget lalu menangkap siluet dari berbagai angle view instagrammu adalah
rutinitasku sekarang. Aku perlu mengendap-endap bahkan menahan nafas, takut engkau
justru bersembunyi dari bidik lensaku. Aku pun memaksa diri untuk bertahan
mengintai segala ruang gerakmu hari ini dan entah sampai kapan melalui dimensi
facebook, twitter, BBM, path, hmmm, segalanya. Semua hanya untuk sekedar ‘menjumpaimu’
hari ini.
Setelah
puas mengusik sedikit duniamu, kulanjutkan hariku dengan menjalaninya tanpa
khawatir, tanpa ragu, dan penuh ceria. Pagi ini aku akan bertemu dengan mata
kuliah paling tidak disukai sepanjang sejarah kehidupan mahasiswa. Mata kuliah
yang sering membuat mahasiswa gagal memakai selempang cumlaude di hari wisudanya. Ya, kalkulus.
Dosen
pengampunya pun tak jauh berbeda, killer,
kejam, penuh perhitungan, begitu dermawan memberikan nilai D bahkan E,
begitulah kabar yang mewarnainya. Aku tak sepenuhnya setuju. Bagaimanapun, aku
berutang terimakasih padanya. Beliaulah yang mempertemukanku denganmu. Kau
dipilih menjadi asistennya. Karena beliaulah, engkau bisa berdiri di depan
kelas ini, membiarkan mataku menelanjangimu sesuka hati, membiarkanku semakin
jauh terseret dalam pusaran kharismamu.
Engkau
jelas berbeda dengan beliau, lembut, penuh sabar, begitu memahami setiap
jengkal kesulitan mahasiswa. Engkau supel namun tak pernah lupa identitas.
Selalu membuka tangan kepada siapa pun yang datang. Engkau begitu bersahaja
dalam setiap laku. Ucapmu bagai mantra penghidup semangat setiap pendengarnya,
membuat jiwa-jiwa yang hidup berlekas diri untuk menuntaskan segala mimpinya.
Itulah
sedikit dari banyak hal yang membuatku berat untuk tidak jatuh cinta padamu.
Sejak pertama aku sepenuhnya sadar, engkau berbeda. Begitu spesial. Engkau
mampu meluluhkan dosen yang tak kusangka bisa diluluhkan. Ada apa dalam dirimu?
Sebuah tanya yang hingga detik ini membuat rasa penasaranku kian tak terbendung
dan aku berjanji akan segera menemukan jawabnya.
Usai
menghabiskan beberapa jam bersamamu, aku menuju tempat yang biasa kau tuju
juga. Masjid kampus. Di tempat inilah auramu melesat berkali-kali lipat dan aku
semakin suka. Aku kian luluh menyaksikan khasanah ilmu yang kau bagikan percuma
dalam kelompok tarbiyahmu[1]. Bagaimana aku tidak jatuh cinta?
Bersamamu, dunia dan akhirat dalam genggaman. Engkau memang spesial. Sungguh.
Oh
ya, masih ingatkah engkau dengan interaksi pertama kita? Saat aku mengumpulkan
tugas praktikum? Kau ingat? Sepertinya tidak, atau justru engkau tidak pernah
tau aku ada di dunia ini? Baiklah, tak mengapa. Mungkin sebaiknya memang
begitu. Sekarang ijinkan aku menceritakannya, sedikit saja, mungkin kau ingat.
Akulah
mahasiswa yang selalu mengumpulkan tugas praktikum pada jam, menit, dan
detik-detik terakhir. Akulah yang saat itu banjir keringat hanya karena
mengumpulkan segenap nyali untuk bisa melangkah mendekatimu. Genderang jantung yang
sudah bertalu-talu sejak tadi mengiringi hembusan nafas yang kian tak berirama.
Tepat didepanmu, aku hanya bisa menyerahkan beberapa helai kertas. Diam. Menatapmu
dalam jarak sedekat itu, membuatku tak kuasa banyak bertingkah. Aku memilih
segera berlalu. Tapi aku mendengar kau bersuara. Iya, kau. Seperti biasa, penuh
dengan keramahan, keterbukaan. Sungguh, aku begitu bahagia mendengar suaramu
dalam jarak sedekat itu.
“Ada
kesulitan nggak dek?” itu kalimat pertamamu padaku. Kau ingat?
Aku
hanya diam. Seluruh pancaindra mendadak mati. Menjawabmu rasanya tidak mungkin,
lidahku kelu. Sekedar menggeleng rasanya juga tidak mungkin, seluruh urat
syarafku lumpuh. Aku memilih pergi, menyisakan tanda tanya dalam hatimu.
Sebatas
itulah komunikasi antara kau dan aku, bahkan hingga detik ini. Jujur, aku begitu
ingin berbincang denganmu walau hanya untuk sekedar menyapa, ‘selamat pagi kak?’. Sayangnya, aku tak
pernah bisa. Sejauh ini, aku hanya bisa menatap iri saat teman-teman berguru
ilmu padamu, berdiskusi seru, bercengkrama bebas. Sungguh aku ingin! Namun, nyaliku
terasa tiada pernah cukup.
Sore
beranjak petang, itulah waktu yang biasa mengantarmu pulang. Semoga matahari
sore ini dapat mejadi penghibur harimu yang lelah. Sebelum mataku terpejam,
selalu kusempatkan untuk memastikan keadanmu baik di sana. Aku tak peduli
dengan kekurangkerjaan yang kulakukan ini. Bagiku, kau seperti morfin, semakin
kuhirup semakin memberikan tenang.
Entah
ini sudah hari keberapa aku menjadi secret
follower-mu, hanya saja kali ini aku merasa ganjil. Aku mendapatimu
berbeda. Apakah engkau sedang jatuh cinta? Syair indah dalam statusmu begitu
jelas mengungkapkan segenap kidung hatimu. Engkau mencintai seorang gadis bukan?
Ya, tentu itu bukan aku.
Kau
ingin tau perasaanku saat itu? Aku marah, sakit, dan begitu kecewa. Tak perlu kututupi
karena memang begitulah rasanya. Terasa begitu sia-sia apa yang kulakukan
selama ini. Tak bisa kugambarkan bagaimana rasa sakit itu. Tak perlu
kugambarkan dan tak perlu kau rasakan. Cukup aku saja.
***
Oksigen
tetap memberiku nafas, cahaya tetap memberiku terang, langit pun tetap
memberiku cerah. Sungguh, dunia tidak berubah, tapi ada apa denganku? Kudapati
sebuah ruang jauuh di sana yang kian terasa kosong. Kuharap waktulah yang akan
mendamaikan perasaanku, tapi nyatanya tidak. Ia justru kian menjauh tak
bergeming. Sudahlah, cukup! Mungkin ini saat bagiku untuk belajar hakikat
mencintai. Memaknai mahakarya Tuhan itu dengan sakral, tulus, dan indah. Akan
kucoba.
Waktu
berhasil mengantarku pada sebuah titik ketika jiwa ini melebur dengan sebuah
pemaknaan bahwa mencintai adalah untuk melepaskan. Seperti sebuah keindahan
yang berlapis pengorbanan, begitulah. Jika memang nantinya ada gadis yang jauh
lebih baik dan lebih pantas untuk mendapatkanmu, mengapa tidak? Jika engkau kelak
ditakdirkan untukku, sudah pasti aku bahagia. Doaku setiap hari pun tak lepas
dari itu. Namun kau harus meyakini satu hal, engkau adalah lelaki baik, engkau pasti
ditakdirkan untuk mendapatkan gadis baik. Itu saja.
Akhirnya
kuputuskan untuk tetap setia menjadi secret
follower-mu. Rasa sakit yang dulu ada, telah kusudahi. Akan kupastikan
gadis yang kelak kau dapatkan adalah dia yang memang layak untuk bisa
bersanding denganmu. Mencintai untuk melepaskan itu sungguh luar biasa indah
meski sepenuhnya kusadari, pengorbananlah yang membuatnya terasa indah. Bukankah
melihat orang yang kita cintai tidak bahagia akan terasa menyakitkan? Dan aku
memilih begini. Memilihmu bahagia.
Wahai
engkau, bukankah indah caraku mencintaimu?
[1] Kegiatan
yang mencakup pengembangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian
ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan, dan perasaan memiliki
terhadap orang lain.
0 komentar:
Posting Komentar