Rabu, 04 Maret 2015

Secret Follower

Membidik dari balik layar tujuh inchi sebuah gadget lalu menangkap siluet dari berbagai angle view instagrammu adalah rutinitasku sekarang. Aku perlu mengendap-endap bahkan menahan nafas, takut engkau justru bersembunyi dari bidik lensaku. Aku pun memaksa diri untuk bertahan mengintai segala ruang gerakmu hari ini dan entah sampai kapan melalui dimensi facebook, twitter, BBM, path, hmmm, segalanya. Semua hanya untuk sekedar ‘menjumpaimu’ hari ini.
Setelah puas mengusik sedikit duniamu, kulanjutkan hariku dengan menjalaninya tanpa khawatir, tanpa ragu, dan penuh ceria. Pagi ini aku akan bertemu dengan mata kuliah paling tidak disukai sepanjang sejarah kehidupan mahasiswa. Mata kuliah yang sering membuat mahasiswa gagal memakai selempang cumlaude di hari wisudanya. Ya, kalkulus.
Dosen pengampunya pun tak jauh berbeda, killer, kejam, penuh perhitungan, begitu dermawan memberikan nilai D bahkan E, begitulah kabar yang mewarnainya. Aku tak sepenuhnya setuju. Bagaimanapun, aku berutang terimakasih padanya. Beliaulah yang mempertemukanku denganmu. Kau dipilih menjadi asistennya. Karena beliaulah, engkau bisa berdiri di depan kelas ini, membiarkan mataku menelanjangimu sesuka hati, membiarkanku semakin jauh terseret dalam pusaran kharismamu.
Engkau jelas berbeda dengan beliau, lembut, penuh sabar, begitu memahami setiap jengkal kesulitan mahasiswa. Engkau supel namun tak pernah lupa identitas. Selalu membuka tangan kepada siapa pun yang datang. Engkau begitu bersahaja dalam setiap laku. Ucapmu bagai mantra penghidup semangat setiap pendengarnya, membuat jiwa-jiwa yang hidup berlekas diri untuk menuntaskan segala mimpinya.
Itulah sedikit dari banyak hal yang membuatku berat untuk tidak jatuh cinta padamu. Sejak pertama aku sepenuhnya sadar, engkau berbeda. Begitu spesial. Engkau mampu meluluhkan dosen yang tak kusangka bisa diluluhkan. Ada apa dalam dirimu? Sebuah tanya yang hingga detik ini membuat rasa penasaranku kian tak terbendung dan aku berjanji akan segera menemukan jawabnya.
Usai menghabiskan beberapa jam bersamamu, aku menuju tempat yang biasa kau tuju juga. Masjid kampus. Di tempat inilah auramu melesat berkali-kali lipat dan aku semakin suka. Aku kian luluh menyaksikan khasanah ilmu yang kau bagikan percuma dalam kelompok tarbiyahmu[1]. Bagaimana aku tidak jatuh cinta? Bersamamu, dunia dan akhirat dalam genggaman. Engkau memang spesial. Sungguh.
Oh ya, masih ingatkah engkau dengan interaksi pertama kita? Saat aku mengumpulkan tugas praktikum? Kau ingat? Sepertinya tidak, atau justru engkau tidak pernah tau aku ada di dunia ini? Baiklah, tak mengapa. Mungkin sebaiknya memang begitu. Sekarang ijinkan aku menceritakannya, sedikit saja, mungkin kau ingat.
Akulah mahasiswa yang selalu mengumpulkan tugas praktikum pada jam, menit, dan detik-detik terakhir. Akulah yang saat itu banjir keringat hanya karena mengumpulkan segenap nyali untuk bisa melangkah mendekatimu. Genderang jantung yang sudah bertalu-talu sejak tadi mengiringi hembusan nafas yang kian tak berirama. Tepat didepanmu, aku hanya bisa menyerahkan beberapa helai kertas. Diam. Menatapmu dalam jarak sedekat itu, membuatku tak kuasa banyak bertingkah. Aku memilih segera berlalu. Tapi aku mendengar kau bersuara. Iya, kau. Seperti biasa, penuh dengan keramahan, keterbukaan. Sungguh, aku begitu bahagia mendengar suaramu dalam jarak sedekat itu.
“Ada kesulitan nggak dek?” itu kalimat pertamamu padaku. Kau ingat?
Aku hanya diam. Seluruh pancaindra mendadak mati. Menjawabmu rasanya tidak mungkin, lidahku kelu. Sekedar menggeleng rasanya juga tidak mungkin, seluruh urat syarafku lumpuh. Aku memilih pergi, menyisakan tanda tanya dalam hatimu.
Sebatas itulah komunikasi antara kau dan aku, bahkan hingga detik ini. Jujur, aku begitu ingin berbincang denganmu walau hanya untuk sekedar menyapa, ‘selamat pagi kak?’. Sayangnya, aku tak pernah bisa. Sejauh ini, aku hanya bisa menatap iri saat teman-teman berguru ilmu padamu, berdiskusi seru, bercengkrama bebas. Sungguh aku ingin! Namun, nyaliku terasa tiada pernah cukup.
Sore beranjak petang, itulah waktu yang biasa mengantarmu pulang. Semoga matahari sore ini dapat mejadi penghibur harimu yang lelah. Sebelum mataku terpejam, selalu kusempatkan untuk memastikan keadanmu baik di sana. Aku tak peduli dengan kekurangkerjaan yang kulakukan ini. Bagiku, kau seperti morfin, semakin kuhirup semakin memberikan tenang.
Entah ini sudah hari keberapa aku menjadi secret follower-mu, hanya saja kali ini aku merasa ganjil. Aku mendapatimu berbeda. Apakah engkau sedang jatuh cinta? Syair indah dalam statusmu begitu jelas mengungkapkan segenap kidung hatimu. Engkau mencintai seorang gadis bukan? Ya, tentu itu bukan aku.
Kau ingin tau perasaanku saat itu? Aku marah, sakit, dan begitu kecewa. Tak perlu kututupi karena memang begitulah rasanya. Terasa begitu sia-sia apa yang kulakukan selama ini. Tak bisa kugambarkan bagaimana rasa sakit itu. Tak perlu kugambarkan dan tak perlu kau rasakan. Cukup aku saja.
***
Oksigen tetap memberiku nafas, cahaya tetap memberiku terang, langit pun tetap memberiku cerah. Sungguh, dunia tidak berubah, tapi ada apa denganku? Kudapati sebuah ruang jauuh di sana yang kian terasa kosong. Kuharap waktulah yang akan mendamaikan perasaanku, tapi nyatanya tidak. Ia justru kian menjauh tak bergeming. Sudahlah, cukup! Mungkin ini saat bagiku untuk belajar hakikat mencintai. Memaknai mahakarya Tuhan itu dengan sakral, tulus, dan indah. Akan kucoba.
Waktu berhasil mengantarku pada sebuah titik ketika jiwa ini melebur dengan sebuah pemaknaan bahwa mencintai adalah untuk melepaskan. Seperti sebuah keindahan yang berlapis pengorbanan, begitulah. Jika memang nantinya ada gadis yang jauh lebih baik dan lebih pantas untuk mendapatkanmu, mengapa tidak? Jika engkau kelak ditakdirkan untukku, sudah pasti aku bahagia. Doaku setiap hari pun tak lepas dari itu. Namun kau harus meyakini satu hal, engkau adalah lelaki baik, engkau pasti ditakdirkan untuk mendapatkan gadis baik. Itu saja.
Akhirnya kuputuskan untuk tetap setia menjadi secret follower-mu. Rasa sakit yang dulu ada, telah kusudahi. Akan kupastikan gadis yang kelak kau dapatkan adalah dia yang memang layak untuk bisa bersanding denganmu. Mencintai untuk melepaskan itu sungguh luar biasa indah meski sepenuhnya kusadari, pengorbananlah yang membuatnya terasa indah. Bukankah melihat orang yang kita cintai tidak bahagia akan terasa menyakitkan? Dan aku memilih begini. Memilihmu bahagia.
Wahai engkau, bukankah indah caraku mencintaimu?



[1] Kegiatan yang mencakup pengembangan, pemeliharaan, penjagaan, pengurusan, penyampaian ilmu, pemberian petunjuk, bimbingan, penyempurnaan, dan perasaan memiliki terhadap orang lain. 

0 komentar: