Minggu, 08 Maret 2015

Dibalik Kampus Fiksi #1


Kampus Fiksi? Hal yang baru saya sadari keberadaannya kurang lebih setahun silam. Tepatnya saat diumumkan bahwa pendaftaran kampus fiksi telah ditutup. Ditutup? Kapan membukanya? Baiklah, saya memang kudet.

Sebenarnya saya lebih dulu mengenal sang empunya kampus fiksi, ya DivaPress –penerbit yang selalu inovatif dan kreatif, menurut saya. Kira-kira saat itu saya masih lugu-lugunya menjadi mahasiswa baru. Itulah pula untuk pertama kalinya, saya mulai menjejakkan pena dalam dunia kepenulisan. Jangan membayangkan dunia kepenulisan terlalu liar. Bukan. Bukan seperti itu yang saya maksud. Jadi begini...

Saya mengalami sebuah turbulensi, tepatnya setelah bertemu dengan seorang dosen yang cukup mengoyak batin. Saat itu beliau menyampaikan kegelisahannya –hingga menitikkan air mata di depan puluhan mahasiswanya- tentang kondisi mahasiswa sekarang yang sudah jarang menyentuh dunia literasi bahkan untuk sekedar rutin membaca koran, itu sudah jarang terlihat. Terbukti saat beliau membuka sesi diskusi tentang isu-isu yang hangat terjadi saat itu, tidak ada satu pun diantara kami mahasiswanya yang nyambung dengannya. Melihat kejadian itu beliau tidak marah, sama sekali tidak. Hanya saja, ia sangat kecewa. Sangat. Kesedihan dalam raut wajahnya sudah cukup menjelaskan, tidak bisa ditutupi.

Selanjutnya muncullah pertanyaan-pertanyaan yang mulai membebat hati saya: Sebegitu parahkah kami yang tidak pernah membaca koran? Sebegitu payahkah kami yang tidak terbiasa menulis? Baiklah, mungkin saya terlalu sensitif atau justru kurang bisa cuek? Tapi, melihat dosen menangis di hadapan puluhan mahasiswanya gara-gara ‘baca-tulis’ bukanlah perkara biasa. Sepertinya saya memang sudah keterlaluan selama ini. Baiklah, mulai detik ini saya akan berubah. Saya akan membaca dan menulis. Apapun.

Begitulah satu dari sekian hal yang melatar belakangi saya mulai mengenal dan mengendus dunia literasi. Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan segenap informasi yang berkaitan dengan dunia tulis menulis. Atau lebih tepatnya mengumpulkan informasi tentang lomba-lomba menulis. Ternyata cukup banyak event yang bisa diikuti berkaitan dengan tulis-menulis. Itu yang membuat saya tambah bergairah.

Saking banyaknya event lomba yang saya ikuti, saya putuskan untuk membuat list lomba. Saya sajikan dalam tabel-tabel berisi jenis lomba, deadline, hingga tanggal pengumuman, tak lupa kolom keterangan yang nanti bisa diisi lolos atau tidak. Selanjutnya, list itu saya tempelkan dengan manis di kamar kos. Biar menjadi saksi atas terwujudnya mimpi-mimpi saya kelak, begitulah.

Saya cukup bersemangat saat itu. Beribu angan menggebu untuk bisa menjadikan karya saya ini menjadi juara. Namun, belum lama memulai nulis, saya menemui jalan buntu. Tulisan yang saya buat hanya mentok tiga halaman saja. Stag. Otak saya sudah tidak bisa berpikir lagi, tidak ada kata-kata untuk bisa dirangkai lagi, padahal ketentuan naskah untuk lomba minimal delapan halaman. Oh God! Give me breath!

Baiklah lupakan. Ikuti saja aturannya. Menulislah delapan halaman, tanpa perlu melihat konten tulisanmu. Itu prinsip yang saya ambil. Akhirnya, saya memang berhasil menyelesaikan karya delapan halaman itu. Cukup puas dan bangga. Namun, rupanya saat itu saya lupa bahwa di luar sana masih ada banyak penulis lain yang juga mengikuti event ini tentu dengan kemampuan yang lebih. Ya, saya terlalu over confidence, merasa karya sendiri begitu sempurna. Perfecto! Nyatanya saya salah besar!

Hari pengumuman yang tertera di list tidak pernah saya lewatkan. Dengan ketajaman mata penuh, saya membaca perlahan –juga tentunya dengan penuh pengharapan untuk menang, berharap tidak ada satu informasi pun yang terlewatkan di situs peyelanggara lomba itu.

Sudah lebih dari sekali saya membaca pengumuman lomba itu, nama saya terlewatkan? Tidak. Sepertinya memang nama saya tidak ada. Saya tidak lolos. Oiy, beginikah rasanya saat naskah yang susah payah kita ciptakan itu ditolak? Mungkin, beginilah yang dirasakan para lelaki saat sang wanita pujaan menolak cinta tulusnya. Sakit ya? Nyesek bingits!

Baiklah, setidaknya masih ada Om Mario yang terus berpidato menyemangati segenap kaum muda untuk tidak putus asa dalam kegagalannya. Saya bangkit. Akan saya buktikan itu! Ikat kepala, saya tarik lebih kencang. Fighting! 6(^0^)9

source picture
Event yang saya ikuti semakin banyak. Mata saya semakin liar menelusuri situs-situs kompetisi menulis. Yeah, i got it, DivaPress! Di sini disebutkan DivaPress setiap bulan rutin menyelenggarakan kompetisi menulis cerpen dengan tema yang ditentukan. Cerpen yang terpilih akan dibukukan dan dipajang di toko buku se-Nusantara. WOW! Ini keren! Dan saya harus ikut!

Berkaca dari pengalaman sebelumnya, untuk lomba kali ini saya mempersiapkannya dengan lebih matang. Saya mulai berbenah. Syukurlah dengan kesabaran perlahan saya mulai bisa membuat karya lebih dari tiga halaman, tentunya tanpa terpaksa. Selesai. Siap untuk dikirim dan tinggal tunggu hasilnya.

Tidak sabar melihat nama saya terpampang di situs itu sebagai kandidat yang lolos. Saya tersenyum lebar setidaknya hingga sebelum nama saya tidak kunjung ditemukan. Lebih tepatnya memang tidak ditemukan. Oh, saya tidak lolos (lagi).

Apakah lantas dunia hancur? Oh maaf, senapan semangat saya masih lebih dari cukup tersedia. Saat itu saya masih bisa tersenyum. Menyemangati diri sendiri, gagal adalah awal dari keberhasilan. Tenang! Begitu batin kecil saya berteriak. Masih ada event bulan depan lagi bukan? Rasanya tidak masalah!

Benar, saya lalu mengikuti event DivaPress selanjutnya. Dan alhamdulillah, berkat keseriusan dan kegigihan, saya kembali dinyatakan: ‘t-i-d-a-k l-o-l-o-s’. WHAT? TIDAK LOLOS? LAGI?? Ini yang keterlaluan siapa? Saya atau DivaPress? Saya kira gagal itu tidak perlu banyak-banyak, sekali saja cukup. Namun, sepertinya saya akan mengalami lebih. Apakah saya kuat bertahan?

Jika dengan usaha sekeras itu masih belum lolos juga, maka saya harus benar-benar memaksimalkan otak saya untuk berpikir, tangan saya untuk menulis, hati saya untuk membaca, semuanya. Saya memutuskan untuk tetap terus mengikuti event-event kepenulisan lainnya. Ada yang berbeda kali ini. Ternyata teman satu kelas ada yang menyukai literasi beginian juga. Dengan menggebu saya ajak dia. Finally, dia juga ikut. Masih inget banget tema yang diusung saat itu adalah tentang jomblo, haha, ini sih saya banget!

Saya cukup optimis untuk bisa lolos kali ini. Bisa dibilang, saya cukup lama menguasai tema itu, hahaha. Dan memang pada akhirnya alhamdulillah, ternyata teman saya yang justru lolos. What??? Terus saya? Saya masih meratapi nasib! Huhuhu. Jleb banget nggak sih? Temen saya yang baru sekali ikut langsung lolos, sedangkan saya? Cukup! Tidak perlu diungkit-ungkit lagi!

Dengan susah payah menahan malu, saya samperin dia lalu menjabat tangannya mengucapkan selamat. Batin saya menjerit-jerit saat itu. Bertampang sok tegar saya bilang, ‘Beb, boleh liat tulisan kamu nggak?’ Niat hati sih untuk mengukur tulisan saya seburuk apa gitu. Dan ternyata, ngooohaaa,  terpampang nyata bahwa naskah saya emang masih jauh pake banget.

Oke, oke. Seenggaknya saya sudah tau naskah tipe apa yang bisa lolos. Berkaca dari kejadian menyakitkan itu, saya lantas bangkit dengan semangat baru. Kali ini saya akan membuktikannya. Kita lihat saja!

Benar, event selanjutnya kemudian dibuka dengan tema ‘ibu’. Saya lantas mulai menulis, dengan kehati-hatian, penuh perasaan, juga memberi beberapa sentuhan akhir sebagai pemanis, akhirnya naskah itu selesai. Send. Selanjutnya hanya bisa berdoa dan berharap. Semoga Tuhan meloloskannya.

Nasib oh nasib! Kembali lagi saya harus menerima kenyataan p-a-h-i-t untuk tetap bertahan pada kesabaran karena nama saya b-e-l-u-m terpampang di situs DivaPress. Dan satu lagi yang menambah impian-impian saya terasa semakin kabur, teman saya kembali dinyatakan lolos.


T.A.M.A.T.

Source Picture

Hahahaha. Nggak sampe pake acara gantung diri juga kali ya! Oke, bercanda! Memang tidak saya pungkiri sakitnya tuh pake banget, disini! Tapi, untungnya senapan semangat saya masih belum habis. Saya ikut lagi event lainnya. Masih dari DivaPress. Singkat cerita, saat itu saya dan temen saya ikut dan alhamdulillah, kami berdua dinyatakan tidak lolos. Hahaha. Seenggaknya saya tidak malu-malu banget.

Dari situ -istilah jawanya- saya mulai mutung. Apa yang salah dengan naskah saya? Apakah saya menjadi peserta yang di-blacklist? Sepertinya DivaPress memang sengaja menolak naskah saya. Tapi atas dasar apa? Akhirnya saya memutuskan tidak ikut lagi eventnya DivaPress untuk sementara, setidaknya hingga hati saya benar-benar siap.
To be continue...

0 komentar: