Kampus Fiksi? Hal yang baru saya
sadari keberadaannya kurang lebih setahun silam. Tepatnya saat diumumkan bahwa
pendaftaran kampus fiksi telah ditutup. Ditutup? Kapan membukanya? Baiklah,
saya memang kudet.
Sebenarnya saya lebih dulu
mengenal sang empunya kampus fiksi, ya DivaPress –penerbit yang selalu inovatif
dan kreatif, menurut saya. Kira-kira saat itu saya masih lugu-lugunya
menjadi mahasiswa baru. Itulah pula untuk pertama kalinya, saya mulai menjejakkan
pena dalam dunia kepenulisan. Jangan membayangkan dunia kepenulisan terlalu
liar. Bukan. Bukan seperti itu yang saya maksud. Jadi begini...
Saya mengalami sebuah turbulensi,
tepatnya setelah bertemu dengan seorang dosen yang cukup mengoyak batin. Saat
itu beliau menyampaikan kegelisahannya –hingga menitikkan air mata di depan
puluhan mahasiswanya- tentang kondisi mahasiswa sekarang yang sudah jarang
menyentuh dunia literasi bahkan untuk sekedar rutin membaca koran, itu sudah
jarang terlihat. Terbukti saat beliau membuka sesi diskusi tentang isu-isu yang
hangat terjadi saat itu, tidak ada satu pun diantara kami mahasiswanya yang nyambung dengannya. Melihat kejadian itu
beliau tidak marah, sama sekali tidak. Hanya saja, ia sangat kecewa. Sangat. Kesedihan
dalam raut wajahnya sudah cukup menjelaskan, tidak bisa ditutupi.
Selanjutnya muncullah pertanyaan-pertanyaan
yang mulai membebat hati saya: Sebegitu parahkah kami yang tidak pernah membaca
koran? Sebegitu payahkah kami yang tidak terbiasa menulis? Baiklah, mungkin
saya terlalu sensitif atau justru kurang bisa cuek? Tapi, melihat dosen
menangis di hadapan puluhan mahasiswanya gara-gara ‘baca-tulis’ bukanlah
perkara biasa. Sepertinya saya memang sudah keterlaluan selama ini. Baiklah,
mulai detik ini saya akan berubah. Saya akan membaca dan menulis. Apapun.
Begitulah satu dari sekian hal
yang melatar belakangi saya mulai mengenal dan mengendus dunia literasi.
Langkah selanjutnya adalah mengumpulkan segenap informasi yang berkaitan dengan
dunia tulis menulis. Atau lebih tepatnya mengumpulkan informasi tentang lomba-lomba
menulis. Ternyata cukup banyak event yang bisa diikuti berkaitan dengan
tulis-menulis. Itu yang membuat saya tambah bergairah.
Saking banyaknya event lomba yang
saya ikuti, saya putuskan untuk membuat list
lomba. Saya sajikan dalam tabel-tabel berisi jenis lomba, deadline, hingga tanggal pengumuman, tak lupa kolom keterangan yang
nanti bisa diisi lolos atau tidak. Selanjutnya, list itu saya tempelkan dengan manis di kamar kos. Biar menjadi saksi
atas terwujudnya mimpi-mimpi saya kelak, begitulah.
Saya cukup bersemangat saat itu.
Beribu angan menggebu untuk bisa menjadikan karya saya ini menjadi juara. Namun,
belum lama memulai nulis, saya menemui jalan buntu. Tulisan yang saya buat hanya
mentok tiga halaman saja. Stag. Otak
saya sudah tidak bisa berpikir lagi, tidak ada kata-kata untuk bisa dirangkai
lagi, padahal ketentuan naskah untuk lomba minimal delapan halaman. Oh God! Give me breath!
Baiklah lupakan. Ikuti saja
aturannya. Menulislah delapan halaman, tanpa perlu melihat konten tulisanmu. Itu
prinsip yang saya ambil. Akhirnya, saya memang berhasil menyelesaikan karya
delapan halaman itu. Cukup puas dan bangga. Namun, rupanya saat itu saya lupa
bahwa di luar sana masih ada banyak penulis lain yang juga mengikuti event ini tentu dengan
kemampuan yang lebih. Ya, saya terlalu over
confidence, merasa karya sendiri begitu sempurna. Perfecto! Nyatanya saya
salah besar!
Hari pengumuman yang tertera di
list tidak pernah saya lewatkan. Dengan ketajaman mata penuh, saya membaca
perlahan –juga tentunya dengan penuh pengharapan untuk menang, berharap tidak
ada satu informasi pun yang terlewatkan di situs peyelanggara lomba itu.
Sudah lebih dari sekali saya
membaca pengumuman lomba itu, nama saya terlewatkan? Tidak. Sepertinya memang nama saya tidak ada. Saya
tidak lolos. Oiy, beginikah rasanya
saat naskah yang susah payah kita ciptakan itu ditolak? Mungkin, beginilah yang
dirasakan para lelaki saat sang wanita pujaan menolak cinta tulusnya. Sakit ya?
Nyesek bingits!
Baiklah, setidaknya masih ada Om
Mario yang terus berpidato menyemangati segenap kaum muda untuk tidak putus asa
dalam kegagalannya. Saya bangkit. Akan saya buktikan itu! Ikat kepala, saya tarik lebih kencang. Fighting! 6(^0^)9
source picture |
Event yang saya ikuti semakin
banyak. Mata saya semakin liar menelusuri situs-situs kompetisi menulis. Yeah, i got it, DivaPress! Di sini
disebutkan DivaPress setiap bulan rutin menyelenggarakan kompetisi menulis
cerpen dengan tema yang ditentukan. Cerpen yang terpilih akan dibukukan dan
dipajang di toko buku se-Nusantara. WOW! Ini keren! Dan saya harus ikut!
Berkaca dari pengalaman
sebelumnya, untuk lomba kali ini saya mempersiapkannya dengan lebih matang. Saya
mulai berbenah. Syukurlah dengan kesabaran perlahan saya mulai bisa membuat
karya lebih dari tiga halaman, tentunya tanpa terpaksa. Selesai. Siap untuk
dikirim dan tinggal tunggu hasilnya.
Tidak sabar melihat nama saya terpampang di situs itu sebagai kandidat yang lolos.
Saya tersenyum lebar setidaknya hingga sebelum nama saya tidak kunjung
ditemukan. Lebih tepatnya memang tidak ditemukan. Oh, saya tidak lolos (lagi).
Apakah lantas dunia hancur? Oh maaf,
senapan semangat saya masih lebih dari cukup tersedia. Saat itu saya masih bisa
tersenyum. Menyemangati diri sendiri, gagal
adalah awal dari keberhasilan. Tenang! Begitu batin kecil saya berteriak.
Masih ada event bulan depan lagi bukan? Rasanya tidak masalah!
Benar, saya lalu mengikuti event
DivaPress selanjutnya. Dan alhamdulillah, berkat keseriusan dan kegigihan, saya
kembali dinyatakan: ‘t-i-d-a-k l-o-l-o-s’. WHAT? TIDAK LOLOS? LAGI?? Ini yang
keterlaluan siapa? Saya atau DivaPress? Saya kira gagal itu tidak perlu
banyak-banyak, sekali saja cukup. Namun, sepertinya saya akan mengalami lebih. Apakah
saya kuat bertahan?
Jika dengan usaha sekeras itu masih
belum lolos juga, maka saya harus benar-benar memaksimalkan otak saya untuk
berpikir, tangan saya untuk menulis, hati saya untuk membaca, semuanya. Saya memutuskan
untuk tetap terus mengikuti event-event kepenulisan lainnya. Ada yang berbeda
kali ini. Ternyata teman satu kelas ada yang menyukai literasi beginian juga. Dengan
menggebu saya ajak dia. Finally, dia
juga ikut. Masih inget banget tema yang diusung saat itu adalah tentang jomblo,
haha, ini sih saya banget!
Saya cukup optimis untuk bisa
lolos kali ini. Bisa dibilang, saya cukup lama menguasai tema itu, hahaha. Dan memang
pada akhirnya alhamdulillah, ternyata teman saya yang justru lolos. What??? Terus saya? Saya masih meratapi
nasib! Huhuhu. Jleb banget nggak sih? Temen saya yang baru sekali ikut langsung
lolos, sedangkan saya? Cukup! Tidak perlu diungkit-ungkit lagi!
Dengan susah payah menahan malu,
saya samperin dia lalu menjabat tangannya mengucapkan selamat. Batin saya
menjerit-jerit saat itu. Bertampang sok
tegar saya bilang, ‘Beb, boleh liat
tulisan kamu nggak?’ Niat hati sih untuk mengukur tulisan saya seburuk apa
gitu. Dan ternyata, ngooohaaa, terpampang nyata bahwa naskah saya emang
masih jauh pake banget.
Oke, oke. Seenggaknya saya sudah
tau naskah tipe apa yang bisa lolos. Berkaca dari kejadian menyakitkan itu,
saya lantas bangkit dengan semangat baru. Kali ini saya akan membuktikannya. Kita
lihat saja!
Benar, event selanjutnya kemudian
dibuka dengan tema ‘ibu’. Saya lantas mulai menulis, dengan kehati-hatian, penuh
perasaan, juga memberi beberapa sentuhan akhir sebagai pemanis, akhirnya naskah
itu selesai. Send. Selanjutnya hanya
bisa berdoa dan berharap. Semoga Tuhan meloloskannya.
Nasib oh nasib! Kembali lagi saya harus menerima kenyataan p-a-h-i-t untuk
tetap bertahan pada kesabaran karena nama saya b-e-l-u-m terpampang di situs
DivaPress. Dan satu lagi yang menambah impian-impian saya terasa semakin kabur,
teman saya kembali dinyatakan lolos.
T.A.M.A.T.
Source Picture |
Hahahaha. Nggak sampe pake acara gantung diri juga kali ya! Oke, bercanda! Memang
tidak saya pungkiri sakitnya tuh pake banget, disini! Tapi, untungnya senapan
semangat saya masih belum habis. Saya ikut lagi event lainnya. Masih dari
DivaPress. Singkat cerita, saat itu saya dan temen saya ikut dan alhamdulillah,
kami berdua dinyatakan tidak lolos. Hahaha. Seenggaknya saya tidak malu-malu
banget.
Dari situ -istilah jawanya- saya
mulai mutung. Apa yang salah dengan
naskah saya? Apakah saya menjadi peserta yang di-blacklist? Sepertinya DivaPress memang sengaja menolak naskah saya.
Tapi atas dasar apa? Akhirnya saya memutuskan tidak ikut lagi eventnya
DivaPress untuk sementara, setidaknya hingga hati saya benar-benar siap.
To be continue...
0 komentar:
Posting Komentar