Tadi siang aku
habis berkunjung ke sawah sob. Bukan buat nanem padi apalagi panen. Aku tadi
nangis, yah nangiss. Tak hanya itu, aku juga teriak teriak nggak karuan.
Sendiri jat?? Nggaklah, entar dikira orang nggak genep lagi. Aku tadi ditemenin
sobatku (salah satu temen deket sejak SMP), namanya ika. Entah mengapa saat
pikiran ku tak karuan tadi nama yang terlintas dalam benakku adalah dia, aku
kirim pesan ternyata dia ada di rumah. Sekalian aja aku ajak ke sawah.
Sebenernya masalah
nya sangat sepele. Aku aja yang terlalu menganggapnya mejadi sesuatu yang begitu
bermasalah. Untuk detilnya mohon maaf tidak saya ceritakan disini. Yang jelas
ini adalah masalah sepele, sangat sepele, antara aku, si X, dan keluarga.
Saat masalah itu
datang, seakan akan faktor pemicuku untuk marah juga semakin berdatangan,
begitu kompleks. Lengkap sudah. Dalam hati berkecamuk antara aku yang A dan aku
yang satunya. Terus berdebat, aku pun makin tak kuasa menahannya. Jujur baru
kali ini aku merasakan suatu perasaan begituu jengkel marah sesal negg de el el campur rata jadi satu.
Dan yang dapat aku lakukan adalah menangis, menjejak jejakkan kaki, dan juga
berkata ngalor ngidul. Kau bisa membayangkannya bukan?
Ini tak bisa didiemin
aja, aku harus share dengan temen. Melihat beberapa belakangan saat aku ada
masalah aku pasti selesaikan dengan share sama temen. Tapi untuk masalah ini
dengan siapa? Terlintas saja nama temenku tadi, ika. Selesai mengirim pesan
padanya, langsung hape aku matikan. Entah terserah apa yang akan terjadi, aku
tak peduli. Sungguh aku tak peduli.
Sampai dirumahnya,
aku langsung mengajaknya ke sawah, aku utarakan masalahku, meluangkan segala
uneg unegku. Aku nangis disitu, aku teriak teriak disitu, ku tak peduli siapa
yang mendengar suaraku, tak peduli apa yang orang lain pikir tentang aku,
“whatever”.
Aku merasa plong ,
nyaman, merasa beban yang tadi kian membayangiku kini udaah berkurang. Enteng.
Dengan santainya temenku bilang “Kamu sekarang kok berubah to jat? Dulu SMP
kamu nggak kayak gini, 180 derajat kamu berubah!” “Kamu dulu itu ceria, tampak
nggak pernah punya masalah, justru kalo temen kamu yang punya masalah kamu
lebih banyak ngasih wejangan” Mungkin dia mau
bilang ‘kamu sekarang cengeng’ , tapi nggak kesampean kali ya.
Tapi kalo mau blak
blakan, dewasa ini aku sering menyelesaikan masalah dengan air mata. Dan aku
merasa itu cukup membantu. Entahlah, terserah apa pandanganmu tentang aku.
Mungkin udah banyak temen yang pernah liat aku nangis, di kelas bahkan aku
pernah. Hmm.
Ngomong ngomong
masalah keluarga, jujur aku bukanlah tipikal yang apa apa cerita sama orang
tua. Entah mengapa bisa begini. Padahal, sesungguhnya aku ingin menceritakan
apa yang selama ini menjadi masalahku, kendalaku, dengan begitu mereka mampu
membimbing dan merengkuhku untuk berdiri tegar bersama mereka. Aku ingin
menjadikan orang tuaku seperti teman curhatku tanpa mengurangi rasa hormat
antara aku dengan mereka.
Terkadang aku iri
dalam tanda kutip, melihat temen temenku yang begitu terbuka kepada orang
tuanya. Sebenernya aku juga nggak tertutup banget. Tapi aku share sama orang
tua cuman masalah sekolah, selebihnya kalo nggak ditanya nggak bakal aku
cerita. Mungkin karena aku nggak terbiasa atau nggak dibiasakan untuk share
dengan orang tua. Aku malahan lebih sering share dengan orang lain yang aku
pandang beliau mampu membantuku.
Untuk ibuk, bapak, mbak wik, sebenernya aku
pengen share dengan kalian, tak hanya masalah sekolah, namun juga yang lainnya,
tapi entah mengapa aku terlalu kikuk, aneh. Maafkan aku. Aku sayang kalian.
1 komentar:
menangis memang obat yang paling sederhana..
menangislah..jika itu membuatmu lebih baik. :)
Posting Komentar